Sumber: Dokumen Pribadi
Oleh: Muklis Puna
Mengapa tinta meruap dalam aksara berdarah mesra?
Adakah jagat diputar nafsu liar tak terbendung?
Atau penyair tersungkur, menyembah cinta hingga peluh bercucur?
Apakah bumi kini berporos pada hasrat membara,
mengguncang syair rindu hingga membuih di udara?
Baca Juga:
Mengapa pena menari di telaga syahwat,
mengalirkan gairah yang tak reda?
Adakah penyair terlena, terbuai dosa Adam yang keliru?
Ataukah jiwanya beku, mati rasa oleh kebodohan negeri,
tangan kaku, tak mampu mengukir bait bermakna?
Mengapa ujung pena menabur kisah pilu,
menggelorakan jiwa dalam tarian duka?
Adakah pengukir kata menyembah ego,
buta pada tanda-tanda zaman?
Baca Juga:
Bukankah penyair peramal batin,
menyelami angan dengan mata jiwa jernih?
Bukankah lautan kisah melebur dalam tinta di jarimu?
Mengapa nyalimu meredup, bagai bara padam?
Wahai penyairku…
Maafkan Aku menyingkap tabirmu di malam kelam.
Ribuan jiwa haus kata-katamu
di kegelapan dunia.
Wajah pucat menengadah,
suara tercekat di parit besi.
Wahai penyairku…
Kobarkan pena, serbu medan tempur!
Tebas geraham baja yang mencabik negeri.
Hentikan ratap cinta bernuansa ungu.
Nyanyikan rindu untuk wajah kelabu yang merana.
Maafkan aku, penyairku…
Aku lidah berdebu, tak pandai bersajak.
Aku hanya berharap kau bangkit,
menggenggam pena sebagai pedang,
menerangi negeri dengan nyala katamu.
Lhokseumawe, 4 Mei 2025
0 Komentar