Protes Bisu Sajak Kelu, sebuah Kegelisahan Sosial Batin dalam Puisi " Polusi Ibukota ' Karya Muklis Puna



Protes Bisu Sajak Kelu, sebuah Kegelisahan Sosial Batin  dalam Puisi  " Polusi Ibukota ' Karya Muklis Puna 

Sastrapuna.Com-Oleh: Erbee Pram

POLUSI IBUKOTA

Udara ibukota memuai 
Mega berarak mengulum mendung, 
Hujan sensitisme menumbuk negeri,
Elit politik menggelar cercaan di muka publik
Saling sikut dan sikat menyeruak dalam ruang
Kentut sungsang menyembur lewat mulut


Waktu terus menghela kisah
Harga pangan dijual di layar kaca
Kisah semusim ditayang ulang
Musuh  disulap dalam cawan
Kawan digusur  berlarut- larut
Kepentingan berselingkuh

Janur kuning belum melengkung
Hak  politik sudah terjual laris
Madu manikam dioleskan di pungung  jelaga
Merambah gubug- gubug dan sekolah


Janji - janji nihil dibalut diksi heroik
Kemiskinan digadang-gadang
Para jelaga meradang
Kebutuhan hidup melambung
Lambung- lambung kembung 
Usus susut mengerucut 
Adalah sendawa cacing menggelayut
Berdendang ria tentang lapar dahaga

Ibukota semakin garang 
Cerita ke puncak semakin tajam
Menikung di tikungan
Menyelip di persimpangan 
Gunting - gunting menikam gulungan
Lipatan semakin menebal
Asa jelaga bagai menggantang asap


Lhokseumawe, 1 Agustus 2018


Suara-suara Palsu

Muklis Puna

Suara itu lirih 
Mengiris kuping
Sendawa itu menguap bangkai
Setiap pagi kau kumur-kumur tentang keadilan

Tanganmu mendekap dada 
Badan kau bungkukkan 
Bibirmu pegal-pegal mengoceh asa
Mulut komat -kamit mengumbar janji
Menguapkah kau?

Suara lirih itu makin risih
Hari dan bulan sudah kau hafal
Kau mabuk darat kawan
Semua beban sanggup kau pikul
Tulang- belulang mu terlalu lunak
Sehatkah Kau?

Dari pertapaan mana kau datang?
Namamu tak pernah melintang mata
Jargon politik kau ecer setiap mimbar
Kau menyemai di musim kemarau
Mengiba pada lahan mendulang panen
Coba usap keningmu!
Demamkah  kau?

Kemaren kami antre tabung tiga kilo
Tadi pagi kami masih antre premium
Tengkulak minum minyak subsidi
Agen tabung menabung angin kami
Hutan gundul, tanah basah kayu bakar sirna
Keajaiban apa yang kau jual tahun depan?

Pajak meroket ke udara mencumbu ozon
Arus listrik terputus-putus 
Rupiah dilumat beratus-ratus
Konsep apa lagi yang kau tawar?


Ohh...!
Bau mulut itu semakin dekat
Jeroan busuk menguap bangkai
Napas - napas naga mengendap di udara
Suhu negeri memanggang rerumputan


Lhokseumawe, 4 November 2018


Ada sebagian orang yang meyakini pemikiran bahwa seni (termasuk puisi) hanyalah untuk seni. Seni dilepaskan dari segala tendensi kepentingan atau tujuan di luar seni tersebut. Sedikit mengutip pernyataan Edgar Allan Poe, seorang penulis, penyair besar, dan kritikus sastra Amerika pertengahan abad 19,  "... to write a poem simply for the poems sake [...] this poem which is a poem and nothing more, this poem written solely for the poems sake.” 

Di sisi lain, banyak juga tokoh besar dunia yang menolak pemikiran ini. Seni termasuk puisi musti memiliki fungsi, memiliki tujuan, memiliki kehendak, dan memiliki tendensi sosial. Lebih jauh lagi karya sastra tidak dibuat dalam kekosongan budaya. Selalu ada konteks sosial, budaya, atau pun sejarah yang melatarbelakangi hadirnya sebuah karya sastra oleh seorang penulis (sastrawan). 

Demikian pun dengan kedua puisi Muklis Puna berikut ini. Puisi ini tidak hadir tanpa konteks sosialnya. Puisi ini ditulis dengan tujuan selain sebagai katarsis diri. Sebagai karya yang sudah dilepas pada ranah umum, penyair sudah bukan lagi pemilik tunggal makna syairnya (Barthes; Kristeva). Ia tak lebih dari pembaca maupun penelisik lainnya. Dengan demikian, telisik ini melepaskan diri dari menebak, menduga, ataupun menilai perasaan pun pemikiran sang penyair yaitu Muklis Puna.

Kedua puisi ini menunjukkan pergulatan batin seseorang yang merasa tidak terima dengan kondisi sosial masyarakat terkait dengan geriap politik dan keputusan politik dalam negri. Nuansa protes dengan taburan metafora demikian kental membingkai keduanya. Ada aroma gemas atau jengkel dengan situasi terkini negeri. Puisi pertama bahkan diberi judul Polusi Ibukota.

Bait pertama cukup tajam dalam menghadirkan suasana hati yang mual pada keadaan sehari-hari. /Udara ibukota memuai/ /Mega berarak mengulum mendung,/ /Hujan sensitisme menumbuk negeri,/ kata memuai biasanya berasosiasi dengan pemanasan, maka ketika udara memuai, ada suasana panas dihadirkan di baris ini. 

Demikian pun mendung pada kondisi tertentu membuat gerah karena panas udara yang terperangkap oleh awan, dan ini kerap membuat banyak orang berkeringat. Orang Jawa bilang "sumuk pol". Kata mengulum yang bermakna menyimpan sambil memainkan sesuatu dalam mulut secara sengaja memantik persepsi adanya permainan yang disengaja untuk suasana "sumuk pol" ini. Di samping itu, permainan kata-kata dalam baris ini menunjukkan kebaruan dalam diksi. 

Kata "sensitisme" pada baris ketiga mungkin maksudnya "sesitifisme" dengan kata awal "sensitif". Atau barangkali maksudnya adalah kata gaul "sensi". Saya rasa intinya tetap pada kata umum "sensitif". Biasanya hujan itu air yang turun atau jatuh, namun di sini yang digunakan justru kata menumbuk yang menghadirkan nuansa adanya tenaga besar untuk menghancurkan. Maka bisa ditangkap bahwa perasaan sensitif ini muncul di mana-mana, bertebaran, dan hendak menghancurkan negri. Tiga baris pertama ini sungguh dahsyat menggambarkan suasana panas yang merencah negri (masyarakat luas).


Tiga baris berikutnya pada bait yang sama menegaskan keadaan ini melalui sikap para pemangku amanah negri yang buruk. /Elit politik menggelar cercaan di muka publik/ /Saling sikut dan sikat menyeruak dalam ruang/ /Kentut sungsang menyembur lewat mulut/. Pilihan kata di tiga baris ini sungguh telengas dalam menggambarkan keburukan sikap para pemimpin politik. 

Frasa "menggelar cercaan"  ini sangat menusuk sebab bukan saja ini menawarkan asosiasi tempat yang luas sebagaimana makna kata gelaran, tetapi juga yang lebih utama adalah kata kerja aktif ini menunjukkan tindakan yang disengaja. Demikian pun paduan kata dalam frasa "saling sikut dan sikat" membawa imaji  pembaca bahwa mereka sengaja berbalas keburukan. Bahkan baris terakhir terasa demikian makjleb. 

Kata sungsang biasanya diperuntukkan pada proses kelahiran bayi yang keluar secara terbalik dan biasanya proses ini memunculkan kecemasan terhadap kemungkinan adanya resiko buruk yang mengikuti. Di sini kata ini ditautkan dengan kata kentut, yang sering dianggap buruk. Dan hebatnya, proses terbalik dalam kata sungsang ini diarahkan pada jalan keluarnya, yaitu melalui mulut dan kejadiannya pun menyembur. Maka bisa dibayangkan keburukan pun kebusukan kata-kata yang secara masif diucapkan para elit politik.


Bait bait selanjutnya semakin meruahkan kebusukan dalam balutan metafora dan permainan paduan kata yang original dan baru tapi sekaligus menghujam perasaan. Suasana panas dan sumuk pol pada bait pertama mendapatkan pijakan lebih kuat lagi dalam bait terakhir yang diawali dengan /Ibukota semakin garang/ dan baris penutup /Asa jelaga bagai menggantang asap/ yang bisa dimaknai sebagai harapan sia-sia. Pagelaran amoralitas yang dilakukan dengan sengaja benar-benar tidak lagi memperdulikan perasaan rakyat luas, bahkan ditegaskan lagi di sini bahwa berharap itu seolah "menggantang asap", sia-sia. Hanya saja baris terakhir ini terasa patah, tidak mengalir. Terjadi lompatan ide dari baris-baris sebelumnya dengan baris penutup ini.

Puisi kedua juga memberikan imaji gemas, marah, dan protes sebagaimana puisi pertama. Bahkan judulnya terasa lebih telengas lagi karena langsung sebuah penghakiman, yaitu "Suara-suara Palsu". Berbeda dengan puisi pertama yang berkisah menghadirkan keadaan, puisi kedua ini seolah menyajikan percakapan atau paling tidak seseorang berkata-kata pada pihak kedua. 

Di sini bisa dimaknai pihak pertama sebagai rakyat biasa dan pihak kedua sebagai para pemimpin yang berjanji palsu, bersikap dan bertindak terbalik dari apa yang dikatakan. Protes keras itu diwujudkan melalui pilihan kata tajam di setiap akhir baris /Setiap pagi kau kumur-kumur tentang keadilan/ /Menguapkah kau?/ /Sehatkah Kau?/ /Demamkah  kau?/ dan seterusnya. Amarah sang narator ini diakhiri dengan kekhawatiran akan terjadinya amuk massa karena rakyat yang tak mampu lagi menahan diri dengan hawa panas (berbagai kebusukan) yang menguap di udara /Napas - napas naga mengendap di udara/ /Suhu negeri memanggang rerumputan/. Kata rumput dalam konteks politik selalu diasosiasikan dengan rakyat kecil.

Judul telisik ini adalah "Protes bisu"; sengaja demikian sebab memang pada dasarnya puisi-puisi protes rakyat kecil adalah barisan puisi bisu. Berbeda halnya jika sang penyair ini memiliki komunitas yang menjadi incaran penguasa, yang bersangkutan termasuk dalam daftar pengejaran sang penguasa seperti halnya penyair Wiji Thukul yang kemudian "hilang karena sajak-sajaknya". Sajak sajak ini pun menjadi kelu karena tidak kuasa mengetuk batin para elit politik, apalagi menggedor. Namun demikian, tetap saja ini adalah puisi-puisi bertendensi, puisi yang ditulis bukan sekedar sebagai puisi an sich (a poem per se, kata Edgar Allan Poe), ataupun puisi sekedar curhatan sang penyair (kata William Wordsworth).


Hal yang patut diacungi jempol dari kedua puisi ini adalah banyaknya unsur kebaruan dalam paduan diksi. Salah satu unsur kuat dalam puisi yang bagus adalah sajian kebaruan penuh makna dalam permainan diksinya. Ada frasa mengulum mendung, kentut sungsang, dijual di layar kaca, madu manikam dan lain lain di puisi pertama. Kemudian menguap bangkai, kumur-kumur tentang keadilan, bibirmu pegal-pegal, minum minyak subsidi, dan lain lain di puisi kedua.

Dari sisi penyampaian, puisi pertama mengalir seperti berkisah (penutur kepada banyak pihak) sedangkan puisi kedua menghadirkan seseorang (pihak pertama) berbicara kepada pihak kedua. Bangunan puisi kedua ini juga seperti sekumpulan fragments di mana setiap bait memiliki cerita berbeda tetapi saling bertautan dan saling menguatkan tema.

Ada beberapa hal yang mengundang rasa penasaran saya terkait penulisan kata. Saya tidak tahu apakah ini salah tulis atau sengaja demikian. Kata jelaga apakah sebenarnya jelata, kemudian kata sensitisme, juga kata mengerucut. Pada bait ketiga baris ketiga kata di punggung mungkin maksudnya di punggung. Itu pada puisi pertama. Pada puisi kedua baris terakhir bait ketiga, kata Kau menggunakan huruf capital. Bait keempat baris kelima kata mendulang itu mungkin maksudnya mendulang. Bait keenam baris terakhir kata tawar mungkin maksudnya tawarkan.

Sekian dulu sedikit dan selintas telisik saya atas dua puisi mas Muklis Puna. Masih banyak hal bisa ditelisik lebih jauh dari puisi-puisi ini. Sisi mimesis (pendekatan Abram), sudut dekonstruksi (Derrida), maupun ranah fenomenologi (Ingarden), dll bisa dibedah. Pada akhirnya, ada emosi pembaca yang digugah oleh kedua puisi ini. Tercapailah salah satu tujuan puisi ini, dan menurut saya dulce and utile (Horace) sudah terpenuhi di sini.

Penulis adalah Dosen Universitas Teknologi Yogyakarta 



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar