Kemanakah Sastra Kita Berkiblat?
Sastrapuna.com-Pertanyaaan pada judul esai di atas mengandung jawaban bercabang. Dilihat dari pertanyaan tersebut sudah pasti menuai kontroversi di antara pemerhati sastra di Indonesia. Terdapat dua jawaban dapat dilihat kasat mata, yaitu sastra berkiblat ke Eropa dan kedua ke Timur Tengah. Kedua kiblat tersebut masing-masing mempunyai referensi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari literasi, pakar dan rujukan yang berlawanan antara kedua kiblat.
Baca Juga:Sastra dalam Perdebatan
Kita mulai dari kiblat sastra yang mengarah ke Eropa. Sejak munculnya peradaban sastra Indonesia ditandai dengan angkatan pujangga lama sekitar tahun 1920 sampai 1930. Pada periode ini muncullah tokoh sekelas Marah Rusli dengan novel legendaris “Siti Nurbaya” Kisah novel ini masih membekas dalam benak para pencinta sastra Indonesia. Novel mengkritik budaya kawin paksa yang ada dalam masyarakat Minangkabau.
Perjalanan karier sastranya Khairil Anwar, Rifain Afin,
dan Asrul Sani selalu menyerap teori dan kajian sastra dari bahasa Inggris dan Bahasa
Belanda. Selanjutnya, sampai hari ini para dosen dan profesor sastra Indonesia
yang menjadi agen ilmu pengetahuan juga masih memuja alira-aliran barat seperti
aliran Romantic, strukturalisme, dan aliran Marxisme dalam mengkaji dan menilai
sebuah karya. Ada juga aliran formalism dari Rusia yang telah mendokrinisasi
pemikiran para ilmuan sastra di Indonesia.
Lalu Bagaimana dengan Kiblat Sastra yang Mengarah ke Timur Tengah?
Seperti
dikemukakan di awal esai ini bahwa lain padang lain belalang, lain lubug lain
ikannya. Sastra yang berkiblat ke timur tengah secara umum dipengaruhi oleh
sastra melayu klasik. Sastra melayu notabenenya menyampaikan
nasihat dan pesan pesan agama, baik dalam mengatur manusia dengan manusia
maupun manusia dengan Allah sang pencipta.
Kita tidak menafikan bahwa bahasa sastra yang berasal dari Arab ini menggunakan Alquran dan hadis sebagai sumber dalam menyampaikan semua pengalaman batniah. Muncullah penyair penyair Islam yang dikenal dunia seperti, Muhammad Qosim Al-Harisi, Jalaluddin Ar rumi (Persi) dan Omar Khayyam. Di Asia Tenggara muncul Hamzah Fansuri dan Wali songo dengan karya yang luar biasa. Para penyair Islam telah menjadikan sastra dalam berbagai genre sebagai media dakwah untuk mengajak pada kebajikan. Bahasa yang digunakan oleh penyair- penyair Islam pun sangat estetik, karena mereka mengangkat dan terinspirasi dari bahasa Alquran yang mempunyai nilai estetika sastra tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa bahasa Alquran punya nilai sastra tertinggi di antara bahasa lain, penulis mengutip salah satu ayat suci Alquran sebagai berikut,
Artinya: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. [Q.S. al-Baqarah: 223]
Redaksi bahasa dalam ayat di atas, mempunyai estetika sastra yang luar biasa. Dalam hal ini Allah sang pemilik manusia mengumpamakan para istri sebagai kebun tempat bercocok tanah ketika berada di dunia. Artinya, para laki- laki wajib memilih istri- istri yang taat beragama dan sah/ halal baginya setelah mengikuti ketentuan syariah. Masyaallah….! Begitu indah tautan dan perumpamaan yang dilukiskan dalam ayat tersebut. Bahasa berestetika sastra tinggi seperti ini banyak digunakan oleh penyair penyair sekelas Buya Hamka, Ali Hasyimi, Mustofo Bisri, dan Emha Ainun Najib.
Dari uraian panjang terjawab sudah ke mana kiblat sastra kita saat ini. Kita punya 87 persen penganut agama Islam. Mengapa kita masih plin-plan dalam menentukan arah dan haluan dalam berkarya? Dengan kondisi bangsa yang carut- marut seperti masih layakkah kita berdiam diri menjadi pengamat dengan bekal ke barat-baratan. Bukankah karya sastra mampu mengubah dan menenggelamkan sebuah negeri? Pena kita dapat menembus berjuta otak dalam kepala, tapi peluru hanya mampu menembus satu nyawa. Mari kita ganti arah kiblat sesuai keyakinan yang Qurani bukan ke barat -baratan. Jangan menyalahkan pendahulu kita, mari kita arahkan layar mengikuti arah angin.
0 Komentar