Anakku! Kami Gagal Mengeja Tanda

Anakku! Kami Gagal Mengeja Tanda


sastrapuna.com - Muklis Puna

Kabut sutera warna unggu terus membelenggu.
Bunga -bunga berguguran ditampar angin demokrasi
Di halaman sekolah nan rindang
Dekat perpustakaan yang kedinginan
Di antara pohon asam jawa menawar rasa
Di atas teratak batako,  
Aku mengelus dada
melelehkan air mata pada tanah air

Anakku!
Ini zaman  apa?,
Peradaban digilas arus,
Apa yang bisa kuwariskan buat kalian? 
Belajar mengeja petuah orang
Tentang putaran bumi dan matahari
Duduk mendengkur di pojok kelas
Menyimak jiwa berdendang tembang

Anakku!

Kami adalah angkatan  salah kaprah.
Korban sistem tak tertata
Isi perut jadi tujuan menggapai harap
Rupiah kami sulap untuk sesaat
Melacur pada ide dan kesombongan
Besar pasak dari tiang

Anakku!

Kami meraba di pagi buta
Mengarsir matahari 
Padahal kami baru tertatih menghafal konsep
Kami lumpuh menata masa depan
Hingga tak mampu mengantarmu  meramu hidup

Anakku!

Salah kami berlipat empat
Menjual  dongeng pengantar tidur
Sampai kalian berhimpitan mencari mimpi

Anakku! 

Kami terlalu pongah dan menggurui
Karena kami tidak menguasai ilmu
untuk membaca  masa lalu dan kini

Anakku!

Bangsa ini dihantam  gelombang  edan.
Cita - cita terlalu kaku
Kebijakan tidak baku dan berliku
kadang batu bersorak lantang mengubah haluan 

Anakku!

Tetapi aku keras bertahan,  
di negeri tak bertuan
mendekap akal merangkul  jiwa
Karena logika sesat mencari mangsa
biarpun tercampak di selokan demokrasi

Anakku!

Pendidikan negeri ini  seperti dadu
terperangkap di meja judi menjadi taruhan,
yang diundi berbagai kepentingan

Sabu- sabu menyerbu dari segala penjuru
Akhlak  digadaikan.
Kampung- kampung didera narkoba
Gubug- gubug digusur
Tanah gembur ditumbuhi gedung

Semua atas nama takhayul pembangunan.
Dada -dada kering disiram embun dari udara yang terbakar

Lencana politik  menggelitik,
Agama semakin seksi menjadi intrik
Karena politik bagai naga dalam dongeng china
Tidak punya telinga dan  hati.
Sisa dari peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah akal dan iman

Anakku!

Matahari mendaki bukit dari ufuk timur
telah melampaui pohon belimbing dan pucuk aren
Udara basah membelai hangatnya pagi.
Menyebar bau ikan asin yang merayap dari gubug.
sepasang capung bersenggama di udara.
Karena di bumi tak ada lagi ranting 
Yang ada hanya tumbuhan batu 
mengkilap digosok matahari


Lhokseumawe,  21 Meu 2022

Berita Terkait

Posting Komentar

2 Komentar