Warung Kopi Gaya Baru, Sebuah Tranformasi Budaya dalam Masyarakat Aceh
Oleh: Mukhlis ,S.Pd.,M.Pd
sastrapuna.com - Jumlah warung kopi di Aceh sebanyak warung nasi di Padang ,Sumatera Barat. Itulah pernyataan yang penulis dapatkan ketika penulis menghadiri sebuah acara Himpunan Mahasiswa Bahasa Sastra Indonesia Se- Indonesia (HIMABSI).
Ketika penat menyerang jiwa, pikiran suntuk , dan saraf -saraf beku bagai dilipat dalam kumparan otak. Penulis bersama mahasiswa yang merupakan peserta kegiatan tersebut mencoba mencari warung kopi sebagaimana kebiasaan penulis di Aceh.
Hampir satu jam penulis merayap mengelilingi Kota Padang yang luasnya sebesar Kota Banda Aceh. Tak satupun warung kopi semegah dan semeriah di Aceh yang penulis temukan. Akan tetapi, hanya warung nasi yang bertebaran di muka -muka jalan protokol di Padang yang terkenal dengan Jam Gadang.
Pengalaman di atas menunjukkan bahwa betapa sulitnya bergerilya mencari warung kopi di Kota Padang. Terdapat perbedaan yang mencolok antara kedua provinsi yang sama sama menganut nilai- nilai keislaman yang kental terhadap masalah kopi. Penulis menduga faktor ini disebabkan oleh budaya atau culture ke dua Masyarakat.
Di Aceh, warung kopi merupakan rumah kedua bagi kaum laki- laki. Hampir tidak ada celah- celah kota dan desa yang tidak ada warung kopi. Rata- rata semua kegiatan kemasyarakatan dan individu berlangsung di warung yang menjual minuman hitam tersebut.
Bagi pembinis dan pencari upah harian di desa selalu mangkal di tempat ini. Para politikus dan tokoh masyarakat mangkal di sini dengan berbagai kegiatan, mulai dari menjual janji politik sampai membangun segala instruktur sarana dan prasarana dengan gesiit di atas meja- meja lapuk dimakan usia.Ghibah - ghibah politik mencerca siapa saja yang lalu lalang tak luput dari cerita di warung kopi
Ketika penulis masih beranjak di Sekolah Dasar (SD) warung kopi dibangun seadanya hanya dari papan dan kayu biasa beratap rumbia. Fungsinyapun sebagai tempat masyarakat melepaskan kebosanan dari lelah bekerja dalam rutinitas sehari-hari.
Waktu beroperasinyapun terbatas hanya dibuka pada pagi sekitar pukul 06 pagi sampai dengan pukul 22 wib. Minuman yang dijual sesuai dengan nama yang diemban yaitu kopi dutambah selingan dengan minuman teh.
Seiring waktu berjalan, teknologi semakin merajai dunia . Arus telekomunikasi semakin pesat hingga mengaburkan batas dan ruang suatu negara, warung kopi mulai menggeliat dan berubah hampir 360 derajat. Perubahan ini dapat dilihat pada beberapa indikator yaitu meliputi orang-orang yang mangkal , keadaan, nama bahkan jenis minuman yang dihidangkan.
Pada dekade terakhir ini warung kopi telah mengalami degradasi yang luar biasa. Dahulu, orang laki laki saja yang biasa nongkrong di sini, kalaupun ada kaum perempuan q hanya bisa dihitung dengan lipatan jari misalnya isteri atau anak pemilik warung. Image warung kopi dahulu dianggap sebagai tempat yang tidak begitu layak untuk disinggahi. Orang-orang yang sering nongkrong di warung kopi dianggap sebqgai pemalas.
Ketika sarana dan prasarana dilengkapi dengan media komunikasi yang canggih seperti WiFi dan alat teknologi lainya yang memudahkan dalam mengakses informasi warung kopi telah berubah menjadi tempat yang diburu oleh para penggila biji hitam ini.
Mahasiswa dari berbagai jenis perguruan tinggi baik laki atau perempuan berkumpul kongkow-kongkow di warung kopi atau sering disebut dengan cafe ( entah siapa pertama kali yang mengadopsi kata ini ke dalam bahasa Indonesia).
Kegiatan mereka pun beragam ada yang sekedar santai bermedia sosia, mencari bahan kuliah dan mencari hiburan sesaat. Selain itu muncul nya kreativitas para penyedia kopi dalam berbagai jenis misalnya, expreesso, sanger espresso dan Kupi Ulee Kareng telah menambah nuansa warung kopi semakin diminati masyarakat.
Akhir- akhir ini warung kopi atau cafe sudah menjadi incaran para pebisnis bermodal besar. Mereka rela menggelontorkan modal yang begitu besar untuk membangun sebuah warung kopi yang lengkap.
Bayangkan saja untuk membeli satu mesin pres kopi untuk menghadilkan expresso yang berkualitas mereka harus membarter puluhan juta rupiah, belum lagi harga kopi yang berkualitas premium harus dibayar ratusan ribu per kilogram.
Mengingat orang dengan berbagai status sosial suadah berada di warung kopi dengan ragam kepeeluan. Para pejabat ,pengusaha dan kontraktor pun sudah mulai menggunakan warung kopi sebagai tempat meeting yang lebih nyaman.
Dahulu istilah debat warung kopi paling santer terdengar. Kini istilah itu sudah ditelan globalisasi. Orang -orang yang nongkrong di warung kopi sekarang ini hanya sesama temannya saja tidak dengan warga lain di warung kopi. Sehingga ghibah- ghibah warung kopi kini perlahan terkikis oleh perubahan fasilitas sarana dan prasarana yang berbasis Ilmu dan teknologi. Mungkin inilah yang penulis maksud pada judul di atas adalah sebuah transformasi budaya' masyarakat Aceh lewat warung kopi gaya baru.
Selanjutnya, masyarakat Aceh sudah terbiasa dengan warung kopi. Bahkan tamu - tamu hebat dari Jakarta dan luar negeri pun dijamu di warung kopi dengan rasa yang beragam. Ketika para pengambil kebijakan terhadap kehidupan rakyat tidak berpihak kepada rakyat. Disinilah orang- orang kritis berkumpul membahas kebijakan tersebut. Intinya warung kopi di Aceh adalah panggung politik kedua bagi masyarakat Aceh setelah gedung DPR.
Ada keunikan yang jarang ditemui pada masyarakat lain di Indonesia. Di warung kopi uang dalam jumlah jutaan rupiah dilakukan transaksi secara terang- terangan.
Artinya sejumlah kepercayaan antar sesama masyarakat sudah terbangun dengan kuat. Sampai saat ini belum pernah terjadi pencopetan sejumlah uang ketika transaksi bisnis terjadi di warung kopi.
Hal baru yang menjadikan sebuah transformasi budaya di warung kopi dengan gaya modern adalah hadirnya sejumlah kaum hawa sebagai pelayan. Kehadiran mereka yang dulu dianggap tabu kini menjadi pemandangan yang biasa. Di sini tranformasi kesamaan gender antara laki- laki dan perempuan terbangun secara alami.
Tanpa disadari sesuatu yang dulunya bersifat tabu dalam masyay Aceh kini merupakan sebuah trend baru. Hampir dimana saja di Aceh setiap vwarung kopi selalu ada warung kopi yang memperkerjakan perempuan baik sebagai pelayan maupun sebagai kasir.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
0 Komentar