Ada Apa dengan Sekolah

 



Muklis Puna

Sekolah tegak kokoh ditembok,  pagar meninggi penuh kawat berduri.  Pintu pagar menjulang menantang langit.  Dari dalam,  kelas bertingkat disusun bagai rumah di kota besar.  Anak - anak berada dalam kelas senyap tak berceloteh mendengar ocehan guru.  Tiga atau empat jam sekali, lonceng berdentang memberi ruang padanya untuk menghirup udara segar.  

Setelah itu, mereka masuk lagi menghuni ruang walau kadang berkipas angin atau mungkin ber AC- ria.  Namun ada juga berkipas tanpa angin.  Udara pengap,  keringat mengucur menenggelamkan bola mata.  Duduk rapi,   tangan berlipat mulut menganga bagai paus  menguap menunggu mangsa mendengar hebatnya sang guru menjelaskan materi perkembangan dunia.  


Mau bertanya?  Tunggu kesempatan dipetakan.  Tak boleh menyela kalau mau nilai sikap tertera  huruf A di catatan amal yang dibagikan setiap enam bulan sekali.  Bunga warna- warni  menambah semarak lokasi mereka berada.  Pohon - pohon begitu  ranum menunggui mereka pada jam istirahat pelepas penat.  

Dari luar hanya anak-anak berseragam olahraga yang boleh jingkrak -jingkak,  lainya duduk tenang dan adem dalam sekat -sekat kaca.  Sekali- kali matanya menoleh keluar melihat  capung bercanda ria di atas kelopak bunga melati.

Pagi buta mereka mengejar matahari,  berlomba menuju gerbang.  Jam di tangan jadi pedoman.  Sedikit saja langkah kaki telat mencium gerbang,  siap -siap menunggu ganjaran.  Ada sampah yang harus dipungut dengan muka merengut.  Atau mungkin antre betderet menunggu jam berikutnya.  

Setelah satu pelajaran usai,  satu lagi tugas membusur dari mulut sang pencerah.  Ada tugs mandiri, adapula tugas kelompok.  Tugas kelompok biasanya dikerjakan oleh mandiri atau sendiri oleh ketua dan wakil.  Sedangkan tugas mandiri biasanya dikerjakan secara kelompok.  

Dalam rentang bulan mereka dipaksa menghafal konsep dan teori agar  bisa berdikari ( berdiri di kaki sendiri)  saat diminta tagihan di depan kawan -kawan. Angka adalah sesuatu yang sakral. Tugasnya setiap hari bagai pedagang mengumpulkan angka,  tapi bukan rupiah.  Angka standar ditentukan dari awal.  Siapa saja yang tidak mencapai standar,  terpaksa harus ditutupi dengan tugas tambahan.  

Lima bulan berlalu,  waktu terus saja membuncit.  Penilaian hafalan di depan mata.  Kejujuran di uji nyali.  Mereka berlomba belajar mencoret dan  menghafal konsep.  Ada yang memorynya penuh terpakasa menulis  di lembaran kecil untuk dilihat,  jika sempat waktu memihak padanya.  Sebernarnya mereka diawasi guru.  Namun sering juga terbalik,  kadang mereka yang mengawasi guru.  

Awal soal berada di hadapan,  mereka serius sangat.  Ketika 20 menit berlalu stok konsep yang diusung dari rumah mulai menipis.  Suasana kelas mulai riuh,  sesekali terdengar suara -suara berbisik meminta jawaban teman.  Praktik monolog mulai terasa pada saat ujian di ujung waktu. 

Ujian selesai,  nilai angka bermunculan menentukan nasib.  Rasa senang mulai diumbar.  Rekreasi jadi sasaran pelepas penat selama berbulan waktu.  Hari terakhir sekolah tiba, para guru dan kepala sekolah mengumumkan bahwa sekolah libur selama 1 minggu.  Dari mulut -mulut mungil sontak keluar ucapan  Hore.....! Sekolah libur! 

Alhamdulilah saya bebas!

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar