Pemberontakan Jiwa dalam Puisi "Aku dan Kematian" Karya Mimi Marvil Sebuah Kajian Psikologi Sastra
Muklis Puna
Sastapuna.com-Lama nian anganku terpendam untuk membongkar sebuah isyarat yang disembunyikan di balik sebongkah puisi. Saat ini kucoba beranikan diri untuk menyelami seberapa dalam jiwa seorang penyair,jika mengungkapkan sebuah kematian yang akan dihadapi. Ketika tulisan ini membusur dari jari- jemari, penulis sudah berusaha mengenal sang penyair lebih dekat lewat tanda - tanda yang disematkan dalam puisi ulasan.
Mimi Marvil adalah salah satu penyair perempuan yang eksis di dunia maya. Hubungan koresponden dengan penulis sempat timbul tenggelam di dunia maya. Dari sekian banyak puisi yang ditulis, hampir semua mendapat apresiasi luar biasa dari pengamat dunia maya.
Dari sekian banyak puisi yang ditulis, baru saat ini penulis sempat menyusur dan berselancar dalam Puisi " Aku dan Kematian " Khususnya berhubungan dengan psikologi penyair. Dalam puisi ini, penulis mencoba mengupas tentang beban psikologi yang dimiliki oleh penyair dalam menghadapi kematian.
Biar tulisan ini tidak terlalu subjektif, kiranya penulis perlu bersandar pada teori psikologi dalam mengupas tanda gelisah jiwa yang dibungkus dengan bahasa yang indah, padat, ketat, dan gelap baik dari segi bentuk, maupun makna.
Menurut Ibnu Sina, kemampuan berpikir yang dimiliki manusia memberikan mereka hubungan yang unik dengan sang pencipta. Dia juga berpendapat bahwa kemampuan mental dipengaruhi oleh bagian tertentu pada otak manusia. Sepanjang sejarah psikologi, Ibnu Sina adalah ilmuwan pertama yang berupaya memahami cara kerja pikiran dan penalaran manusia.https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/nrer4d39.diakses20februari2022
Kutipan ini menjelaskan bahwa terdapat sebuah ruang yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun kecuali antara Tuhan dan manusia itu sendiri. Ruang itu adalah pemikiran yang dimiliki oleh manusia. Apa yang dipikirkan oleh manusia, berarti hanya Tuhan dan manusia sebagai objek pikir. Inilah yang disebut sebuah ruang yang bersifat rahasia. Dalam konteks jiwa yang lain publik sering menyatakan " Hanya tuhan dan Dia yang mengetahui hal itu "
Unik dan terlalu unik untuk mengungkapkan suatu hal yang berada dalam jiwa seseorang apalagi hal itu berhubungan dengan sebuah perenungan tentang introspeksi diri antara "Aku dan Kematian '
/tak terhitung sudah/ /betapa keranda lalu-lalang di jalanan/ susunan bahasa ditata dengan sangat sederhana, seperti bahasa sehari -hari, namun kekuatan jiwa yang dimiliki penyair sangat luar biasa. Dalam barisan bait ini penyair adalah seonggok daging yang diberikan ruh oleh sang pencipta untuk menjalankan tugas sebagai khalifah.
Artinya, setelah semua tugas selesai, maka Ia akan kembali pada sedia kala ( sesuatu yang bermula dari tanah, maka Ia akan kembali ke tanah) seonggok daging adalah sebuah perwakilan bagi manusia lain yang ada di alam fana ini. Seolah penyair bersorak dalam batinnya " sudah banyak orang menuju jalan pulang " namun yang diingatkan oleh penyair bagaimana jalan pulang yang cocok untuk setiap manusia setelah melakukan tugas sebagai khalifah.
Perhatikan Bait Berikut :
/betapa keranda lalu-lalang di jalanan/ Apakah ini tidak cukup sebagai tanda bagi semua insan bahwa kehidupan ini hanya sebuah sandiwara? Bukankah hidup ini sebuah mimpi, begitu roh pamit dari jasad, kita baru bangun dari mimpi / Ini adalah hal yang harus jadi perhatian bagi setiap insan. Keranda kematian adalah sebuah tanda manifestasi terhadap nasihat bagi yang hidup. Hidup jiwanya bukan hidup jasadnya yang bergerilya ke sana -sini mencari kesenangan sesaat.
/berdiri tegak tanpa tulisan/
/mengubur diri dalam kesunyian/
/berdiri tegak tanpa tulisan/
/mengubur diri dalam kesunyian/
/meminta ampun dan berserah diri pada Ilahi/
/bila maut tiada mengenal kata permisi/
Di akhir bait, penyair juga mengajukan sebuah tanya, masih adakah waktu tersisa sekejap saja untuk mengetuk pintu langit dan mohon ampun pada-Nya. Jiwanya seolah meleleh sampai ke titik terendah. Betapa kecil dan tak berdaya setiap jiwa, jika dihadapkan pada-Nya.
Aku dan Kematian
Mimi Marvill
betapa keranda lalu-lalang di jalanan
satu per satu nama berpulang
tinggalkan kenangan
canda dan tawa menjelma nisan
berdiri tegak tanpa tulisan
mengubur diri dalam kesunyian
waktu-waktu terbuang
keangkuhan menjelma debu
kotor menyesakkan
untuk diri menadahkan tangan
meminta ampun dan berserah diri pada Ilahi
bila maut tiada mengenal kata permisi
Temanggung, 04/08/2019
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Aceh Edukasi' IGI Wilayah Aceh, Pengurus IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi, Esais Sastra dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
0 Komentar