Muklis Puna
Aku dan rombongan terus berjalan mencari warung makanan yang higienis, bersih dan halal. Di warung pojok tempat ibu-ibu setengah baya mengemis pada Aku dan rombongaan, tampak dua lelaki non-muslim sedang duduk santai menikmati kopi sore. Melihat suasana yang begitu asing, aku dan rombongan mengalihkan pandangan.
Dia terus mengekor pada langkah kaki aku dan rombongan yang terus memantau menu di dalam rak warna transparan. Tiba tiba Ibu setengah baya memohon dalam bahasa Aceh. " Piyoeh bang! Piyoeh bu, Mie Goreng Na, kupi pih na. " Piyoeh bang?
Mendengar penggalan bahasa Aceh dari arah belakang. Kupingku seperti ditampar, dada berdegup. " Rupanya ada juga orang Aceh yang jualan makanan di sini. Gumamku dalam resah . Kupikir apa salahnya mampir membantu sedikit rezki buat saudaraku di perantauan.
Kuambil sikap tegas, kualihkan langkah dan rombongan menuju warung pojok. 'Emang droe neuh dari Aceh?" , Tanyaku sembari mengatur meja untuk Aku dan rombongan sebagai pelengkap cerita hari ini di kota Medan. "Nyoe Bang,Loen dari Sigli" lalu ia bergegas menyiapkan pesanan. Inilah sekelumit persaudaraan yang kurajut lewat pertalian bahasa di rantau orang. Satu persatu pengujung Mall itu menyusut. Kamipun memutuskan pulang ke penginapan merebah dari riuhnya kota. *
0 Komentar