Oleh :
Muklis Puna
Penyair perempuan dengan nama pena Chendana Biru adalah salah satu penyair yang aktif di media sosial. Penulis mengenal nama ini lewat pertemanan di akun Facebook. Penyair ini memiliki bahasa puisi yang menguras adrenalin untuk memahaminya. Secara kasat mata, bahasa yang digunakaan memang memiliki sublimitas tinggi. Secara lambang bahasa, kelihatan transparan, namun pertautan yang digunakan, pembaca harus berkening kerut memahami isi dari puisi ini. Misalnya dalam puisi "Sekali Lagi' /aku hanya singgah sebentar, di tengah jalan berkabut, /menyapu kaca mobil, mengintip matahari di ujung bukit./
Coba perhatikan larik yang sudah dikutip di atas, pembaca jangan berpikir bahwa larik itu hanya untaian kalimat biasa, akan tetapi menurut penulis itu tak biasa. Memulai sebuah puisi dengan larik yang sederhana, sesungguhnya penyair sedang mengundang pembaca untuk menghadiri dan menikmati untaian larik selanjutnya.
Apa sih maksud larik/ aku hanya singgah sebentar, di tengah jalan berkabut? / Aku yang diacu penyair adalah mengarah pada dirinya. Pembaca dengan mudah dapat memahami bahwa ada korelasi kuat antara " Aku' dan penyair. /di tengah jalan berkabu/ menunjukkan sebuah masa atau waktu yang telah dilewati yang punya sisi abu-abu. Warna kabut menunjukan adannya perseteruan sebuah keadaan yang membuat penyair merefleksikan dalam diksi tersebut.
/menyapu kaca mobil, mengintip matahari di ujung bukit./
Larik ini terasa kuat bahwa ada kisah yang enggan untuk dilupakan. Kaca dalam konteks keseharian adalah sebuah benda yang mampu memantulkan bayangan walaupun berbeda dengan wujud asli dari benda yang dipantulkan. Namun penyair lebih memilih /kaca mobil/ dari pada diksi lain misalnya/ pada cerminpun akan kuhapus semua kenangan/ penggunaan larik semacam itu menunjukan bahwa larik itu mudah dicerna oleh pembaca, sehingga penyair menjadi ujung tombak penghakiman pembaca. Mungkin inilah yang harus jadi perhatian bagi penyair. Seandainya sudah biasa menggunakan pertautan yang begitu apik. Penyair harus konsisten terhadap pemilihan bahasa yang menautkan kisah atau pengalaman yang dialami.
/Mengintip matahari di ujung bukit./ larik ini menunjukan sebuah harapan bagi penyair, bahwa setelah malam panjang mendera, bulan tak sempurna menerangi bumi, dia hanya berfungsi sebagai pengimbang keselarasan proses terbentuknya bumi. /Matahari/ sebagai lanjutan adalah sebuah harapan yang dinginkan oleh penyair. Matahari selalu muncul setelah sebuah proses malam selesai, sehingga penglaman penyair hebat sudah mapan dalam memilih diksi yang digunakan.
/jalan ini tidak terlalu panjang, namun aku merasa waktu tidak memberi kesempatan, /menjatuhkan aku di lubang, liku-liku semakin/ sempit, persimpangan yang meruncing,
/matahari dan bukit itu semakin kuning, /langkahku gontai di renyai hujan yang gering./
Bait ini sungguh menarik. Mengacu pada ulasan di atas. Penyair Chendana Biru, telah memberikan ruang gerak dalam berpikir pembaca berada pada satu alur yang tepat. Maksudnya, dengan membongkar beberapa diksi pada pembuka puisi di atas, maka pembaca lebih gampang mencerna ke mana deretan makna puisi ini melaju. Ada banyak rintangan yang dihadapi penyair dalam mengembara nasib telah dibuktikan dengan diksi/ lika -liku semakin sempit/ meruncing/ ini membuktikan ada sebuah keadaaan yang berada pada posisi dilema.
Bait ini lagi- lagi lebih mudah dicerna oleh pembaca. Hemat penulis sebagai catatan kecil kepada penyair Chendana Biru yang begitu banyak menulis puisi. Sebagai penyair berkelas yang sudah banyak merasakan asam garam dalam dunia sastra. Sebaiknya penyair lebih rapi menyimpan diri di balik tulisan yang begitu indah dan megah.
Penulis tidak berani bermain - main dengan fisik puisi, karena sudah terasa sempurna dan apik. Namun sebagai penutup penulis ingin menegaskan bahwa setiap kata "Aku " tidak selamanya dialamatkan pada penyair. Agar lebih jelas siapa /Akunya/? Bacalah puisi secara konferehensif, agar penyair lebih punya otonom dalam mengapresiasikan /Akunya/
Sekali Lagi
Karya: Chendanabiru
aku hanya singgah
sebentar,
di tengah jalan
berkabut,
menyapu kaca
mobil,
mengintip matahari
di ujung bukit.
jalan ini tidak
terlalu panjang,
namun aku merasa
waktu tidak memberi kesempatan,
menjatuhkan
aku di lubang,
liku-liku semakin
sempit,
persimpangan yang
meruncing,
matahari dan bukit itu semakin kuning,
langkahku gontai di renyai hujan yang gering.
aku pernah tahu,
ketika embun
mengupas kelopak bunga dini hari itu,
suatu pesan tersampaikan
padaku di dalam tiap helai buku,
tulisan-tulisan
biru berwajah rindu,
begitu menusuk
kalbu,
gugur air mataku
dan tiba-tiba hatiku
telah jatuh begitu dalam padamu,
tanpa tahu.
dan aku melihat
lagi,
puisi-puisi itu
pergi ke arah matahari di bukit tinggi,
aku tak berdaya
memanggil kaki berlari,
nyalipun sudah
hampir patah di sini,
tapi hati tetap
berkata,
"Kejarlah
hingga kau mati,
kerana luka
akan tetap menghidupkanmu berkali-kali."
21122019, Kuala Lumpur
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi, Pengurus IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi , dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar