Oleh: Mukhlis. S.Pd., M.Pd.
Di tengah malam yang gelap gulita, hanya suara serigala yang meraung-raung, memecah keheningan, seolah menantang kebisuan yang membelenggu.
Kegelapan menyelimuti seluruh penjuru, seakan langit menelan segala yang ada di bawahnya. Tidak ada cahaya bulan yang menuntun jalan, hanya kesunyian yang begitu dalam, namun menyimpan banyak rahasia yang tak pernah terungkapkan.
Baca Juga: Setelah Ayah Menikah Lagi
Di sebuah gubug tua yang reot, jauh dari keramaian yang terlihat di sana, seorang bocah kecil tergeletak lemah. Tubuhnya yang kurus menggigil kedinginan, kelaparan menggerogoti perutnya dengan kejam.
Jeritan yang datang dari tubuhnya terbungkam oleh gemuruh malam yang tak kenal ampun. Cacing-cacing di dalam perutnya berteriak minta makan, meronta seakan ingin keluar, namun ia hanya bisa terbaring lemah, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang.
Pesta yang Menutupi Penderitaan
Di luar sana, suasana sangat berbeda. Anak-anak para juragan kampung tampak bersenang-senang, tertawa, menari, dan bernyanyi.
Pesta meriah yang digelar untuk menyambut pejabat negeri itu begitu gemerlap, seakan-akan menutupi semua penderitaan yang sedang terjadi di luar sana. Musik dan tawa mereka menjadi suara latar yang menyelimuti segala kesunyian yang penuh kepedihan.
Namun, di balik kegembiraan itu, ada kesedihan yang dalam, yang tak seorang pun peduli. Bocah kecil itu menangis pelan di gubug sebelah, tangisan yang penuh dengan harapan, meskipun tak ada yang mendengarnya.
Ia berharap hujan turun, meskipun ia tahu itu hanya akan menjadi suara latar yang tertimbun oleh hiruk-pikuk pesta yang tak pernah berakhir. Ia berharap ada yang datang menolong, tetapi yang datang justru kegelapan malam dan perutnya yang semakin keroncongan.
Keheningan yang Terabaikan
Di dekat rumah pejabat, seorang lelaki berambut rapi duduk santai, memegang cerutu, dan menghisapnya dengan tenang. Asapnya menggulung tinggi, bercampur dengan angin malam yang kian dingin.
Baca Juga: Kenangan yang Tak Terlupakan
Tidak ada yang menggangu dirinya, tidak peduli dengan suara serigala yang meraung, atau tangisan bocah kecil di gubug sebelah. Semua itu tak berarti baginya. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana melanjutkan hidup mewah yang sudah ia raih dengan cara yang tak selalu adil.
Pesta itu berlangsung sampai larut malam. Anak-anak juragan kampung terus menari dan bernyanyi, menikmati musik yang begitu meriah, sementara bocah kecil itu terbaring dalam kelaparan, hanya bisa mendengarkan riuh di luar sana.
Setiap kali ia menatap langit, ia berharap ada bintang yang turun untuk memberinya sedikit harapan. Tetapi yang ia temui hanya kegelapan yang semakin pekat.
Ketika pagi semakin mendekat, pesta itu mulai mereda. Pemuda-pemuda yang tadi merayakan kegembiraan pergi ke tempat yang lebih gelap, lebih liar.
Pesta yang semula meriah kini mulai sepi. Pejabat-pejabat yang masih tersisa di teras rumah itu menikmati akhir malam dengan cerutu mereka, tertawa kecil, puas dengan topeng kebahagiaan yang mereka peragakan.
Bocah kecil itu menggeliat dalam tidurnya yang gelisah. Cacing-cacing di perutnya masih menuntut makanan, tetapi ia tak mampu lagi menangis.
Tenaganya habis, dan ia hanya bisa terdiam, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang. Pikirannya melayang, membayangkan kehidupan yang lebih baik, jauh dari penderitaan ini.
Baca Juga : Terdakwa Jalanan
Namun, ia tahu itu hanya mimpi. Dalam kenyataan, ia terperangkap dalam siklus yang tak berujung.
Raungan yang Tak Dipedulikan
Raungan serigala semakin menjauh di tengah hutan, tanda bahwa pergantian waktu telah tiba. Raja malam akan segera berganti. Matahari mulai menyinari bumi, memberikan cahaya yang sejuk dan terang.
Sebuah tanda bahwa hajat yang digelar di negeri ini telah selesai. Para pejabat mulai beranjak, berpamitan dengan wajah puas dan senyum tipis, membawa uang dan keuntungan dari acara yang telah berlangsung.
Namun, tak seorang pun peduli dengan bocah kecil yang masih terbaring di gubug itu, tak seorang pun peduli bahwa di luar sana, ada orang-orang yang kelaparan, yang hidupnya penuh penderitaan, yang hanya bisa melihat dunia dari balik tirai kemiskinan.
Bocah kecil itu memeluk batu di perutnya, mencoba mengalihkan rasa lapar yang terus menghantui. Air mata mengalir perlahan, tetapi ia tak tahu lagi harus berharap pada siapa.
Di luar, rinai hujan mulai turun, menyapu keringat dan debu dari wajah dunia. Ia membuka mulutnya, menguap pelan, mencoba bertahan melawan kantuk yang semakin berat.
Inilah negeri yang digalakkan oleh para pemimpin, negeri yang memperlihatkan keindahan di permukaannya, namun di dalamnya tersimpan luka yang tak terlihat.
Negeri yang penuh dengan janji kesejahteraan, namun kesejahteraan itu hanya sampai pada mereka yang sudah berada di atas. Sementara yang di bawah tetap terperangkap dalam penderitaan yang tak berujung.
Dan di gubug kecil itu, bocah yang kelaparan masih berharap, meskipun harapannya semakin pudar. Di dalam hati, ia tahu bahwa kesejahteraan yang digalakkan hanyalah sebuah kata kosong yang tak pernah berarti apa-apa bagi dirinya.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1Lhokseumawe
0 Komentar