Sumber: Dokumen Pribadi
Dalam Politik, Kedunguan Bukanlah Halangan (Napoleon Bonaparte)
Kutipan di atas mungkin terdengar ekstrem jika dikaitkan dengan judul artikel ini. Namun, jika kita melihat perkembangan politik tanah air akhir-akhir ini, kutipan tersebut bisa dipahami.
Tahun politik ini telah menarik perhatian publik dengan berbagai isu yang mengemuka di ruang publik.
Proses politik yang begitu kompleks menyita perhatian individu, kelompok, dan lembaga negara. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh Indonesia, menggugah kesadaran politik masyarakat.
Secara spontan, isu-isu politik muncul dengan terang dan terbuka. Hampir semua media, baik cetak maupun elektronik, memunculkan isu politik yang berkembang pesat, bagaikan bola salju.
Kontaminasi Politik dalam Kehidupan Masyarakat
Klaim-klaim politik yang saling bersaing sering kali tidak diawasi dengan ketat, sehingga informasi politik cepat menyebar di dunia maya, lebih cepat daripada berita terkait isu-isu sosial dan kehidupan bangsa.
Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia kini sudah dipengaruhi oleh intrik politik yang tak ada habisnya. Berbagai cabang ilmu pengetahuan pun mulai terkontaminasi dengan politik, dengan tujuan mencapai kepentingan tertentu.
Salah satu cabang ilmu yang mudah terkontaminasi oleh politik adalah sastra. Lalu, mengapa sastra lebih mudah dipengaruhi oleh politik?
Wolff (dalam Endraswara, 2011: 77) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah disiplin yang tidak terdefinisikan dengan jelas dan terdiri dari sejumlah studi empiris serta percobaan teori yang lebih umum, namun semuanya terkait dengan hubungan antara sastra dan masyarakat.
Karena sastra mencerminkan aktivitas dan perkembangan masyarakat, sudah tentu politik yang berkembang di dalamnya juga menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Politik dan sastra ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri.
Tujuan utama politik secara komprehensif adalah untuk mencapai tujuan negara, sementara sastra berfungsi sebagai alat untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut. Lalu, mengapa sastra menjadi pilihan?
Selain mampu menyentuh aspek batin masyarakat, sastra juga dapat mempengaruhi kebijakan penguasa, tergantung bagaimana sastra digunakan sebagai alat politik.
Sastra dalam Sejarah Politik Indonesia
Pergulatan sastra dalam politik telah memainkan peran penting dalam perkembangan negeri ini. Sejak awal berdirinya negara ini, sastra telah memberikan kontribusi signifikan dalam perpolitikan Indonesia.
Bahkan di belahan dunia lain, sastra sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam politik.
Sebagai contoh, pada masa Kerajaan Majapahit, Empu Prapanca yang hidup di masa Raja Hayam Wuruk menulis banyak karya sastra untuk kepentingan raja.
Kekuasaan yang mendominasi tanah air dan dunia pada waktu itu turut membawa nama Empu Prapanca dikenal luas hingga hari ini.
Pada zaman kemerdekaan, peran Balai Pustaka, sebagai lembaga sastra yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, sangat berpengaruh dalam dunia sastra.
Balai Pustaka menetapkan standar ganda untuk karya-karya yang mengandung muatan politik. Sebagai contoh, novel "Salah Asuhan" karya Abdul Muis mengalami beberapa kali perubahan substansi agar bisa diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Perubahan-perubahan tersebut tentu saja disesuaikan dengan kepentingan politik Belanda pada saat itu.
Sastrawan yang Berjuang Melawan Kekuasaan
Mari kita tinggalkan masa penjajahan dan peran Balai Pustaka, dan fokus pada sastrawan Indonesia yang harus berurusan dengan pihak berwajib karena karya-karya mereka dianggap mengganggu pemerintah pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Siapa yang tidak kenal dengan Pramoedya Ananta Toer, yang hidup dan berkarya di Pulau Buru karena karyanya dianggap mengancam rezim Orde Baru?
Karya-karyanya menjadi sumber inspirasi dalam memaknai sejarah perjuangan di tengah penindasan, meskipun kehidupannya penuh dengan penderitaan akibat politik.
Selain itu, Saut Situmorang, seorang penyair yang terkenal dengan sikap nyentriknya, juga harus berurusan dengan polisi. Ia terlibat dalam kontroversi terkait buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh", yang menimbulkan polemik di kalangan sastrawan.
Kritikan terhadap buku tersebut berujung pada pelaporan Sutan Iwan Soekri Munaf (almarhum) dan Saut Situmorang atas tuduhan pencemaran nama baik.
Meskipun kasus ini hanya berkaitan dengan nama baik, namun hal ini bisa berubah menjadi isu politik yang dipolitisasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam konteks lain, hubungan antara sastra dan politik selalu berhubungan erat, terutama pada masa Orde Baru, di mana rezim yang represif memicu banyak sastrawan untuk mengkritik pemerintah.
Salah satu contoh nyata adalah WS Rendra yang dilarang tampilkan teaternya oleh rezim Suharto. Banyak sastrawan yang menghadapi penganiayaan atau bahkan menghilang akibat ketajaman kritik mereka terhadap pemerintah.
Relasi Kompleks antara Sastra dan Politik
Ini menunjukkan bahwa relasi antara sastra dan politik, khususnya antara sastrawan dan penguasa, sangat kompleks. Terkadang keduanya saling bergandengan tangan, namun di lain waktu saling berhadap-hadapan.
Hal ini wajar, karena sastra sering kali bertentangan dengan politik, terutama ketika berhadapan dengan rezim represif. Prinsip dasar sastra adalah kebebasan, yang sering kali berbenturan dengan kekuasaan politik yang mengekang.
Jika melihat kondisi media sosial saat ini, yang sering dijadikan alat politik oleh elit-elit yang berusaha meraih kekuasaan, kita dapat melihat bahwa karya sastra sering digunakan oleh pihak-pihak yang bertikai untuk kepentingan politik mereka.
Bahkan penulis pernah ditawari untuk menulis karya yang memuji tokoh tertentu yang dianggap layak menjadi calon pemimpin, dalam berbagai bentuk sastra.
Simpulan
Sastra dan politik memiliki peranan yang luar biasa dalam tatanan kehidupan bernegara. Namun, ketika berhadapan dengan sistem penguasa yang tiran, sastra cenderung mengambil bentuknya sendiri, keluar dari kesepakatan yang ada. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang keilmuan.
Sastra cenderung lebih berpihak pada ketidakadilan dan menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas, sementara politik, sebagaimana kutipan awal artikel ini, lebih mengutamakan kepentingan dan kekuasaan.
Dalam politik, tidak ada yang namanya "makan siang gratis," yang ada hanya kesamaan visi untuk mewujudkan misi berkuasa.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1Lhokseumawe
0 Komentar