Baca Juga: Tersimpan dalam Waktu
Jiwa-jiwa yang dirampas malam itu,
Penasaran mengusung berjuta tanya:
Mengapa tulisan hidup berbeda lafaz?
Mengapa lidah melaju ke lain arah?
Mengapa bendera putih harus menghapus cita,
Berkibar di pagi buta hingga telanjang dada?
Baca Juga: Baitku Terluka
Darah-darah mengalir menyusur kali,
Kali dibendung warna umbul-umbul.
Beku mengental di atas aspal,
Dieram matahari dan bulan sepanjang malam,
Dikikis telapak sedan berpelat mewah.
Setelah matahari kembar bersatu dalam rasa,
Dijemput ombak, digulung pasang,
Dikipas angin selatan menjadi kenangan semasa.
Haluan kisah diputar mengarah ke selatan,
Menyelingkuhi nafsu yang melilit usus.
Setelah darah-darah itu kerontang,
Jiwa-jiwa penasaran pulang menuju kandil.
Wajah pucat menatap Tuhan dalam ragu.
Dalam haru Dia bertanya:
Di mana tempatku, Tuhan?
Bagaimana takdirku?
Sementara di sana,
Bulan dan matahari saling tatap,
Berangkulan melepas kemesraan,
Mengusir dendam,
membuang sekat,
Menghapus kotak-kotak
Bermuka satu, berjasad dua.
Setelah matahari kembar itu menyaru,
Aku adalah jiwa yang tergoda rayuan.
Kupikir ada surga gratis di sana,
Ada keikhlasan demi cintaku pada-Mu.
Tuhan...
Di mana takdir yang telah Kau tuliskan?
Biarkan darahku mengental dengan aspal ibu kota,
karena di sana, nasibku menggantung
di tangan dewi keadilan.
Lhokseumawe, Febuari 2025
0 Komentar