Ketika Matahari dan Bulan Berangkulan

Ketika Matahari dan Bulan Berangkulan

                                                                Sumber: Dreamina.capcut.com


Oleh :  Muklis Puna 

Setelah matahari kembar itu
Bersatu dalam cawan politik,
Kulihat orang-orang berdiri di atas kepala.
Resah-resah pemilik jiwa
Perlahan rebah dalam jurang kepentingan.

Jiwa-jiwa yang dirampas malam itu,
Penasaran mengusung berjuta tanya:
Mengapa tulisan hidup berbeda lafaz?
Mengapa lidah melaju ke lain arah?
Mengapa bendera putih harus menghapus cita,
Berkibar di pagi buta hingga telanjang dada?

Baca Juga: Baitku Terluka

Darah-darah mengalir menyusur kali,
Kali dibendung warna umbul-umbul.
Beku mengental di atas aspal,
Dieram matahari dan bulan sepanjang malam,
Dikikis telapak sedan berpelat mewah.

Setelah matahari kembar bersatu dalam rasa,

Kasak-kusuk mundur sampai ke hulu.
Dijemput ombak, digulung pasang,
Dikipas angin selatan menjadi kenangan semasa.
Haluan kisah diputar mengarah ke selatan,
Menyelingkuhi nafsu yang melilit usus.

Setelah darah-darah itu kerontang,
Jiwa-jiwa penasaran pulang menuju kandil.
Wajah pucat menatap Tuhan dalam ragu.
Dalam haru Dia bertanya:
Di mana tempatku, Tuhan?
Bagaimana takdirku?

Sementara di sana,
Bulan dan matahari saling tatap,
Berangkulan melepas kemesraan,
Mengusir dendam,
membuang sekat,
Menghapus kotak-kotak
Bermuka satu, berjasad dua.

Setelah matahari kembar itu menyaru,
Aku adalah jiwa yang tergoda rayuan.
Kupikir ada surga gratis di sana,
Ada keikhlasan demi cintaku pada-Mu.

Tuhan...
Di mana takdir yang telah Kau tuliskan?
Biarkan darahku mengental dengan aspal ibu kota,
karena di sana, nasibku menggantung
di tangan dewi keadilan.


Lhokseumawe,  Febuari  2025

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar