Tradisi dan Keindahan Kain Tenun Lombok

Tradisi dan Keindahan Kain Tenun Lombok

           Sumber: Dokumen  Pribadi 

Oleh: Dea Ananda Islami

Pada tanggal 1 Juli 2024, Saya bersama ibu saya memulai perjalanan liburan untuk mengisi waktu libur semester. Kami memilih salah satu kota di Indonesia yang dijuluki sebagai "Kota Seribu Masjid," yaitu Lombok. Selain ibu, saya juga berangkat bersama beberapa rekan kerja ibu saya. 

Perjalanan dari Aceh menuju Lombok memakan waktu sekitar tiga jam dengan menggunakan pesawat. Namun, perjalanan ini tidak langsung, karena kami harus transit terlebih dahulu di Malaysia. 

Dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh, kami terbang menuju Bandara Internasional Kuala Lumpur, yang memakan waktu sekitar 45 menit. Setelah itu, kami menunggu selama sekitar 3-4 jam sebelum melanjutkan penerbangan menuju Lombok, yang memakan waktu sekitar dua jam.

Baca Juga: Filosofi dan Makna di Balik Museum Tsunami Aceh

Setibanya di Lombok, kami mengunjungi Desa Sukarara, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Nama Sukarara berasal dari kata "suka" yang berarti senang dan "rara" yang berarti miskin. 

Hal ini mencerminkan bahwa meskipun penduduk desa ini hidup dalam keterbatasan, mereka selalu hidup dalam kebahagiaan. Di Desa Sukarara, saya menemukan banyak hal menarik, terutama terkait dengan tradisi tenun yang sudah sangat melekat pada kehidupan masyarakat setempat.

Sukarara terkenal sebagai pusat pembuatan kain tenun songket yang cantik dengan berbagai motif dan warna, jug berkualitas tinggi. Namun, kain tenun ini bukan hanya menarik dari segi penampilan, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang mendalam. 

Menurut tradisi masyarakat Sasak, perempuan yang sudah bisa menenun dianggap telah mencapai kedewasaan dan layak untuk menikah. Proses belajar menenun dimulai sejak usia dini, sekitar sembilan tahun, karena bagi masyarakat Sasak, menenun adalah keterampilan yang wajib dikuasai oleh setiap perempuan.

Kain tenun di Desa Sukarara dibuat secara tradisional menggunakan alat tenun yang terbuat dari bambu. Pembuatan kain tenun ini memerlukan waktu yang cukup lama, bisa mencapai 2-3 bulan tergantung pada motif dan ukuran kain. 

Rata-rata, seorang penenun hanya bisa menghasilkan sekitar 15 cm kain per hari. Oleh karena itu, kain tenun dari Sukarara dijual dengan harga yang relatif mahal, karena proses pembuatannya yang rumit dan memakan waktu lama.

Salah satu hal yang menarik dari proses pembuatan kain tenun di desa ini adalah bunyi khas "sak-sak" yang terdengar saat alat tenun digunakan. Hal ini menambah kesan unik dan magis dari proses pembuatan tenun tersebut.

Di Desa Sukarara, pengunjung juga diajak untuk mencoba menenun, dan diajarkan langsung oleh para penenun yang sudah berusia lanjut, namun masih sangat terampil dalam mengolah benang menjadi kain tenun yang indah.

Selain itu, di desa ini juga tersedia kesempatan bagi pengunjung untuk mengenakan pakaian adat suku Sasak. Pakaian tradisional untuk perempuan disebut "lambung" dan "Songket." 

Baca Juga: Perlukah Media Bimbingan Konseling (BK) diUpdate ?

Pengunjung dapat mengenakan pakaian adat ini dan membayar seikhlasnya, sesuai dengan kemampuan dan niat hati. Saya dan ibu saya pun tak melewatkan kesempatan untuk mengenakan pakaian adat tersebut, dan kami sangat terkesan dengan keindahan motif-motif yang ada pada kain tersebut.

Di Desa Sukarara, terdapat pula rumah adat suku Sasak yang disebut "Sade." Rumah adat ini memiliki atap yang terbuat dari jerami dan alang-alang, yang dikenal kuat dan tahan terhadap hujan. Mereka mengganti atap rumah setiap tujuh hingga delapan tahun sekali. Yang paling menarik dari rumah Sade adalah lantainya, yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau.

Konon, kotoran kerbau digunakan untuk membersihkan lantai rumah dan memberikan kekuatan serta kelembutan pada permukaan lantai. Setiap minggu, lantai rumah dibersihkan dengan menggunakan campuran kotoran kerbau. 

Begitulah beberapa keunikan yang saya dapati di desa sukurara. Selanjutnya kami pulang dari desa suskurara dan melanjutkan perjalanan ke destinasi lainnya yang ada dikota lombok.

Pengalaman saya di Desa Sukarara ini sangat berharga. Saya tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang proses pembuatan kain tenun yang rumit, tetapi juga mempelajari tradisi dan kebudayaan masyarakat Sasak yang sangat kaya. 

Perjalanan ini menjadi kenangan terindah bagi saya, karena saya bisa merasakan dan melihat langsung keunikan budaya Indonesia yang begitu beragam. 

Tak hanya itu, kesempatan untuk mencoba menenun dan mengenakan pakaian adat suku Sasak memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Saya berharap dapat kembali ke Lombok suatu saat nanti untuk lebih mendalami budaya dan tradisi yang ada di sana.

Penulis adalah Mahasiswa Sendratasik Universitas Syiah Kuala  (USK ) Banda Aceh

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar