Asa dalam Kegelapan

Asa dalam Kegelapan

Sumber: Dreamina.capcut.com

Oleh : Intan Amanda

Warna langit sore memang tidak pernah mengecewakan. Senja berwarna jingga yang dihiasi kepakan sayap-sayap burung selalu menarik perhatian Renjani sepulang sekolah. 

Dengan langkah kecil, gadis itu mendongakkan kepalanya memandang langit yang indah itu. Tidak hanya langit, suasa sore juga begitu menenangkan. Orang-orang saling melempar tawa, seolah hidup hanya diisi hal-hal yang membuat mereka bahagia.

Renjani semakin memperkecil langkah kakinya agar semakin lama sampai ke rumah. Ia ingin menikmati ketenangan ini lebih lama lama lagi. Kendati demikian, dia tetap akan tiba disebuah rumah hook minimalis yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Renjani menghela nafas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.

Baca  Juga; Perjalanan Melintasi Gelombang Teknologi dan Ombak Perubahan

“Kirain nggak akan pulang pulang lagi.” Suara khas mamanya membuat Renjani menghentikan langkahnya. Sembari menundukkan kepala, Renjani meminta maaf.

“Ma-mafin, Jani.” Ucap Jani terbata-bata.

“Maaf aja terusan. Muak mama dengernya! Sekali lagi mama ingetin, kalo kamu masih pulang sekolah telat gini, nggak usah lagi pulang ke rumah ini. Kamu urus aja ekskul-ekskul kamu di sekolah, nggak usah urusin rumah. 

Dasar anak yang tidak bisa diandalkan!” Setelah mengucapkan kalimat mebnyakitkan itu, mama pergi begitu saja meninggalkan Renjani yang terus mencoba tahan dengan keadaan sekarang.

Semenjak papanya dipecat, keluarga Renjani jadi berubah. Tidak ada lagi kehangatan di rumah ini. Hari-harinya hanya diisi dengan makian dan lemparan barang. Padahal dulu keluarga Renjani begitu cemara, sekarang malah sebaliknya. Semenjak Renjani masuk SMA.

Renjani membersihkan dirinya. Dia segera menuju dapur untuk mencuci piring sebelum mamanya marah dan melempar satu persatu piring kotor itu. Renjani mulai mencuci piring dan gelas, suara air keran di wastafel sedikit membuat perasaannya tenang. Setidaknya sampai sesuatu yang pecah mengagetkannya.

“AKU LAGI YANG SALAH!” Samar-samar Renjani mendengar suara mamanya berteriak. Reanjani segera mematikan air keran dan mengelap tangannya lalu mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dari balik dinding dapur, ia bisa mengintip mama dan papanya yang sedang

bertengkar. Barang-barang antik yang semula tertata rapi di atas meja kini satu persatu mulai hancur.

“Aku juga lagi berusaha. Kamu pikir cari kerja jaman sekarang gampang?!”

“Coba aja kamu turunin gengsi kamu itu, ngga harus kerja diperusahaan.”

“Apa kata temen-temenku nanti? Ngapain aku cape-cape kuliah kalau ujung-ujungnya cuman jadi karyawan di toko biasa?”

“PIKIRIN TERUS GENGSI KAMU ITU! KELUARGA NAHAN LAPAR DI RUMAH!”

Renjani memejamkan matanya tak sanggup lagi menyaksikan pertengkaran yang menyayat hati itu. Setiap hari dia harus mendengar pekikan-pekikan mama dan papanya. 

Mendengar barang-barang yang di lempar ke lantai. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya istirahat, malah menjelma sebagai tanaman liar yang di penuhi duri-duri tajam yang menusuk fisik dan batinnya.

Baca  Juga; Aku, Pino, dan Neira

Malamnya Renjani menarik selimut, mencoba memajmkan mata dan berharap pagi datang secepat mungkin. Hanya dengan itu dia bisa keluar dari rumah dan bertemu dengan teman-temannya di sekolah. Menikmati ketenangan di antara orang-orang baik yang selalu membuatnya tertawa. Melupakan sejenak luka batin itu.

Setelah mencoba untuk tidur nyenyak semalaman, akhirnya Renjani bisa menikmati pagi yang cerah tanpa ada makian ataupun barang yang hancur. Renjani menatap dirinya di pantulan cermin, menarik senyum setulus mungkin. Dia segera pergi dari rumah tanpa pamit dulu dengan orangtuanya yang masih terlelap dalam tidur mereka.

Renjani sangat senang saat di sekolah. Dia bisa tertawa lepas bersama teman-temannya tanpa perlu memikirkan masalah di rumah. Dia bisa tertawa tanpa harus mendengar pekikan-pekikan menyakitkan, suara-suara barang yang di lempar ke seberang arah, dan juga tangisan yang meluap saat tengah malam.

Di sekolah Renjani bisa bertemu dengan orang-orang baik. Orang-orang yang tidak pernah memakinya. Orang yang tidak pernah membuatnya merasa seperti benalu yang layak untuk di musnahkan.

Walaupun demikian, Renjani tidak pernah membenci kedua orangtuanya. Dia masih yakin bahwa suatu saat keluarganya akan seperti sediakala. Mama dan papanya akan kembali

melempar canda tawa. Papa akan kembali membantunya belajar, dan mamanya akan kembali mengusap-usap rambutnya sebelum tidur. Renjani akan terus menanam harapan itu di tengah-tengah kegelapan ini.

“Jani!” Suara seseorang membuat Renjani menoleh ke belakang.

“Iya?”

“Kamu kok nggak jawab aku panggil dari tadi?” tanya Adira mengerucutkan buibirnya kesal.

“Oh! Maaf, Ra. Tadi aku lagi fokus baca novel.” Jawab Renjani mengangkat novelnya disertai cengiran menyebalkan.

"Baca mulu! Tuh di panggil sama Bu Asma ke ruang BK."

"Sekarang?"

"Tunggu ganti presiden dulu. Ya sekarang lah, Jani ...." ucap Adira gemas ingin mencekik teman tercintanya itu.

Renjani hanya cengengesan sebelum pergi ke ruang BK seperti yang di perintahkan wali kelasnya. Renjani mengetuk pintu dan memberi salam, di dalam sudah ada Bu Asma yang merupakan wali kelasnya dan Bu Yani selaku ketua BK. Renjani menyalami kedua guru itu.

"Ada apa ya, Buk?" tanyanya sopan.

"Silahkan duduk dulu, Nak." ucap Bu Asma yang di angguki oleh Renjani. Ia lalu duduk di kursi sebelah Bu Asma.

Baca Juga: Bisikan Daun Kelor

“Jadi gini, Jani. Ibu langsung to the point aja ya?" tanya Bu Yani diangguki oleh Renjani.

“Beberapa hari ini, ibu perhatiin kamu sering duduk sendirian sambil ngelamun. Kadang saat diperhatiin lebih lama, kamu sampai nangis. Ibu tanya pembimbing ekskul kamu juga banyak diamnya. Nggak aktif lagi kayak dulu. Lagi ada masalah apa, Nak?” tanya Bu Yani.

Tubuhnya terasa mati rasa dan kaku. Oksigen yang masuk ke pernafasan terasa tersedak di tenggorokannya. Sejak kapan Bu Yani memperhatikannya seperti itu? Untuk kedua kalinya, Renjani semakin dibuat kaku saat Bu Asma meraih pergelangan tangannya. Bu Asma tersenyum dengan senyum yang selalu membuat hati Renjani menghangat.

"Kalau ada apa-apa, cerita saja sama kami, Nak. Jangan di pendam sendirian. Nanti malah bikin beban pikiran kamu bertambah."

“Nggak ada apa-apa, Buk. Cuman lagi cape aja, makanya jadi kurang fokus.”

"Jangan berbohong, Jani. Ibu sudah puluhan tahun mengajar di sini. Ibu tahu mana anak yang berbohong dan yang jujur." ucap Bu Yani membuat Renjani kalut.

"Jani. Ibu tahu kamu anak yang kuat. Anak pinter, bisa selalu banggain orang tua kamu. Tapi bukan berarti kamu ngga punya luka. Cerita saja sama kami, Nak. Jangan takut."

Gagal.

Renjani gagal menyembunyikan air matanya. Satu kata dari Bu Asma membuat matanya berair begitu saja. 'Orangtua'. Renjani tidak tahu apakah Renjani sudah membanggakan orangtuanya?

Renjani hanya tahu mereka sama sekali tidak peduli dengan prestasi Renjani selama ini. Renjani hanya tahu mamanya marah kalau dia telat pulang sekolah. Renjani hanya tahu kalau papanya kesusahan saat Renjani mengikuti event di sekolah. Renjani tidak pernah tahu apa-apa tentang yang membuat orangtuanya bangga.

"Sebenarnya ..." Tanpa rasa malu, Renjani menceritakan semua perasaan yang dia pendam selama ini. Perasaan yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapapun. Perasaan yang membuatnya melamun sendiri dan berujung tangis. Dengan sesegukan, Renjani menceritakan masalahnya di rumah.

Bagaimana mamanya yang sering marah-marah, papanya yang sering menyuruhnya untuk putus sekolah saja karena tidak sanggup membiayainya lagi. Bagaimana setiap harinya Renjani harus menyaksikan drama sakit orangtuanya. Renjani menceritakan semuanya.

Bu Asma memeluknya, sedangkan Bu Yani mengusap-usap punggung Renjani penuh iba. Kedua guru itu tak kuasa setelah mendengar cerita Renjani. 

Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak yang selalu menebar senyum itu mempunyai luka sedalam itu. Pantas saja akhir-akhir ini senyum itu jarang muncul. Karena Renjani mulai lelah untuk berpura-pura.

"Tidak apa-apa, Nak. Menangis saja sepuasnya. Menangislah sampai kamu merasa lebih baik.” ucap Bu Yani membuat Renjani semakin terisak.

Sekitar tiga puluh menit Renjani habiskan untuk menangis di ruang BK. Sekarang hatinya jadi tenang. Perasaannya lebih lega daripada saat dia menangis di malam hari selama berjam-jam. Itu karena tangis kali ini dia tumpahkan bersamaan dengan perasaan rapuhnya. Ada orang yang mau mendengarkannya.

"Terimakasih banyak ya, Bu. Setelah cerita seperti ini, Renjani ngerasa lebih baik."

"Iya, Nak. Kalau ada masalah apapun jangan pernah sungkan untuk cerita kepada ibu ataupun Bu Yani. Kamu ingat kan' pas pertama masuk sekolah? Ibu bilang, kalau ibu adalah orangtua kalian di sekolah ini." tanya Bu Asma yang diangguki oleh Renjani.

"Adakalanya kita menghadapi cobaan dari orang-orang yang dekat dengan kita. Tidak semua anak beruntung dalam keluarganya, tapi bukan berarti mereka tidak akan pernah merasakan apa itu kasih sayang keluarga. 

Masih banyak orang yang bisa kamu anggap keluarga, Jani. Ada guru, teman, masih banyak orang-orang baik disekitarmu.” Nasihat panjang dari Bu Yani membuat Renjani menarik sudut bibirnya.

Bu Yani benar, masih banyak orang-orang baik di sekitarnya. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Renjani pamit untuk kembali ke kelas. Tapi siapa sangka, saat membuka pintu Renjani malah dikejutkan dengan kehadiran Adira dan Sherly yang tersungkur akibat pintu yang dibukanya.

"Dira? Sherly? Kok kalian di sini?" Renjani melihat kedua temannya sedang menunggunya di depan pintu. 

Mereka berdua bertanya kenapa Renjani dipanggil ke ruang BK. Renjani belum bisa menceritakan masalahnya kepada mereka. Dia terpaksa untuk berbohong.

"Adalah pokoknya. Udah ah! Yuk balik kelas. Udah mau jam seni budaya ni. Nanti kena marah kita." Renjani mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Merangkul pundak teman-temannya dan berjalan menuju ke kelas.

Sepulang sekolah, Renjani segera pulang ke rumah karena tidak ada kegiatan apa-apa hari ini. Sampainya di rumah, Renjani sudah tidak heran lagi melihat kondisi ruang tamu yang berantakan. 

Dia sudah tidak akan lagi terkena pecahan kaca saat ingin masuk ke kamar. Beling-beling yang berasal dari barang antik itu bisa dia lihat dengan jelas agar tidak tertancap ke kakinya.

Hari ini rumah benar-benar sunyi. Mama dan papanya tidak ada di rumah. Renjani sedikit heran, biasanya jam segini mamanya tengah duduk di ruang tengah sembari merutuki hutan-

hutan yang harus segera dibayar. Kalau tidak, memaki-maki papanya yang sangat jarang pulang. Bahkan sampai malam hari tiba, Renjani hanya sendirian di rumah.

Gadis itu mulai resah. Ada dua spekulasi menakutkan di kepalanya. Orangtuanya yang sengaja pergi meninggalkannya atau terjadi sesuatu pada mereka sekarang. Renjani mondar-mandir seperti setrika di depan pintu utama rumahnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi bel di luar yang membuat Renjani menarik sudut bibirnya dan segera berjalan untuk membuka pintu. Renjani mengira itu papa atau mamanya. Tapi begitu pintu terbuka, raut wajahnya berubah seketika.

"Apa benar ini rumahnya ibuk Mirna?" tanya seorang pria yang mengenakan jaket kulit hitam. Di belakangnya terdapat dua orang pria yang mengenakan seragam polisi.

Renjani mengangguk. Perasaannya jadi tidak enak.

"Kami ingin melaporkan bahwa, Bu Mirna baru saja mengalami kecelakaan dan sekarang tengah di bawa ke rumah sakit."

Handphone di tangannya jatuh seketika. Dadanya berdegup kencang dan terasa sulit untuk bernafas. Tanpa berbasa-basi lagi, Renjani ikut polisi itu menuju ke rumah sakit.Gadis itu berlari di koridor rumah sakit sampai menemukan ruangan yang menjadi ruangan tujuannya.

Renjani menatap nanar ruang ICU tempat mamanya dirawat. Tiga puluh menit kemudian, dokter keluar dan langsung saja dilempari pertanyaan oleh Renjani.

"Gimana keadaan mama saya, Dok?"

"Mama kamu mengalami benturan keras dikepalanya. Kami sudah mengobatinya, tapi sepertinya akan lama untuk beliau siuman."

“Boleh saya masuk?"

"Tentu saja."

Renjani segera masuk ke dalam ruangan yang didominasi oleh bau karbol itu. Renjani duduk di bibir ranjang, menatap mamanya yang terbaring dengan mata terpejam dipenuhi perban dikepalanya. Renjani meraih jemari mamanya dan menggenggamnya.

"Mama cepat bangun, ya .... Jani ngga mau liat Mama gini. Lebih baik Jani ngeliat Mama marah-marah sama Jani daripada harus ngeliat Mama terbaring tak berdaya gini." Renjani menjeda ucapannya, mencoba mengontrol isakannya. Gadis itu lalu mencium punggung tangan wanita yang tak sadarkan diri itu.

Malam berjalan begitu lambat bagi Renjani. Walaupun begitu, dia tidak mengantuk sama sekali. Gadis itu masih setiap duduk di sebelah ranjang menunggu mamanya siuman. Renjani baru ingat kalau hari ini dia harus mengikuti olimpiade kimia yang sudah di bimbing habis-habisan selama dua minggu ini.

Namun Renjani sama sekali tidak peduli. Dia tak menghiraukan hal lain selain mamanya. Renjani tidak butuh apa-apa selain kesadaran mamanya. Rasanya semua piala-piala, medali-medali, dan sertifikat yang ia dapatkan adalah bencana untuknya karena sudah tidak menjadi anak yang tidak penurut sampai membuat mamanya menjadi seperti sekarang.

"Maafin, Jani. Mama pasti stres mikirin Jani yang sering telat pulang dan ngga bisa bantu Mama di rumah. Makanya mama pergi keluar. 

Maafin Jani, Ma. Jani janji setelah ini Jani akan nurut sama semua kata-kata Mama. Jadi mama cepet sadar ya? Mama mukul Jani aja nanti ngga papa biar stres mama berkurang." Renjani terus mengoceh kepada mamanya yang sama sekali tidak ada tanda-tanda siuman.

Beberapa menit kemudian, pintu rumah sakit terbuka dan menampakkan seorang pria dengan setelan jas kantor.

"Papa?"

Pria itu hanya diam. Berjalan mendekat ke arah Renjani dan memeluk putri satu-satunya itu.

"Maafin papa, Nak. Papa udah gagal jadi seorang ayah yang baik untuk kamu dan suami yang baik untuk ibu kamu." Renjani diam tidak menjawab apa-apa. Dia bahkan tidak membalas pelukan papanya. Tapi telinganya bisa mendengar isakan dari pria paruh baya tersebut. Lalu akhirnya Renjani baru bersuara.

"Mama kapan sadarnya, Pa?" Air matanya kembali tumpah. Pelukan papanya semakin mengerat.

"Papa juga ngga tau, sayang. Kita berdoa saja semoga mama cepet sadarnya."

Renjani tiba-tiba merasa hatinya menghangat. Sudah lama ia tidak menerima pelukan dan panggilan sayang dari papanya. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat. Setelah pelukan dan kalimat lembut itu, papanya benar-benar berubah menjadi papa saat dia belum masuk SMA.

"Ayo makan dulu, Jani. Kamu pasti belum makan apa-apa dari semalam kan?" Jani masih sedikit kaget saat papanya tiba-tiba pamit keluar untuk mencari makan dan kembali dengan satu bungkus dua bungkus nasi goreng. Papanya bahkan mengusap-ngusap kepalanya saat Renjani makan membuat perasaan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan.

"Mulai sekarang papa akan kembali membangun kembali keluarga kita yang pernah runtuh. Papa minta maaf karena gara-gara ulah papa dan mama kamu jadi terkena imbasnya. Kamu harus hidup dalam keluarga yang hancur seperti ini."

"Papa ngga perlu minta maaf. Malahan aku yang berterima kasih karena Papa udah mau berubah. Kita bangun kembali keluarga kita yang kaya dulu lagi.

 Bareng Mama juga entar kalau udah siuman." ucap Renjani tersenyum tulus setulusnya. Senyum yang tidak bermaksud menyembunyikan apa-apa, senyum yang memang untuk mendeskripsikan hatinya yang bahagia.

Akhirnya setelah sekian lama, Renjani bisa merasakan pelukan hangat papanya. Renjani bisa mendapatkan usapan lembut di kepalanya. Apa yang ia nanti-nantikan kembali terwujud secara perlahan.

 Harapan yang ditanam selama ini berhasil tumbuh dengan semestinya. Itu semua berkat orang-orang disekitarnya.

Berkat mereka, Renjani bisa terus bertahan sejauh ini biarpun dalam sendirian gadis itu sering runtuh. Kalau saja tidak ada teman-teman yang selalu membuatnya tertawa, guru yang mau mendengarkan ceritanya, Renjani tidak akan sekuat sekarang. Itu semua berkat kebaikan disekitarnya.


Penulis adalah Siswa SMA Negeri 1 Lhoksukon 


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar