Bahasamu adalah Representasi Pikiran dan Kepribadianmu

Bahasamu adalah Representasi Pikiran dan Kepribadianmu

 

                                                        Sumber: Pixabay


Oleh: Mukhlis, S.Pd.,M.Pd.

"Waduh...! Ngeri sekali bahasa yang diucapkan. Oh... itu baru dengar bahasa anaknya, belum kata-kata yang ducapkan ibunya, lebih sadis dan mengenaskan". 

Itulah sekelumit dialog yang lewat di kuping penulis pada suatu hari. Dialog tersebut memberikan sebuah inspirasi dan gagasan kepada penulis untuk menulis artikel yang mengulas tentang bahasa adalah sebuah representasi  kepribadian dan pikiran manusia.

Secara linguistik, setiap manusia tidak menurunkan bahasa kepada generasi berikutnya. Dengan kata lain, bahasa tidak dapat diwariskan kepada anak cucu kelak, akan tetapi yang dapat diwariskan adalah gen. 

Bahasa dalam konteks tersebut hanya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada sesama. Sementara gen adalah sesuatu yang berhubungan dengan sifat, tabiat, dan karakter dan dialiri dalam darah manusia. 

Gen ini mewarisi seluruh sifat dan karakteristik yamg dimiliki. Apabila karakter baik, maka baiklah bahasanya.

Sebenarnya tulisan ini lahir karena adanya sebuah fenomena kebahasaan yang berkembang begitu cepat pada media sosial. 

Kebahasaan yang fenomenal tersebut berkaitan dengan bahasa atau diksi yang digunakan salah satu pasangan capres . 

Dalami bahasa tertentu hal ini dianggap sangat kasar dan di luar kepantasan yang tidak selayaknya diucapkan oleh figur terbaik saat ini. Akan tetapi, bukan itu yamg menjadi ulasan dari bentangan tulisan ini. 

Prioritas tulisan ini adalah ingin membuka tabir tentang fitur-fitur kebahasaan berhubungan dengan sikap kebahasaan, kepribadian dan perwujudan intelektual yang dimiliki oleh seseorang.

Merujuk pada konsep bahwa, bahasa adalah sebuah representasi pikiran, artinya apabila bahasa baik, maka mencerminkan bagaimana gaya berpikir seseorang. 

Ada cerita karakter kepribadian yang bersembunyi di balik lambang- lambang bunyi yang diucapkan secara sistematis dan logis. 

Kelancaran mengunakan bahasa dalam berbagai kegiatan memberikan sebuah cerita yang sedang berlangsung di balik bahasa yang diungkapkan. 

Semua lambang kebahasaan yang digunakan adalah perwujudan dari pikiran . Hal ini menunjukkan bahwa bahasa adalah sebuah karakter pribadi yang disampaikan secara transparan kepada publik.

Sehebat apapun seseorang mencoba meraut bahasanya sehalus mungkin, baik dalam memunculkan sikap kebahasaan maupun melalui pengungkapan sesuatu. Dalam kondisi tertentu Dia akan kembali ke stelan pabrik (wujud aslinya).

Seperti momen- momen politik saat ini, banyak pengepul suara melakukan settingan saat menggunakan bahasa. Rata- rata mereka telah mengupdate cara berbahasa dan memilih diksi yang menyiksa jiwa pendengar. Namun, saat pendengar melakukan restart ulang, maka akan tampak wujud asli dari karakter yang dimiliki oleh para pengepul suara.

Bahasa adalah Perwujudan Kepribadian 

Bahasa pada dasarnya adalah alat untuk mengungkap pikiran dan perasaan kepada orang di lain. Konsep ini sangat sederhana dan mudah dipahami oleh semua orang. Artinya, kata- kata yang digunakan dalam definisi ini bersifat populer. Akan tetapi, ketika mencoba untuk merunut ulang pada diksi "perasaan" akan memunculkan sebuah makna yang luar biasa.

Diksi "perasaan" adalah sebuah ungkapan yang keluar dari lubuk hati yang dalam. Konteks "Perasaan" berarti berhubungan dengan jiwa dan batin seseorang. Ada korelasi yang kuat antara perasaan dan hati yang dimiliki manusia. Dalam bahasa lain, perasaan adalah suatu kondisi yang bukan bersifat stagnan, akan tetapi diksi ini akan menyesuaikan diri dengan kondisi yamg dialami oleh pengguna bahasa.

Dalam kondisi tertentu, bahasa bisa di setting sesuai dengan kemauan dan kebutuhan pengguna. Alat ucap hanya berfungsi sebagai pipa- pipa yang mengairi bahasa dibalut dalam diksi dengan harapan memunculkan makna yang menarik. 

Dampak turunan yang timbul dari peristiwa kebahasaan ini adalah lahirnya sifat kebahasaan yang berwibawa dan bermartabat, sehingga bermuara pada kepribadian pengguna. Ini berlaku apabila pengguna bahasa berada dalam keadaan normal tanpa ada tekanan pikiran dari pihak lain.

Setiap momen diskusi atau debat hal di atas sering mendominasi. Saat pikiran dipertengkarkan dengan pikiran ada saja efek samping yang muncul dari ketidaksiapan dalam mengontrol perasaan. Akibatnya, ini akan menelanjangi karakter pribadi di depan publik. 

Orang -orang yang mempunyai jam tayang tinggi dalam berdebat, menganggap bahwa berbicara adalah sebuah seni. 

Ketika mereka menganggap berbicara adalah seni, mereka menikmati setiap pembicara orang lain. Apabila pembicara lain melakukan cemoohan bahkan melakukan sebuah kritik, mereka menikmatinya sebagai bagian dari seni berbicara. 

Oleh karena itu, jangan heran ada pembicara yang biasa saja ketika Ia dikritik oleh orang lain dalam sebuah forum diskusi. Mereka tetap menikmati ini sebagai seni berbicara sambil menyusun strategi untuk menerkam ulang pembicara lain.

"Ini mengerikan!" kata teman penulis dalam sebuah forum diskusi.

Kembali ke subtopik tulisan ini bahwa bahasa adalah perwujudan karakter pribadi para pengguna. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang tua selalu memberi nasihat kepada anak-anaknya ketika mau berangkat merantau atau kemana saja yang meninggalkan kampung halaman. 

Mereka berpesan, "Jika Kamu merantau di kampung orang, jaga budi bahasamu, sopan santun dan menghargai orang lain." Sederhana sekali namun memunculkan implementasi yang luar biasa bagi kehidupan seseorang.

Apabila seseorang mampu membawa diri dengan menggunakan bahasa yang santun dan mewujudkan karakter pribadi, akan memberikan manfaat bagi seseorang, ketika berada di perantauan.

Hampir semua orang jatuh cinta pada para pengguna bahasa yang santun. Kesantunan berbahasa telah memberikan sebuah gambaran besar bagi setiap orang tentang karakter kepribadian.

Sampai saat ini masyarakat Indonesia selaku orang timur masih menjadikan bahasa baik sebagai indikator kepribadian. Biasanya ini dijadikan indikator terhadap kepribadian seseorang dalam lima menit pertama mereka bergelut lewat bahasa. Hal ini akan tampak jelas bagaimana karakteristik seseorang. Melalui sebuah komunikasi kecil seseorang bisa membaca karakter lawan bicara secara holistik dalam kehidupannya.

Bahasa adalah Representasi Intelektual.

Pendidikan adalah sebuah lembaga moral yang bertugas mengubah sejumlah paradigma melalu proses belajar. 

Belajar merupakan sebuah usaha mengetahui dan menyelidiki berbagai perkembangan yang berhubungan dengan pola pikir, sehingga mendapatkan sebuah perubahan. Untuk mencapai hal tersebut membutuhkan usaha- usaha dalam rentang waktu yang panjang sehingga menghasilkan hasil yang gemilang.

Usaha- usaha untuk menyelidiki dan mengamati sesuatu yang merujuk pada sebuah simpulan membutuhkan bahasa sebagai penghela. 

Sebagai penghela ilmu pengetahuan, bahasa mempunyai peran penting dalam membetuk intelektual seseorang. Orang cerdas intelektual akan muncul dari statemen pada saat menggunakan bahasa. Orang-orang  cerdas intelektual, mereka lebih terampil dan selektif dalam menentukan diksi yang tepat untuk kepentingan berbahasa.

Faktor audien, kondisi, dan masalah yang dibicarakan ini akan menjadi pertimbangan utama sebelum mereka tampil prima di depan publik. Mungkin hal inilah yang membedakan dengan orang bodoh. Orang- orang bodoh lebih mengabdi pada batinya ketika berbicara di depan publik. Pada kondisi- kondisi tidak memungkinkan orang-orang bodoh yang mengabdi pada batin akan menggunakan kata makian yang tak sepantasnya digunakan.

Sedangkan orang-orang sudah biasa bergelut dengan perbedaan dan menjadikan pikiran sebagai sandaran, tetap menunjukkan jati diri tampil prima ketika berada di depan umum. Sandaran utama para intelektual adalah bukan perasaan. Bahasa yang digunakan pun lebih kepada objektifitas bukan subjektifitas. 

Para intelektual yang menjadikan pikiran sebagai titik tumpu dan menyatakan pikiran lewat bahasa, mereka jauh lebih dewasa baik dalam berpikir bersikap dan bertindak. Setiap masalah yang muncul selalu diuji dengan pikiran dan data yang cukup. Bukan sebaliknya malah mengunakan ego pribadi dan membawa perasaan sehingga menyiksa tubuhnya sendiri.

Orang -orang bodoh yang mengedepankan emosional sebagai sembahan berpikir, mereka tidak mampu bertahan lewat debat panjang yang menguras pikiran. Oleh karena itu, mereka akan mengungkapkan pada momen yang lain sebagai aksi balas dendam demi memuaskan nafsu batinnya.

Orang - orang seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya akan memunculkan berbagai keputusan dalam bermasyarakat, karena mereka termasuk orang- orang yang labil dan tidak mampu memadukan antara emosional dan profesional.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar