Membaca Cinta Pada Suluk Gambuh

 

 Oleh: Rissa Churria

"Dia adalah setetes air dari lautan tidak terbatas, atau sebuah cahaya yang memantul pada dinding. Semua kecintaan berasal dari dimensi lain yang lebih tinggi, sedangkan yang tertinggal di sini adalah pinjaman dan kesementaraan, karena cinta yang sesungguhnya hanya ada pada diri Tuhan itu sendiri."(Jalaluddin Rumi)

Baca Juga:Teknik Menulis Puisi dan Permasalahannya

Bagi Rumi, cinta hanya ditujukan kepada Tuhan, walau pun dalam kesempatan yang sama cinta dapat ditujukan kepada ciptaan-Nya. Kesalahan bukan karena mencintai ciptaan-Nya, tetapi ketidakmampuan untuk memahami bahwa ciptaan-Nya hanyalah bayangan yang memantulkan wajah asli dari sebuah cermin, yaitu kekasih sejati. 

Secara eksplisit, kata "cinta", menjadi tenaga penggerak bagi para pencinta untuk mendapatkan dan memenangkan cinta Tuhan. Para sufi, sering menyebutkan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari cinta Tuhan, ketika manusia membalas cinta tersebut dengan ibadah kepada-Nya, maka semakin mengecillah ruang cinta di antara manusia dengan Tuhan. 

Dalam kapasitas ini, cinta sudah bertransformasi menjadi "ihsan", suatu kualitas hidup yang membuat manusia selalu merasa terawasi, merasa sangat dekat atau "mungkin" merasa melebur dalam kekuasaan Tuhan. 

Tidak jarang, para sufi, menyebutkan Tuhan dalam senandung hatinya, bahwa, "Aku adalah khazanah tersembunyi, ketika Aku ingin dicintai, maka ku ciptakan makhluk yang mencintai-Ku". 

Cinta pada suluk Gambuh R Basedo tertuang dalam puisinya yang berjudul “Suluk Cinta Kawah Candradimuka”. Seperti halnya Rumi, menurut saya Gambuh menempatkan pemikiran tasawuf yang diusung adalah “percintaan yang agung dengan Tuhan atau mahabbah”

Baca Juga: Renungan Sore di Kota Juang

Puisi itu membeberkan segala misteri yang terjadi dalam kehidupan nyata yang diimajakan menjadi sebuah puisi, seperti yang tertulis pada bait pertama :

Kenang itu menggenang
Menjadi kedung agung petuah
Ini bukan imaji  namun nyata kisah

Larik pertama dalam bait pertama itu mengungkapkan bahwa puisi yang ditulis Gambuh adalah peristiwa yang telah terjadi sehingga menjadi kenangan, lalu dikuatkan oleh larik kedua kenangan itu tidak hanya menggenang biasa, akan tetapi menjadi kedung, semacam lubuk, blumbang, atau seperti danau tapi lebih kecil dan sempit. Larik ketiga adalah sebuah pernyataan bahwa puisi yang ditulis Gambuh bukan sekadar imaji, akan tetapi benar-benar kisah nyata. 

Sebelum perbincangan dilanjutkan, pernahkah kita mencoba mendefinisikan tentang pengertian puisi? Apa yang akan coba kita sampaikan ketika mendefinisikan puisi? Mungkin kita seperti para pelajar atau anak-anak sekolah ketika ditanya oleh gurunya.

Mencari-cari dulu definisi yang ada pada buku-buku pelajaran tentang sastra atau mungkin browsing di internet. Padahal, mungkin kita sudah pernah menulis puisi. Bahkan puisi yang kita tulis tidak hanya satu buah, tetapi belasan, puluhan, ratusan, atau ribuan. Namun, alangkah sulitnya membuat definisi apa itu puisi. 

Kita dan anak-anak Indonesia adalah hasil dari pendidikan yang lebih mengedepankan text-book. Guru  akan menyalahkan jawaban kita jika tidak sesuai dengan buku teks atau apa yang diajarkannya. Produk dari model pendidikan yang tidak demokratis yang melarang murid berbeda pendapat dengan gurunya. Semoga saja kondisinya berbeda dengan sekarang, sehingga kemerdekaan berpikir akan betul betul didapatkan.

Mendefinisikan sesuatu mulailah dengan hal-hal yang bisa diobservasi (observable). Hal-hal yang bisa diserap oleh indra kita. Dalam kasus puisi, misalnya, apa yang observable? Pertama, topografinya atau cara penulisan larik-larik puisi. 

Hampir semua puisi ditulis dengan larik-larik yang tidak mencapai ujung margin kanan kertas. Kedua, larik-larik yang ditulis selalu diletakkan pada baris baru, bukan mengikuti larik sebelumnya sebagaimana kalimat-kalimat yang bersambungan di dalam sebuah paragraf. Ketiga, cara membaca puisi adalah khas. Ketika kita membaca bahwa teks yang kita pegang itu sebuah puisi, maka secara otomatis kita akan membacanya berbeda dengan membaca teks biasa atau membaca sebuah lagu. Ada kekhasan dalam pembacaan puisi jika dibaca dengan suara nyaring.

Kembali kepada suluk cinta yang ditulis oleh Gambuh, metafora kedekatan dengan pemilik cinta sejati. Cinta telah mengalir ke dalam diri pencinta, maka dia bukan lagi pencari cinta, tetapi dia telah menjadi pemilik cinta, dia adalah yang dikehendaki, makna "orang" tidak menunjukkan entitas yang terbatas tetapi telah menjadi khazanah yang lebih luas dan tidak terbatas, karena semua hal-hal partikular telah melebur dalam bingkai "cinta" universal. 

Tergila-gila dengan cinta, memabukkan dan memanggil dengan mesra para pencinta untuk mengejar dan mengikuti jalan kekasihnya. 

Bila sang Maha mengatur
Menghendaki yang  terjadi
Adakah yang mustahil
Adakah yang bisa lepas
Dari genggam sang maha wisesa

Bila bingkai cinta Sang Maha Wisesa sudah ada dalam genggaman, maka tak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya dan bagi hamba pemilik cinta. Pada bait ketiga diperjelas dan dipertegas dengan larik pertama yang berupa pernyataan,Tauhid gilig semat”.

Tauhid adalah mengesakan Tuhan, tauhid itu seperti gilig semat, bulat utuh tak terpecah pecah, cinta yang utuh tanpa terbelah belah keyakinan, tanpa dicampui oleh maksud lain dan kotoran berupa nafsu,  tak bercabang cabang.

Tauhid gilig semat
Jadi jimat usah gugat
Dengan sak imit pikir rumit
Lalu gusar mengakar menjerit

Pada bait ketiga ini, larik pertama menjadi kata kunci, “tauhid gilig semat” bila tauhid sudah bulat utuh dan menyatu pada diri si empunya yaitu si aku lirik. Sehingga tauhid itu akan menjadi jimat, sesuatu yang dirawat secara terus menerus, tak boleh lepas dan tak perlu diperdebatkan,      ”Jadi jimat usah gugat”. 

Karena keterbatasan cara berpikir dan pemahaman tentang tauhid dan cinta kepada sang khalik akan menyebabkan semuanya menjadi rumit dan membingungkan diri sendiri apabila tidak diimbangi dengan keimanan, sehingga akan timbul keragu raguan, “lalu gusar mengakar menjerit”, ini posisi genting dan berbahaya. 

Pada bait keempat, si aku lirik hendak memberitahukan kepada pembaca bahwa tauhid sebagai wujud penghambaan dan cinta yang dia dapat adalah bukan serta merta mendapat dari hanya lembaran kertas atau buku, tapi melalui bimbingan sang guru. 


Syahdan
Kawah tuah candradimuka
Membuka petuah
Dalam cengkerama mesra
Sang guru KH.R Gigik Kusiaji
Abah Santri
Dzikrillah

Bait kelima masuk pada sumber inspirasi kepenulisan si aku lirik, saya memahami ini karena kebetulan saya berkesempatan memberikan kata pengantar dalam buku tersebut sehingga bisa  bertanya langsung tentang proses kreatif dalam kepenulisan puisi yang berjudul “Suluk Cinta Kawah Candradimuka ".

Kueja satu persatu
Setiap didih air di rasa galih
Wong bagus
Niat awalkan!
Akan kugatotkacakan engkau
Dari sifat kekanakan
Lalu engkau dewasa
Terbang menjulang
Gapai mimpi cita

Si aku lirik pernah mempunyai pengalaman yang sangat luar biasa yaitu mandi di kawah Candradimuka Gunung Dieng yang mempunyai titik didih air lebih dari 100 derajat celcius. Ini sesuatu yang mistis menurut saya,hal yang tak biasa, mustahil dan di luar nalar akal biasa.


Menurutnya, saat itu ada cerita seorang wartawan dari luar Indonesia mencoba atau menjajal kekuatan panas kawah Candradimuka gunung Dieng, apa yang terjadi? Seluruh wajahnya meleleh luka bakar karena memang titik didih airnya yang sangat tinggi. 

Bait kelima sangat lugas sekali, namun masih tetap dalam konteks puitis, larik pertama bait kelima ini si aku lirik membangun metafor dan imaji yang sangat bagus,// Kueja satu persatu//Setiap didih air di rasa galih //  si aku lirik berusaha menikmati setiap didih air yang bergolak dan merasuk melalui pori pori seluruh kulit dan menjalar ke seluruh tubuhnya menembus galih (jantung) dan seluruh perasaannya.

Kemudian ada pesan yang berisi wejangan yang tergambar di larik ketiga hingga akhir larik bait kelima dari sang guru bahwa,”pengalaman yang didapat si aku lirik semata mata hanya untuk mendewasakannya dari segala persoalan hidup yang ke depan akan dihadapi sama panasnya dengan titik didih air yang dirasa saat itu. Akan tetapi bila si aku lirik bisa menikmatinya, kelak  kehidupan akan mendewasakannya. 

Jadi gambaran kawah Candradimuka sebagai kehidupan yang akan ditempuh ke depan, bukan hanya imaji akan tetapi nyata dan bisa dirasai saat itu, ketika itu, tanpa tedeng aling-aling sebagai laku langkah menuju sebuah kesempurnaan cinta, hakikat cinta serta penghambaan kepada sang pemilik cinta dengan sebenar benarnya.

Pencinta tidak pernah akan merasa berat dan tersakiti, karena dia sadar cinta sejatinya tidak mungkin akan memberikan bias dan racun cinta yang bisa menyesatkannya. Ketika pencinta semakin sadar dengan suara panggilan cinta, semakin menggelora rasa cinta itu, maka dia akan mendekati, menjadi, menyatu dan melebur dengan cinta sejati.

Semua orang bisa merasakan cinta, tetapi hanya pencinta yang berjodoh dan selalu bersama cinta sejatinya, maka dia dan Dia akan abadi di dalam peraduannya.

Pada bait keenam, ketujuh, dan kedelapan adalah metafora tentang jiwa yang telah tersingkap tabir kebenaran sejati -mukasyafah- di hadapannya, di mana jiwa telah bertemu dengan hakikat pengetahuan. 

Sang Empunya Ilmu, berguru langsung kepada-Nya -ma'rifat-.  Ilmu Tuhan telah menjadi perbendaharaan jiwa. Hakikat ilmu yang memancarkan keindahan dan kesempurnaan, maka siapapun yang dapat melihat dan merasakannya, maka dia pasti dimabukkan cinta. Api cinta yang terus bergelora di dalam jiwa, yang bebas dari penjara keterbatasan hidup. 

Baginya, materi bukan ukuran segalanya, hanya sekadar fisik yang akan mati, dia sadar jiwa selalu hidup abadi bersama kekasih-Nya, oleh karena itu, pencinta tidak pernah akan sakit dan sekarat, dia selalu sehat dan bahagia dalam penjagaan-Nya. 

Ungkapan emosional perasaan, yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang telah melalui tahapan demi tahapan cinta -tarikat-, karena semua orang bisa mencintai, tetapi tidak semua orang bisa merasakan kenikmatan cinta sejati.

Bila tidak berlebihan saya katakan Gambuh R Basedo adalah penyair tasawuf-falsafi. Terlihat dalam setiap untaian bait puisinya, sarat dengan nilai percintaan dengan Tuhan, dalam suatu proses transendensi-emanasi atau wahdat al-wujud. Dalam literatur keindonesiaan, sering disebut dalam istilah, "manunggaling kawula gusti".

Ini adalah puisi lengkapnya: 


SULUK  CINTA KAWAH CANDRADIMUKA


Kenang itu menggenang
Menjadi kedung agung petuah
Ini bukan imaji  namun nyata kisah


Bila sang Maha mengatur
Menghendaki yang  terjadi
Adakah yang mustahil
Adakah yang bisa lepas
Dari genggam sang maha wisesa


Tauhid gilig semat
Jadi jimat usah gugat
Dengan sak imit pikir rumit
Lalu gusar mengakar menjerit


Syahdan
Kawah tuah candradimuka
Membuka petuah
Dalam cengkerama mesra
Sang guru KH.R Gigik Kusiaji
Abah Santri
Dzikrillah


Kueja satu persatu
Setiap didih air di rasa galih
Wong bagus
Niat awalkan!
Akan kugatotkacakan engkau
Dari sifat kekanakan
Lalu engkau dewasa
Terbang menjulang
Gapai mimpi cita


Akan kuwisanggenikan engkau
Bersama bara panas menyala
Hingga engkau menyatria
Menuladha betapa Ibrahim
Tetap tersenyum kesatria
Dalam Lahab kobaran api

Bukan agar kau menjadi
Jadug tahan panas
Bukan kau menjadi digdaya
Belajarlah untuk menahan
Alir panas dan kobarmu sendiri


Menggapai sempurna
Laku tuju tuhu usah ragu
Semangati kidung  asmaradahana
Mesrai rindu menderu 
Di senandung dhandhangula
Tiadakan dirimu dipupuh pucung
Sampailah hingga 

Semoga Bermanfaat

Editor Muklis Puna 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar