Kepada Mantan Kekasih

 


Muklis Puna


Ketika bulan menuju sabit, 
 kita bercumbu dalam rasa
Kau duduk meyamping 
di bawah pohon pisang kesepian,  
bersadar pada angan 
Wajah kita satu warna,  
karena  kosmetik tak terbeli
Ekonomi negeri terjepit resesi,  
uang rakyat dirampas dalam konspirasi

Kususun barisan sajak menawarkan kisah, 
Wajahku tak rata penuh kotak-kotak,  
Rambut kering menguning keriting
Tulang pipi melambai dikukus matahari
Kita hanya makan nasi  tak berlauk,  
karena kita bebas berhalunasi 

Kau jumput nasi kering dari piring warna kusam, 
Imajinasi  digiring ke menu restoran mewah
Karena dalam nyata kita  
hanya bisa mengecap di  udara
Waktu itu sosialita masih menggulita, 
Adalah hidup seperti pohon di rimba raya
Berlomba memburu matahari kehidupan,  
sehingga tubuh kita bagai toge di gelapan 

Baca  juga Aku Melayat Duka

Tatapan kita kosong
Baju kita banyak bolongnya
Tak ada yang menyokong
Angin negeri sedang tak berhaluan
Negara seperti dalam pewayangan
Mengayuh hidup diantara badai dan hujan 
Hujan air mata   muntah di antara kelopak

Orang kampung diserang kecemasan
Serdadu memanggul laras panjang
Diam membeku di bahu
Ketika marah meletup -letup,  
satu kampung dicumbu kematian

Kehidupan tergantung  nyayian pelatuk
Burung burung kondor terbang di pulau seberang
Mematuk bangkai negeri di hamparan derita
Kita hanya bisa bertatap kapan kita disasar

Untung harapan membelam rasa
Pertahanan semakin kuat,  
Bagai perahu digilir gelombang pulang ke pantai


Lhokseumawe,  3 Juni 2023

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar