Psikologis Anak Setelah Perceraian Orang Tua

Oleh: Zahrina Arifah

 Sastrapuna.com Manusia  makhluk sosial sehingga memiliki kecenderungan ingin hidup dengan manusia lainnya. Perkawinan merupakan salah satu contoh kecil dari definisi tersebut. Perkawinan ditujukan untuk membangun rumah tangga yang berlaku seumur hidup dan membentuk generasi yang berkualitas. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rumah tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan keluarga. Tak hanya penting bagi suami-isteri, rumah tangga juga sama pentingnya bagi anak. Rumah tangga memberi tempat bagi anak dalam melakukan proses pertumbuhan dan perkembangannya dalam menghadapi masa depan. Peran kedua orang tua dibutuhkan dalam menjaga keharmonisan keluarga demi menjaga stabilitas psikologis anak karena orang tua memiliki peranan besar dan utama dalam membina keluarga. Namun, pemutusan ikatan yang dilakukan orang tua melalui perceraian menghambat atau bahkan menghentikan peran tersebut terlaksana dengan baik.

Baca Juga: Dampak Campak dan Rubella bagi Anak - Anak

Fenomena yang terjadi di Aceh, angka perceraian semakin meningkat setiap tahun. Mahkamah Syariah Aceh mencatat angka gugatan perceraian di Aceh mencapai 6.823 kasus terhitung sejak Januari-Oktober 2022. Dari jumlah ini, yang telah diusut sebanyak 5.734 kasus, sedangkan 1.089 kasus lainnya menjadi sisa akhir tahun. Pada tahun 2021 terhitung Januari-Desember ada 6.448 kasus perceraian, artinya lebih sedikit dari tahun 2022 (Kompas.tv). Tingginya angka perceraian sering disebabkan karena banyak faktor seperti krisis moral, poligami tidak sehat, penganiayaan, cacat biologis, dan yang paling sering terjadi akibat hilangnya keharmonisan dan berkurangnya rasa tanggung jawab terhadap keluarga.

Perceraian mempengaruhi keadaan psikologis keluarga. Apabila salah satu diantaranya tidak memiliki kesiapan, maka akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri dan psikologisnya. Anggota keluarga yang sangat mudah mengalaminya adalah anak karena orang tua yang bercerai telah memantapkan hati terlebih dahulu sebelum berpisah sedangkan anak langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa orang tuanya bercerai tanpa memiliki persiapan hati yang cukup. Beberapa dampak psikologis yang dialami anak, diantaranya sebagai berikut:

Ketidakamanan

Anak merasa tidak aman setelah perceraian kedua orang tuanya karena anak masih membutuhkan perlindungan dari orang tuanya, baik dari segi materi maupun nonmateri.

Kesepian

Seorang anak akan merasa kesepian bila tidak mendapatkan belaian dari orang tuanya. Hal ini muncul, apabila orang tua tidak memberikan perhatian yang cukup kepada anak, meskipun anak diasuh oleh saudara atau orang lain, karena pengaruhan dari orang lain tidak berpengaruh secara signifikan terhadap psikologi anak.

Marah

Amarah merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi ketika orang tua marah di depan anaknya. Akibatnya, anak akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain dan seringkali emosinya tidak terkontrol dengan baik. 

Kesedihan

Anak akan merasa bahagia ketika keluarganya harmonis, sebaliknya anak akan merasa sedih ketika orang tuanya bercerai karena perceraian memberi luka batin yang menyakitkan bagi anak.

Rasa Penolakan dari Keluarga

Perceraian orang tua membuat anak merasa mendapatkan penolakan dari keluarga karena sikap orang tuanya berubah, terutama saat orang tuanya sudah memiliki pasangan yang baru.

Menyalahkan Diri Sendiri

Perasaan menyalahkan diri sendiri merupakan gejala disorder personality. Gejala ini dipengaruhi oleh semua kondisi psikologis yang dipaparkan diatas, yaitu rasa tidak aman, rasa sedih yang berkepanjangan, mudah marah, rasa penolakan dari keluarga, dan merasa kesepian.

Baca juga:Psikologi Penyair dalam Puisi “ HANS” Karya Heru Antoni

Terdapat solusi yang dapat dilakukan orang tua agar anak tidak mengalami dampak psikologis yang negatif setelah perceraian orang tuanya. Pertama, orang tua mencoba menenangkan hati dan meyakinkan anak bahwa ia tidak bersalah dan tidak perlu merasa bertanggung jawab. Kedua, orang tua membantu anak untuk menyesuaikan diri dengan kegiatan sehari-harinya di rumah. Ketiga, jangan memaksa anak untuk memihak salah satu diantara kedua orang tuanya. Terakhir, sebaiknya proses penanganan ini dibantu oleh ahlinya, psikolog maupun psikiater, agar langkah yang diambil untuk penanganan lebih tepat.


Referensi:

Sarbini, Wasil. (2014). Kondisi Psikologi Anak Dari Keluarga yang Bercerai. Jember: Universitas Jember.

Hayati, Fitriah. (2016). Profil Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak. 3(2)


Penulis adalah Mahasiswa Psikologi Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh.

Berita Terkait

Posting Komentar

1 Komentar