Puisi dan Keunikan Bahasa
Ada sebuah pernyataan menarik yang sering penulis lontarkan pada wadah -wadah diskusi sesama penyair amatiran, " Puisi itu laksana batu akik di aliran sungai" Maksudnya, setiap batu akik yang dijadikan batu cincin diproses oleh alam yang begitu lama dan rumit, hingga menghasilkan bentuk-bentuk yang unik. Setiap keunikan tak dimiliki oleh batu lainya. Jadi di dunia ini satu batu cincin yang indah berarti itulah satu -satunya di dunia. Karena bentuk, corak dan motif memiliki perbedaan yang signifikan. Nama boleh saja sama, tetapi nuansa warna dan seni tentu berbeda.
Ikuti Chanel Youtube : Duka Bulan Desember
Sama halnya dengan puisi. Setiap puisi yang telah diposkan di media sosial berarti itulah puisi satu -satunya di dunia yang berkarakter seperti itu. Walaupun tema, judul dan bentuk memiliki kesamaan, dari segi lain hal tetap menunjukkan perbedaan.
1. Bentuk Puisi
Mengupas bentuk puisi di hadapan para pembaca hebat di media sosial, seperti mengajarkan ikan bagaimana sih cara berenang yang benar agar tidak tenggelam di samudra kata -kata. Penulis tidak hendak menampilkan teori -teori tentang bentuk puisi. Namun penulis mencoba mencari titik temu bagaimana bentuk idealnya sebuah puisi. Idealnya sebuah bentuk puisi adalah wadah untuk menampung semua inspirasi penyair yang dijembatani oleh bahasa sebagai medium penuangannya. Seandainya semua inspirasi yang mengantarkan sebuah tema dan pesan sampai kepada penikmat berarti itu bentuk puisi sudah ideal.
Masalah dan teknik penyusunan typografi itu urusan penyair, kecuali untuk puisi kontemporer. Kebiasaan puisi ini memanfaatkan bentuk sebagai media pengungkapan atau bahkan miskin dalam lambang bunyi. Di Indonesia bentuk- bentuk puisi sudah dipelajari oleh semua orang mulai dari SMP sampai perguruan tinggi terlepas suka dan tidak sukanya. Bentuknya pun berkutat seperti itu terus tak ada perubahan.
2. Gaya Penulisan
Gaya menulis puisi itu adalah hak asasi setiap penyair
yang tidak boleh diganggu gugat. Apalagi memaksa kehendaknya untuk mengikuti
gaya orang lain. Mungkin ini kedua kali penulis tegaskan bahwa penyair adalah
pengabdi pada batinnya sendiri. Ia lebih bertumpu pada batinnya daripada otak. Karena batin dijadikan landasan
bersikap, maka muncullah subjektivitas dalam memandangi objek. Dimana-mana dan
kapan saja antara subjektivitas tidak pernah senyawa dengan objektivitas.
Melalui batin-batin penyairlah lahirnya otonomi penulis dalam karya itu
sendiri. Ini sesuatu yang tak boleh diurus orang lain. Kemerdekaan berkumpulnya
semua gagasan dalam wadah puisi dijamin oleh ilmu pengetahuan kesusastraan
dunia.
Hal ini kadang tidak disadari oleh motivator puisi di media sosial, sehingga pemaksaan kehendak sering mendominasi. Para pemosting memahami betul hal ini. Jika wilayah pengabdian batin sang penyair sering dirasuki orang lain, maka muntahlah sebuah perdebatan panjang tak berujung. Perdebatan ala sarung terus berlangsung mencari di mana tepi atas dan bawah. Masing -masing memegang konsep bahwa tepi atas berada di tangannya, satu lagi juga demikian. Ujungnya tak menampakkan pangkal. Kedua belah sepakat keluar dari komunitas ataupun berujung saling blokir.
3. Bahasa Puisi
Media utama penuangan ide dalam puisi adalah bahasa. Menulis puisi berati mengolah kata bernilai rasa. Pengolahan kata membutuhkan bahasa dan diksi yang bertenaga. Puisi tanpa diksi yang bernuansa adalah teks biasa dan bernilai hambar. Pertanyaannya adalah apakah puisi yang menggunakan gaya bahasa metafora berliuk-liuk itu tidak bermakna? Apakah puisi yang mengungkapkan tentang pengalaman dan kesedihan pribadi itu termasuk puisi sampah? Pertanyaan inilah yang mendorong penulis untuk menggoreskan esai ini agak tajam dan penuh tanjakan. Ada tidak indikator atau kriteria yang menunjuk bahwa puisi -puisi seperti itu sebagai puisi yang tidak berbobot?
Tak usah mengernyitkan dahi untuk menjawab soalan di atas. Cukup browsing saja puisi- puisi Buya Hamka, Emha Ainun Najib dan Khalil Gibran pembaca akan menemukan sendiri jawabannya. Sebaiknya hanya penulis dan pembaca yang memahami hal seperti ini. Selanjutnya, di media sosial fenomenal menunjukkan bahwa setiap kajian terhadap sebuah puisi dilakukan secara instan tanpa merujuk pada referensi yang ilmiah. Pengungkapan makna sebuah puisi di permukaan membuat kajian tampak lemah. Padahal kalau ditilik secara kasat mata cukup banyak penyair nasional dan profesor sastra yang mempunyai akun FB. Dalam kapasitas ini mereka tak bergeming dan asik sendiri dan meniti karier di atas menara gading. Bagi mereka media sosial adalah media penghibur yang tidak mendatangkan manfaat terhadap karier yang bersifat finansial.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi jurnal Aceh Edukasi IGI Aceh dan Guru Bahasa Indonesia pada SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar