Kritik Sastra dan Permasalahannya
Sastrapuna.com- “Sastra yang baik adalah sastra yang bertendens, Sultan Takdir Ali Syahbana dalam (Wiyatmi , 2008)”
Berangkat dari kutipan di atas penulis mencoba mengajak pembaca tentang kritik sastra ditinjau dari ilmu sastra itu sendiri. Dari segi etimologi bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunani (Krities) dalam konteks aslinya kata tersebut berarti penghakiman atau hukuman. Ketika dalam bahasa Indonesia yang dilalui lewat proses adaptasi dengan menyesuaikan bentuk penulisan dan pelafalan dengan tetap mempertahankan makna, maka berwujudlah kata kritik seperti yang digunakan saat ini.Ditinjau dari aspek perubahan makna sebuah kata ( peyorasi) artinya makna sekarang lebih mulia dari makna yang dulu, kata kritik tidak dimaknai sebagai hukuman atau penghakiman terhadap sebuah karya, akan tetapi digantikan dengan tanggapan terhadap karya. Tanggapan tersebut meliputi kapan karya itu diciptakan, bagaimana keadaan sosial pada saat diciptakan, bagaimana biografi penyair serta apa dampak karya tersebut terhadap masyarakat? Menurut Graham Hough (1966:3) kritik sastra tidak hanya terbatas pada penyuntingan, penetapan teks, interpretasi, serta pertimbangan nilai. Menurutnya, kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu sendiri, apa tujuannya, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain?
Konsep di atas dapat diasumsikan bahwa menanggapi sebuah karya sastra apakah itu puisi, novel, dan cerpen tidak bisa hanya mengandalkan kumpulan aksara semata. Menurut hemat penulis mengacu pada kutipan di atas bahwa apa yang kita baca dalam teks tidak selamanya berlangsung seperti teks tersebut. Selanjutnya, nilai yang dikandung oleh setiap karya sastra merupakan hal yang hidden ( tersembunyi). Hal ini akan ditemukan jika sang kritikus mau menyelami dengan oksigen buatan dalam lautan aksara milik sang penyair.
Sebuah karya sastra tidak lahir dengan sendirinya. Peranan bidan dalam membantu proses lahirnya sebuah karya sangat ditentukan. Bidan yang dimaksud dalam konteks ini adalah peristiwa alam, batin atau mungkin pemberontakan penyair terhadap keadaan yang ada. Dalam hal ini pendekatan memesis adalah sebuah kreativitas yang dilakukan penyair melalui proses tiruan. Ini dapt dilihat pada karya sastra yang isinya, alur, dan penokohan seolah -olah hampir sama dengan keadaan sebenarnya.
Istilah “Kritik” (sastra) berasal dari Bahasa Yunani yaitu “krites” yang berarti “hakim”. “Krites” sendiri berasal dari “krinein” yang berarti “menghakimi”; “kriterion” yang berarti “dasar penghakiman” dan “kritikos” berarti “hakim kesusastraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Abrams dalam “Pengkajian Sastra” (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. Selanjutnya, Pradopo (2009) fungsi kritik sastra yang dilakukan oleh pengkaji karya sastra adalah membantu memahami sebuah karya sastra., menunjukkan keindahan yang ada dalam karya sastra, menentukan parameter dalam mengkaji karya sastra serta mengungkapkan nilai yang dikandung oleh karya sastra itu sendiri.
Mengkritik karya sastra bukan berarti menghukum penyair atau pengarang dari hasil karyanya. Mengkritik sastra berarti membongkar segala tanda dan penanda dan maksud dari tujuan penyair, bahkan jika perlu bagaimana psikologi seorang penyair pada saat karya itu diciptakan.
Selanjutnya, penulis memaparkan beberapa jenis kritik sastra yang penulis pahami secara awam. Rene Wellek dan Abram (1981) mengelompokkan beberapa pendekatan yang digunakan dalam kritik sastra meliputi,'kritik mimesis, pragmatik, objektif, ekspresif, sosiologi, psikologi, dan struktural. Mengingat ruang terlalu pendek penulis mengupas hanya beberapa jenis saja, ini pun masih jauh dari sempurna.
Kritik mimesis adalah sebuah kajian yang menanggapi bahwa karya sastra itu dilahirkan akibat adanya peniruan terhadap gejala yang terjadi. Secara morfologi memesis artinya tiruan, jadi kritik. memesis adalah bentuk kreativitas penyair dalam menghasilkan karya seolah -olah sesuai dengan keadaan yang ada. Padahal ditinjau dari maknanya karya sastra adalah karya yang bersifat imajinatif. Selanjutnya, kritik sastra yang bersifat objektif adalah sebuah kritik yang membebaskan penyair, pengarang dari unsur yang membangun karya itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan kritik pragmatik. Kritik praktik adalah sebuah kritik sastra yang memaparkan sejauh mana manfaat yang dihasilkan terhadap penikmat karya sastra.
Dari berbagai kritik yang telah diuraikan di atas walaupun tidak secara komprehensif dapat ditarik benang merah, pertama kritik sastra membutuhkan pengetahuan yang cukup bagi si pengkritik meliputi kehidupan penyairnya, status sosial penyair keadaan masyarakat ketika karya itu ditulis, psikologisnya selain dari kajian utama yaitu kajian struktural.
Agar kritik sastra lebih berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat dan penyair khususnya di media sosial. Seorang kritikus harus berusaha menjauhkan sikap emosional dan mengedepankan sikap profesional. Seandainya ada penyair kesayangan karena karyanya bagus tetap mengedepankan kaedah -kaedah kritik yang sesuai dengan ilmu kesusasteraan Indonesia.
Akhirnya, penulis mengharapkan adanya kebersamaan dan jalinan informasi tentang perkembangan sastra Indonesia. Majulah Indonesiaku lewat karya anak bangsa yang menggetarkan dunia.
0 Komentar