Membaca Jejak Kepenyairan Muklis Puna dalam Antologi Puisi " Lukisan Retak"

 

Oleh:

Profesor. Dr. Agung Pranoto., M.Pd.

Membaca Jejak Kepenyairan Muklis Puna dalam Antologi Puisi " Lukisan Retak. Muklis Puna, penyair dari Aceh, adalah satu di antara ribuan penulis puisi di sastra maya. Ia termasuk penulis puisi yang produktif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya puisi yang ia ciptakan dan diunggah di banyak grup Cybersastra.

 Menurut catatan saya,  puisi-puisi yang ia tulis, termasuk mendapatkan respon yang sangat banyak dari pencinta puisi . Selain menulis puisi, penyair yang sekaligus sebagai dosen ini, sering pula menulis esai argumentatif dan esai apresiatif. Esai yang ia tulis tetap berkaitan dengan sastra dan mengangkat topik-topik yang menarik serta aktual. Hal ini sebagai bukti konsistensi dirinya sebagai dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu perguruan tinggi di tanah kelahirannya.

Membaca jejak kepenyairan Muklis Puna, perlu melakukan pembacaan dan penghayatan yang intens terhadap puisi-puisi yang telah diciptakan. Pembacaan tentu diarahkan bukan pada soal produktivitas, melainkan diarahkan pada kualitas puisi yang telah ia ciptakan. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba menguak lebih dalam kualitas puisi-puisi Muklis  yang terhimpun dalam buku antologi puisi tunggal berjudul Lukisan Retak .

Frase “Lukisan Retak” oleh penyair digunakan sebagai benang pengikat antarpuisi yang dihimpun dalam antologi ini. Frase tersebut tidak dimaknai sebagai karya seni lukis yang kanvasnya retak, melainkan mengandung konotasi tertentu. Asosiasi kita tentang “Lukisan Retak” itu di antaranya bisa mengarah pada berbagai fenomena kehidupan yang ditangkap penyair beraneka warna dan penuh carut-marut. Kondisi seperti ini, sering membuat “gerah” kita karena secara adab maupun norma tertulis, terjadi penabrakan terhadap kaidah hukum tertulis maupun tidak tertulis. 

Baca Juga: Kreativitas dalam Menulis

Selain itu, “lukisan retak” juga memungkinkan asosiasi kita pada hal-hal yang tidak sesuai antara harapan dan kenyataan.  Puisi yang berjudul “Lukisan Retak”, yang dijadikan pengikat antologi ini pun mencatat keburaman: “…/Beranda hati kumuh tak tertata/Ubin putih teratak membekas  kaki-kaki penyamun/Rantai hati memburai oleh rayuan semu/”.

Bila kita mencermati puisi-puisi dalam antologi ini, mayoritas puisi-puisi penyair yang satu ini menyiratkan keresahan jiwa atas fenomena kemanusiaan. Keresahan jiwa itu menyangkut manusia yang terpinggirkan, termarginalkan, terhegemoni, atau bahkan menjadi subaltern yang disebabkan oleh arus modernisasi . Perubahan zaman pada negara berkembang sering mematahkan pemikiran atau paham humanisme universal. Elit-elit politik yang memegang kendali kekuasaan di era postmodernisme ini masih meneruskan tradisi kolonialisme meskipun sesama warna kulit atau sesama pemilik tanah pertiwi.

Proses kreatif Muklis Puna tampaknya dilatarbelakangi oleh gerahnya hati, gerahnya jiwa atas fenomena yang terjadi, yang tidak selaras dengan hati nurani. Pengalaman-pengalaman puitik yang seperti itulah yang mendorong  lubuk hati terdalam untuk menyuburkan kreativitas dan produktivitas mencipta puisi. 

Dari sisi ini, penciptaan puisi  Muklis Puna bagaikan genangan magma yang terus-menerus siap dimuntahkan melalui puisi sebagai sarana ekspresi. Artinya bahwa proses kreatif Muklis Puna telah memenuhi apa yang digagas Budi Darma  yakni soal kepekaan terhadap kemanusiaan dan kehakikian yang terkait dengan kepribadian penyair tak terbantahkan.

Kepekaan penyair terhadap manusia-manusia yang mengalami penderitaan sebagaimana dapat kita nikmati puisi di bawah ini.


BALADA ORANG MISKIN DALAM POLITIK

Hari ini, wajah kotaku gegap gempita menyambut malam
Orang- orang intelektual berduit  bergadang pada harapan malam
Bersenyawa  bayang pada kain kasa membentang
Siaga dan kaku di simpang politik
Senyum sumringah  menyungging sinis
Mantera pengasihan berjejer rapi di bawah bayang
Rupiah edisi terbaru terbang mencari sasaran
Mengendap dalam saku lusuh dengan wajah memelas
Pelacur jabatan berkunjung ke gubug berbungkus kardus mengendus suara di kerongkongan
Wejangan basi sisa pembangungan dihembuskan di bawah bantal tua 
Balada orang miskin, kini  menguap dalam politik
Jumlahmu dihafal dalam sekejap
Jeratan hidupmu dilepas melesat bagai panah dari busur
Bayangan gubugmu digandakan delapan kali dilipatkan

Balada orang miskin, jadi bumbu dalam tanak nasi politik

Lhokseumawe, 22 January 2017

Puisi berjudul “Balada Orang Miskin dalam Politik” di atas, menyiratkan kegetiran kaum miskin yang dieksploitasi oleh politikus. Eksploitasi itu ujung-ujungnya demi kepentingan dan kemakmuran pribadi elit politik. Seiring dengan kemajuan zaman, kecerdasan dan kesadaran manusia juga semakin peka terhadap praktik-praktik berkedok pemberdayaan yang dibalut dengan harapan perubahan nasib. Namun, pemberdayaan itu justru semakin jauh dari humanisme universal. Pemberdayaan itu justru semakin tidak memanusiakan manusia.

Lepas dari unsur batin puisi di atas, dari sisi diksi, penyair cenderung menggunakan diksi sederhana atau keseharian. Diksi keseharian itu tampaknya digunakan untuk memudahkan pembaca merebut makna yang tersurat maupun yang tersirat.

Penggunaan diksi keseharian itu, tidak mengurangi kekentalan atau kepekatan atau sublimitas puisi. Rajutan diksi tersebut tetap diperhatikan Muklis Puna soal kombinasi makna denotatif-konotatif, sehingga pembaca tetap diberikan ruang gerak asosiasi yang melebar untuk merebut keutuhan makna sebuah puisi. 

Dari aspek bunyi dan aspek puitiknya, kepenyairan Muklis Puna cenderung kurang menonjolkan persajakan (rima). Penghadiran asonansi-aliterasi dan efoni-kakafoni dalam puisi di atas memang nampak ada walaupun tidak dominan. Inilah yang sering menjadi ketegangan penyair dalam menulis puisi yang harus menyeimbangkan antara struktur lahir (surface structure) dan struktur batin (deep structure). Meski demikian, hadirnya bahasa kias dalam puisi itu menggulirkan adanya citraan-citraan (imagery) tertentu, seperti citra netra, citra rinungu, citra dinilat, citra ginrayang, maupun citra lumaksana . Citra dalam puisi dipakai untuk menggugah perasaan  dan juga merangsang imajinasi . 

Korespondensi puisi di atas memiliki kesatuan dan kepaduan dalam membangun keutuhan teks puisi. Pertalian antarbaris dan antarbait terjaga apik sehingga puisinya lebih mengesankan adanya konsentrif dan intensif. Inilah sebenarnya keindahan dan keberhasilan puisi ditentukan oleh dasar ekspresi yang berwujud pengalaman jiwa, teknik ekspresi, serta ketepatan pemilihan dan penempatan kata dalam kalimat .

Pada puisinya yang lain, misalnya puisi Muklis Puna yang berjudul “Mencintaimu Adalah Keharusan”, penyair ketika mengekspresikan tema romantisme itu, berasa lebih lembut  dan maskulinitas diksinya tetap Nampak jelas, jika dibandingkan dengan puisi-puisi kritik sosial. 

MENCINTAIMU ADALAH KEHARUSAN

Aku mencintaimu tidak seperti pasang  menghantam   tebing di pulau sepi 
Riuh menyeru seolah bongkahan   mau  menimbun jurang
Tak juga seperti semang ayam betina 
berkalut  di musim gugur
Aku mencintaimu bukan laksana petir di kemarau panjang
Gemuruhnya seolah menjatuhkan matahari pada gantungan langit 
Padahal hanya gerimis  menayapu ilalang

Aku mencintai laksana angin mengirim pesan pada ranting 
Menjelma  keridangan di tengah panasnya asa
Adalah sulit mewujudkan mana diriku dan dirimu
Setiap dentingan jantung selalu melagukan  namamu

Ribuan kisah indah kita rajut lewat  benang suci
Menjelma dalam sutera keemasan
Membalut kasih mengubah rindu jadi penyiksa
Dirimu tak usah bersusah mendesah kisah padaku
Tanyakan bathinmu , di situ aku menyewa lapak hidup buat selamanya

Aku bukan lelaki penabur diksi kabur dalam kabut sutera ungu
Aku bukan perayu semu penawar syurga  maya
Aku bukan lelaki romantis dalam  kata bertema cinta
Menjual kepalsuan dalam bait-bait penawar duka

Mencitaimu adalah keharusan
Jiwa telah kugadaikan buatmu
Kita adalah satu jiwa dalam dua jasad 
Berkelana menembus ruang dan waktu 
 

Aku bukan lelaki pemuja amor dalam glamornya bentangan alur

Aku mencintai laksana angin menggendong embun ,
mengawal dalam keringnya kasih 

Lhokseumawe,12 Oktober 2016


Puisi yang ini lebih banyak menggunakan keanekaragaman metafora dan didominasi kehadiran  gaya bahasa simile serta paralelisme.  Puisi ini menyiratkan kesadaran si aku lirik atas tanggung jawab dalam dimensi horizontal hubungan antarmanusia yang disatukan dalam bentuk ikatan khusus. Selain menyiratkan kesadaran tersendiri, puisi tersebut berasa lebih ‘menggigit’, lebih bernas, atau lebih prismatis. Efek musikalitas atau kemerduan bunyi puisi tersebut juga berasa kuat  sehingga mampu menggiring asosiasi pembaca atau penikmat untuk merebut “ruh” puisi.

Itulah jejak-jejak kepenyairan Muklis Puna, dengan karakter penciptaan puisi yang khas pula. Lalu, apakah ia layak menjadi atau menyandang predikat sebagai penyair? Tentu saja, perjalanan proses kreatif yang panjang sangat memungkinkan ia semakin menggali potensi yang ada dalam dirinya untuk menjadi penyair yang berbekal bakat alam dan intelektualisme yang melekat dalam talentanya. Keraguan seseorang layak atau tidak layak disebut penyair merupakan sesuatu hal yang wajar. 

Penyebutan sebagai penyair itu memang bukan  dirinya sendiri yang harus mengkultuskan, melainkan orang lain yang berlama-lama melakukan pengamatan terhadap produktivitas dan kualitas karya puisi yang diciptakan. Lagi-lagi, hanya waktulah yang akan mengujinya. Mari kita nikmati puisi Muklis Puna di bawah ini.

Baca Juga: Biografi Lengkap WS Rendra

PENYAIRKAH  AKU

Aku  pasir dalam gumpalan debu di genggaman  penyair
Tintaku tumpah berlepotan mengotori lantai sastra nusantara
Auman badai  penyair menciutkan imaji dalam  berkarya 
Aku pasir di tengah padang kerontang  dan gersangnya karya 

Aku  pasir berselimut impian menjadi bongkahan menghadang badai
Maqamku  digusur angin  dalam balutan debu  menutup terjal 
Aku bukan butiran mutiara mengkilat karena cumbuan busuran sinar
Tulisanku mengaburkan  makna yang terpahat di alam  sadar
Aku pasir berlarian dihempas angin lamunan mengasuh diksi tanpa susuan 
Khayalanku berlayar di bawah kesadaran, tanpa pemandu di samudera  atlantik 
Aku pasir dalam remasan debu dan rembesan air pada lipatan  sutera nusantara
Aku baru mampu menggambar lambang  menjadi diksi yang mengacaukan logika

Aku pasir dalam gumpalan debu berpacu dengan  matahari  saat senja bertukar tempat 
Malu aku jadi penyair, karena  ilusi terasa  jumud  tak menembus halusinasi 
Aku adalah tetesan air di ujung jemari di tengah lautan penyair hebat 
Aku pasir  menyelinap dalam tetesan tinta penyair seperti mengulum air,
Tapi  saluran  tenggorokan   dilanda kemarau panjang    
  

Lhokseumawe,  28  Oktober 2016

Puisi dengan menghadirkan judul berupa pertanyaan retoris tersebut menunjukkan sikap kerendah-hatian Muklis Puna. Sikap santun seperti ini menunjukkan kedewasaan intelektualnya sehingga filosofi padi menyertai setiap kaki di mana pun dilangkahkan. Kegamangan atau kegalauan di tengah-tengah jutaan mutiara laut seharusnya melecut kreativitas. Sebab dari taman mutiara indah itulah akan ditemukan puncak kreativitas yang tidak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya.Akhir kata, teruslah berkarya hingga ajal tiba, agar rasa dan jiwamu semakin memesona.

Penulis adalah Esai Nasional dan Dosen Sastra Universitas Kesumajaya Surabaya



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar