Pendekatan Struktural dalam Ranah Pendidikan Sastra Masa Kini
Oleh: Muklis Puna
sastrapuna.com - Tulisan ini lahir dari rahim- rahim ketidaktahuan para mahasiswa yang mengambil mata kuliah kajian sastra. Ketika pertanyaan mulai menerjang sasaran pendekatan struktural yang menjadi objek utama dalam ranah sastra Indonesia. Calon guru masa depan belum memiliki literasi yang kuat terhadap pendekatan ini.
Sebagian mereka beranggapan bahwa di perguruan tinggi hanya mengkaji unsur intrinsik secara detail saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa ini materi lanjutan. Persepsi yang menjulang di alam bawah sadar bahwa unsur tema, tokoh, amanat, penokohan, alur, gaya bahasa dan sudut pandang sudah lelah mereka kunyah sejak belajar di SD sampai SMA/ sederajat.
Menanggapi hal di atas, siapa yang patut dipersalahkan atau dijadikan pencundang? Kurikulum kah? atau gurukan? Jika kurikulum jadi titik fokus kesalahan, berarti pemerintah sebagai perpanjang tangan pendidikan tidak mengalokasikan waktu yang cukup terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
Selama ini pembelajaran sastra selalu diintegrasikan dengan aspek bahasa Indonesia. Sementara aspek bahasa begitu banyak kajian yang harus dipahami oleh peserta didik. Sastra sebagai salah satu pengetahuan yang punya keunikan hendaknya dipelajari sebagai salah satu disiplin ilmu secara mandiri di sekolah umum. Hal ini terbukti dari adanya jurusan sastra pada tingkat SMA belum memberikan sebuah jaminan bagi setiap peserta didik untuk mendalami ilmu sastra. ketika mereka belajar di perguruan tinggi.
Amatan penulis, jurusan sastra hanya ada di sekolah- sekolah yang jumlah peserta didiknya lebih memadai daripada sekolah kecil yang berada di pelosok negeri. Lebih lanjut, pembukaan jurusan sastrapun dianggap sebagai pemenuhan jam sertifikasi guru, sementara subtansi dari sastra itu sendiri terabaikan.
Dalam konteks pemilihan jurusan pada tingkat sekolah selalu didominasi oleh jurusan IPA dan IPS. Lalu ketika para lulusan memilih perguruan tinggi dengan pilihan bahasa dan sastra Indonesia, mereka kelabakan dalam memahami sastra terutama dalam kajian struktural.
Pembelajaran sastra pada kedua jurusan tersebut diajarkan secara singkat hanya pengenalan awal saja. Apalagi pada tingkat SMA jam pelajaran bahasa Indonesia mengalami defisit jam dari 5 jam perminggu dikurangi menjadi 4 jam dalam 2 jam pertemuan. Bagaimana dapat siswa dibekali dengan materi sastra secara sempurna sementara materi aspek kebahasaan begitu luas cakupan materinya.
Sebenarnya kalau mau dipahami secara bijak terhadap dampak yang dimunculkan dari pembelajaran sastra pada peserta didik hal di atas tidak akan terjadi. Genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan (Zoetmulder, 1985).
Kutipan di atas mengungkapkan bahwa dampak sastra terhadap pembentukan karakter generasi muda tidak diragukan lagi. Hal yang menarik dari sastra adalah objek ini merupakan sebuah refleksi kehidupan nyata yang mengandung nilai-nilai normatif. sehingga wawasan peserta didik dapat dapat dibina melalui pembelajaran sastra pada tingkat sekolah.
Agar pembaca tidak diseret dalam arus tulisan ini, penulis memutar haluan pembahasan kepada pendekatan struktural yang menjadi fokus kajian. Penyebab utama kekurangpahaman mahasiswa sebagai calon guru.
Pendekatan struktural adalah pendekatan yang memandang karya sastra dari segi totalitas. Artinya, pendekatan ini menjelaskan bagaimana korelasi antara. Unsur unsur yang membangun sebuah karya sastra pendekatan ini merupakan pendekatan tertua dalam tatanan ilmu teori sastra.
Semua elemen sastra baik intrinsik maupun ekstrinsik dikaji secara bersamaan. Mengkaji karya sastra dalam pendekatan ini adalah mengulas Karya sastra secara kompleks dan menyeluruh. Setiap lekuk lekuk batang tubuh dari sastra dapat dipahami secara transparan.
Tantangan utama bagi mahasiswa yang mengkaji sastra dengan pendekatan ini adalah mereka tidak memahami pendekatan ini secara menyeluruh. Bahkan yang sangat riskan mereka baru mengetahui hal ini ketika kuliah di semester tiga. Seharusnya jika mereka masih belajar disekolah mereka sudah mengenal tentang konsep ini. Keluhan demi keluhan terus saja melaju dari lidah para pencari sastra sesungguhnya.
Dalam materi sastra yang ada di sekolah hanya 22 persen yang ditabulasikan dalam kurikulum bahasa Indonesia. Dalam konteks kurikulum kekinian sejak ditetapkan Kurikulum Tahun 2013 Sastra dipelajari di permurkaan saja meliputi unsur kebahasaan dan struktur dari karya sastra.
Kalau ini berlangsung begini terus mungkin sastra dengan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa dengan sendirinya akan pamit dari ranah pendidikan. Sastra akan kembali ke wujud aslinya yaitu duduk bersanding di rak- rak buku dalam mesium tua yang dikunjungi sebagai situs sejarah. Pengaruhnya yang luar biasa telah dipasung oleh kondisi dari ketidaktahuan para pengelola pendidikan.
Simpulan:
Jika pendekatan struktural yang telah diuraikan di atas, tidak dijadikan titik fokus dalam kurikulum di masa akan datang, maka dikuatirkan generasi sastra akan datang menjadi tamu di ranah sastra Indonesia. Sebagai pendidik yang bersentuhan langsung dengan bidang sastra, penulis mendukung adanya komposisi materi pendidikan bahasa dengan materi sastra, sehingga tidak memunculkan kepincangan pengetahuan sastra pada generasi masa depan.
Penulis adalah Pemimpin Jurnal" Aceh Edukasi' Pengurus IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe
0 Komentar