Religiotas dalam Puisi "Kala Bumi Meradang' Karya Ikha Djingga
Oleh Muklis Puna
Menurut Danandjaja (2007) nilai merupakan sejumlah pengertian (conceptions)
yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting,
apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang
benar. Awal
mula segala sastra adalah religius. Karya sastra menyimpan jagat religius.
Karya sastra yang berangkat dari aspek agama akan memberikan gelora makna
mengenai kebenaran Ilahiah dan kebenaran insaniah. Di sini karya sastra selain
menyuguhkan nilai estetis juga memberikan semangat religius, semangat yang
bakal mencapai kebenaran yang hakiki. https://abduhsempana.blogspot.com/2015/11/pengertian-nilai-religius-dalam-novel.html
diakses 21 februari 2022
Kutipan -kutipan di atas
menguraikan bahwa konsep nilai dan religius adalah suatu norma yang ditanamkan
di badan karya sastra (puisi). Konsep
religi adalah nilai yang menghubungkan antara manusia dengan tuhannya
secara horizontal,
dan manusia secara vertikal. Dalam bait pertama puisi ini jelas terlihat /Manusia bangga kelak jadi belatung/ Sebuah puisi terus mengisap punting/, hingga kaki buntung/ bahwa dalam hidup manusia tidak bebas seperti
binatang. Artinya, segala tindakan dan tingkah laku disetir oleh agama sebagai kompas dalam mengarungi dunia.
Walaupun demikian,
secara naluri manusia cenderung menyimpang dari aturan. Anehnya penyimpangn ini
sering dilakukan secara vulgar. Manusia
kadang luput dari tujuan sebenarnya bahwa belatung adalah.binatang khas
yang mampu mengurai seluruh jasad menjadi tembikar hingga menyatu kembali
dengan bumi.
Selanjutnya, /sebuah puisi terus mengisap puntung/ larik ini dipilih oleh penyair dengan hati- hati. Pemilihan majas asosiasi seperti ini membuat jiwa pembaca berpetualang mencari gantungan makna. Jika dikaitkan dengan larik di bawahnya tampak keadaan yang bernuansa religi. Diksi hisap yang dipilih telah mensakralkan bahwa hidup itu penuh pantauan oleh pengawal dan berbuntut pada tanggung jawab di hadapan sang Ilahi.
Selanjutnya,
bait kedua puisi ini dapat diinterprestasikan dengan menyelami dalam lautan
aksara yang agak pekat seperti berikut./bumi diam melihat dalam
cermat/ Silahkan
terus berbuat maksiat /serakah,
tamak bergairah/menindas yang lemah, bumi semakin gerah/
Secara ekplisit baik ini menyemburkan makna
bahwa manusia silakan saja keluar dari janji yang pernah diucapkan ketika masih
berada di alam kandungan. Bumi adalah
saksi utama sebagai pijakannya dalam hidup. Ketika, manusia pulang ke negeri tak bermalam, bumi
akan mengoceh di hadapan Rabb- Nya bahwa Ia
telah mengingkari ikrarnya. Selagi hidup
punya jabatan, harta, dan kekuasaan lalu menindas yang lemah seperti hukum
rimba untuk mempertahankan eksistensi diri. Pada larik /bumi sama semakin gerah/ tampak pemberontakan sang penyair dalam
menjawab semua tantangan kemaksiatan yang dilakukan manusia.
Wahh..ternyata pada bait - bait terakhir, keimanan, dan pengetahuan religuitas penyair semakin dominan. Bait -bait ini memberikan dampak tentang kepiluan yang dilihat sang penyair selama ini. Luar biasa .., halilintar, bumi meradang, genderang dan kematian ditabuh dan pesta kematian. Diksi ini mengantar imaji perasa pembaca untuk merunduk sejenak mengenang diri tentang perilaku selama ini. Penyair perenpuan ini yang berdomisili di Batam telah mengambil peran besar dan memberikan atensi terhadap rubuhnya akhlak negeri ini. Inilah yang dimaksud ternyata puisi tidak hanya difungsikan untuk mengungkapkan perasaan pribadi yang bersifat merindui pada lain.jenis. Akan tetapi,sang penyair telah membuktikan puisi ini adalah media dakwah sebagai peringatan bagi pembaca bahwa hidup itu diawasi oleh CCTV maha dahsyat. Nanti semua rekaman hidup ditulis di raport secara adil dan digantungkan di leher sebagai tiket penentuan hidup yang abadi
karya Olga Jingga.
Luntang lantung tak jelas juntrungannya
Manusia bangga kelak jadi belatung
Sebuah puisi Terus mengi
sap puntung, hingga kaki buntung
Silahkan terus berbuat maksiat
Serakah, tamak bergairah
Menindas yang lemah, bumi semakin gerah
Mulut busuk bau sampah
Mata nanar bernanah
Teruskan menggali kubur sendiri,
cakar saja mukamu hingga berdarah-darah
Merintih menyimpan luka
Memerah hendak muntahkan murka
Menelan habis para durjana
Halililntar menyambar siap berperang
Genderang ditabuh pesta pora kematian
Tiupan sangkakala tak memilih lawan atau kawan
Bumi menggoncang tiada belas kasihan
Neraka dunia pun binasa
Masihkah engkau tertawa?
Batam, 24 Agust'17
Penulis adalah
Pemimpin Jurnal “ Aceh Edukasi” Pengurus IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi,
Esais dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe
0 Komentar