Religiotas dalam Puisi "Kala Bumi Meradang' Karya Ikha Djingga

 




Religiotas dalam Puisi "Kala Bumi Meradang' Karya Ikha Djingga

Oleh Muklis Puna

 Sastrapuna.com-Struktur puisi dikatagorikan dalam dua bagian besar yaitu struktur  fisik dan  batin. Struktur fisik dikelompokakan menjadi 6 bagian yaitu: 1) diksi ,2) gaya bahasa,3) imaji, 4) kata kongkrit,5) typografi, dan 6) verifikasi. Sedangkan struktur batin dibagi menjadi 4 yaitu 1) tema, 2) amanat,3) rasa/ suasana dan 4) nada.  Kedua struktur di atas merupakan otonomi dari puisi. Selain struktur tersebut terdapat juga nilai-nilai membangun sebuah puisi. Penyair pemula biasanya jarang memperhatikan kedua   hal yang telah dikemukakan di atas.  Akan tetapi, tugas kritikuslah yang   membongkar segala nilai, amanat,tema dan rasa secara terang -benderang agar puisi  itu sampai pada penikmat. Mengingat begitu luasnya kajian untuk sebuah puisi dan  membutuhkan  perenungan. Penulis membatasi kajian ini pada fokus nilai religuitas pada puisi Kala Bumi Meradang Karya Ikha Jingga.

Menurut Danandjaja (2007) nilai merupakan sejumlah  pengertian  (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Awal mula segala sastra adalah religius. Karya sastra menyimpan jagat religius. Karya sastra yang berangkat dari aspek agama akan memberikan gelora makna mengenai kebenaran Ilahiah dan kebenaran insaniah. Di sini karya sastra selain menyuguhkan nilai estetis juga memberikan semangat religius, semangat yang bakal mencapai kebenaran yang hakiki. https://abduhsempana.blogspot.com/2015/11/pengertian-nilai-religius-dalam-novel.html diakses 21 februari 2022

Kutipan -kutipan di atas menguraikan bahwa konsep nilai dan religius adalah suatu norma yang ditanamkan di badan  karya sastra (puisi). Konsep religi adalah nilai yang menghubungkan antara manusia dengan  tuhannya secara horizontal, dan manusia secara vertikal. Dalam bait pertama puisi ini jelas terlihat /Manusia bangga kelak jadi belatung/ Sebuah puisi terus mengisap punting/, hingga kaki buntung/ bahwa dalam hidup manusia tidak bebas seperti binatang. Artinya, segala tindakan dan tingkah laku disetir oleh  agama sebagai kompas dalam mengarungi dunia. Walaupun demikian, secara naluri manusia cenderung menyimpang dari aturan. Anehnya penyimpangn ini sering dilakukan secara vulgar. Manusia  kadang luput dari tujuan sebenarnya bahwa belatung adalah.binatang khas yang mampu mengurai seluruh jasad menjadi tembikar hingga menyatu kembali dengan bumi.

Selanjutnya, /sebuah puisi terus mengisap puntung/ larik ini dipilih oleh penyair dengan hati- hati. Pemilihan majas asosiasi seperti ini membuat jiwa pembaca berpetualang mencari gantungan makna. Jika dikaitkan dengan larik di bawahnya  tampak keadaan yang bernuansa religi.  Diksi hisap yang dipilih telah mensakralkan bahwa hidup itu penuh pantauan oleh pengawal dan berbuntut pada tanggung jawab di hadapan sang Ilahi.

Selanjutnya, bait kedua puisi ini dapat diinterprestasikan dengan menyelami dalam lautan aksara yang  agak  pekat seperti berikut./bumi diam melihat dalam cermat/ Silahkan terus berbuat maksiat /serakah, tamak bergairah/menindas yang lemah, bumi semakin gerah/

Secara ekplisit baik ini menyemburkan makna bahwa manusia silakan saja keluar dari janji yang pernah diucapkan ketika masih berada di alam kandungan.  Bumi adalah saksi utama sebagai pijakannya dalam hidup.  Ketika,   manusia pulang ke negeri tak bermalam, bumi akan mengoceh di hadapan Rabb- Nya bahwa Ia telah mengingkari  ikrarnya. Selagi hidup punya jabatan, harta, dan kekuasaan lalu menindas yang lemah seperti hukum rimba untuk mempertahankan eksistensi diri. Pada  larik /bumi sama semakin gerah/ tampak pemberontakan sang penyair dalam menjawab semua tantangan kemaksiatan yang dilakukan manusia.

 

Wahh..ternyata pada bait - bait terakhir, keimanan, dan pengetahuan religuitas penyair semakin dominan. Bait -bait ini memberikan dampak tentang kepiluan yang dilihat sang penyair selama ini. Luar biasa .., halilintar, bumi meradang, genderang dan kematian ditabuh dan pesta kematian. Diksi ini mengantar imaji perasa pembaca untuk merunduk sejenak mengenang diri tentang perilaku selama ini. Penyair perenpuan ini yang berdomisili di Batam telah mengambil peran besar dan memberikan atensi terhadap rubuhnya akhlak negeri ini. Inilah yang dimaksud ternyata puisi tidak hanya difungsikan untuk mengungkapkan perasaan pribadi yang bersifat  merindui pada lain.jenis. Akan tetapi,sang penyair telah membuktikan puisi ini adalah media dakwah sebagai peringatan bagi pembaca bahwa  hidup itu diawasi oleh CCTV maha dahsyat. Nanti semua rekaman hidup ditulis di raport secara adil dan digantungkan di leher sebagai tiket penentuan  hidup yang abadi

 

Kala Bumi Meradang
 karya Olga Jingga.

Limbung tak ketemu gunung
Luntang lantung tak jelas juntrungannya
Manusia bangga kelak jadi belatung
Sebuah puisi Terus mengi
sap puntung, hingga kaki buntung

Bumi diam melihat dalam cermat
Silahkan terus berbuat maksiat
Serakah, tamak bergairah
Menindas yang lemah, bumi semakin gerah

Hei, lihat perut membuncit penuh lintah
Mulut busuk bau sampah
Mata nanar bernanah
Teruskan menggali kubur sendiri,
cakar saja mukamu hingga berdarah-darah

Bumi yang renta menua menahan air mata
Merintih menyimpan luka
Memerah hendak muntahkan murka
Menelan habis para durjana

 

Kala bumi meradang, siapa pun diterjang
Halililntar menyambar siap berperang
Genderang ditabuh pesta pora kematian
Tiupan sangkakala tak memilih lawan atau kawan

Kalau sudah begini, sanggupkah bertahan
Bumi menggoncang tiada belas kasihan
Neraka dunia pun binasa
Masihkah engkau tertawa?

 

Batam, 24 Agust'17

 

Penulis adalah Pemimpin Jurnal “ Aceh Edukasi” Pengurus IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi, Esais dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar