Plus-Minus Sistem Zonasi bagi Pendidikan Unggul

 

Plus-Minus Sistem Zonasi bagi Pendidikan Unggul

Oleh: Marzuki Umar, M.Pd. 

sastrapuna.com - Rasanya, kata "pendidikan" bukanlah istilah baru di dalam kamus kehidupan. Bahkan, piranti ini telah lahir sejak lahirnya manusia pertama ke dunia ini, yaitu Nabi Adam as. dalam mengayomi rumah tangga bersama sang kekasih tercintanya, Siti Hawa, sebagai cikal-bakal melimpah-ruahnya insan di muka bumi ini. Sejak pertama dan berabad-abad lamanya sampai ke era digitalisasi seperti ini, nomenklatur ini tetap bersahabat secara bersahaja bagi siapa saja yang memeliharanya. Konon, syarat dari sebuah peradaban manusia ini pun tak kan hilang ditelan kegelapan masa. Oleh karena itu, alat iluminasi (pendidikan) ini kian dijadikan fondamen bagi kehidupan dan penghidupan manusia sampai akhir zaman. 

Pada sebuah lembaga yang berwajah sekolah, baik negeri maupun swasta, pendidikan merupakan tameng yang perlu dijaga, dipupuk, disiram, dipelihara, serta diukir sedemikian rupa, sehingga setiap jiwa yang bernaung di dalamnya akan tumbuh dan berkembag secara indah dan dewasa. Dengan kata lain, setiap anak yang berkiprah melalui jalur pendidikan, maka cara berpikir, cara bertindak, cara berinteraksi serta cara berinisiasi, umumnya akan jauh lebih konprehensif dibandingkan dengan anak yang tidak mengecap pendidikan melalui lembaga sekolah. Mengapa demikian? Hal tersebut tidak lain dikarenakan pendidikan adalah salah satu lintasan intensif yang mampu memanusiakan manusia. Depdikbud (KBBI, 1998:204) memaknai bahwa, "Pendikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan".

Pemahaman eksklusif pengertian kutipan singkat di atas, bahwa guna dapat mengubah atau menjadikan tata kehidupan manusia ke taraf yang berkualitas, solusinya ada pada sekolah dengan mengutamakan pendidikan sebagai benteng yang kokoh. Artinya, pendidikan yang diterapkan di sekolah haruslah pendidikan yang benar-benar membentuk karakter peserta didik. Dengan begitu, dalam diri meraka akan terpatri budi pekerti yang mulia, ilmu pengetahuan dan wawasan yang tangguh, serta keterampilan yang paripurna.

"Pendidikan yang paling baik adalah melahirkan rasa penasaran pada peserta didik sehingga mereka ingin tau dan paham. Bukan pula sekedar mengikuti kurikulum apalagi kurikulum negara lain. Bukan juga mengikuti sistem pembelajaran menurut para ahli, karena dasar pendidikan itu sendiri adalah menciptakan peserta didik mampu mengerti dan paham. Itu merupakan kode kunci pendidikan yang paling baik." https://yusrintosepu.wixsite.com/publication/post/bagaimanakah-pendidikan-yang baik. Diakses 12 Desember 2021, pukul 20.00 WIB. 

Sebagai upaya menaruh harapan pada sang generasi sebagaimana didisekripsikan di atas, perhatian masyarakat terhadap suatu lembaga  sekolah yang memiliki kredibitas yang tinggi di dalam proses pendidikan pun menjadi tolok ukur. Untuk itu, setiap akhir dan awal tahun pelajaran, para orang tua calon siswa baru terus saja memantau serta mengincar lembaga-lembaga sekolah yang menurut penilaiannya tergolong favorit atau unggul. Hal ini tidak hanya tertata bagi masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas, tetapi juga siapa saja, termasuk masyarakat miskin sekalipun, yang putra-putrinya memiliki kelebihan kecerdasan beserta keterampilan, peluang untuk memperoleh formasi pada sekolah unggulan boleh saja menjadi idamannya.

Tentu, dalam hal ini para orang tua atau masyarakat jauh-jauh hari telah meneropong terhadap sepak terjang yang dilakukan pihak sekolah, terutama sekolah-sekolah yang berada di lingkungannya. Bahkan, dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan, para orang tua juga meneroka atau menjelajah performa sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Pemilik generasi ini menelaah sampai ke akar-akarnya terhadap lembaga pendidikan yang bakal ditujunya. Semua potret sekolah yang didapatkannya itu dijadikan sebongkah persoalan yang sengit dalam keluarga. Dengan demikian, lebaga pendidikan yang jadi impiannya akan menjadi tepat sasaran. 

Setelah terjadi kesepakatan antara orang tua dan anak, maka sekolah yang dilirik pun menjadi pilihannya, sembari mengantarkan mereka  ke sekolah dimaksud. Dalam hal ini, pihak sekolah unggulan pada saat itu umumnya tetap mengadakan saringan bagi calon siswa baru melalui jalur tes. Hasil tes tersebut diadakan perangkingan, sehingga yang mendapat kursi di sekolah idolanya itu adalah bagi mereka yang masuk ke dalam lingkup perangkingan sesuai dengan jumlah rombongan belajar yang diterima pada tahun berjalan. Apabila pelamar melebihi kapasitas sebagaimana yang diharapkan, maka secara otomatis bagi yang tidak tertampung di sekolah harapannya, akan mencari sekolah pilihan keduanya, dan seterusnya. Alur penerapan tes ini memang dijadikan acuan awal untuk menjaring calon siswa ungulan, baik tes bidang akademik maupun tes membaca Al-Quran. Dengannya diharapkan calon peserta didik benar-benar memiliki kualifikasi primadona di dalam dirinya.    

Setelah benar-benar menjadi anak asuh pada sekolah unggul yang menerimanya, didikan awal yang mereka terima berupa masa oriesntasi sekolah (MOS). Aktivitas ini dilaksanakan selama seminggu. Berbagai materi yang disuguhkan kepada mereka oleh pihak sekolah, termasuk perkenalan lingkungan sekolah. Di sini mereka diberitahukan visi dan misi sekolah, kepala Sekolah beserta staf (baik guru maupun tenaga administrasi), begitu juga dengan sarana prasarananya. Di samping itu, yang tak kalah penting disampaikan kepada mereka adalah tata tertib sekolah yang harus diacu dan digugu oleh setiap yang telah menjadi anak asuhannya. Dengan demikian, pihak sekolah berharap agar setiap anak yang telah berpayung pada sekolah dimaksud, hendaknya  mempunyai niat yang kokoh dengan penuh tanggung jawab untuk memberdayakan dirinya sebagai anak unggul. 

Menelusuri percikan pendidikan yang telah penulis beberkan di atas, apakah sebenarnya sekolah unggul tersebut? Mengapa lembaga itu dinamakan dengan sekolah unggul? Bagaimanakah keberadaan sekolah unggul di tengah-tengah masyarakat? Bagaimana pula kelanjutan daripada sekolah unggul?  

Sekolah Unggulan

Sebelum kita beranjak pada skema baru yang dimanifestasikan pada dunia pendidikan, ada baiknya sekejap kita menoleh pada strategi pendidikan yang pernah jaya, yaitu sekolah unggul. Tujuannya adalah untuk menjadi studi banding antara kearifan baru dengan kehandalan sebelumnya, yang kini hanya tinggal kenangan belaka. Bagaimanakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan sekolah unggul? Sekolah unggul merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari sebuah keinginan untuk memiliki sekolah yang mampu berprestasi di tingkat nasional dan dunia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. https://disdik.bekasikab.go.id. /2015/03/01. Diakses 12 Desember 2021, pukul 20.00 WIB. 

Pengertian singkat, padat, dan jelas dalam kutipan di atas mengisyaratkan bahwa lahirnya sekolah unggul atau favorit bukanlah tidak beralasan dan bukan pula atas dasar intimidasi dari pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, hal itu didasari atas keinginan dan niatan yang membaja dari berbagai elemen masyarakat sehingga hasil tempahan pendidikan diharapkan akan memiliki daya saing secara lokal, nasional, dan internasional sekalipun. Berarti, hasrat mengukir prestasi inilah yang menjadi perintis tumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan yang bernuansa unggul. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya sekolah unggulan di berbagai wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Salah satu wilayah yang ikut ambil andil memperjuangkan sekolah unggul adalah Aceh. Lembaga-lembaga pendidikan unggul tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebar dalam tiap kabupaten/kota. Adapun sekolah yang tergolong unggul adalah : 1) Lhokseumawe; SMAN 1, SMAN Arun, dan SMAN 5, 2) Aceh Utara; SMAN 1 Muara Batu, SMAN 1 Lhoksukon, SMAN 1 Meurah Mulia, 3) Bireuen; SMAN 1, SMAN 2, dan SMA Sukma Bangsa Bireuen, 4) Aceh Timur; SMA Negeri Unggul, 5) Kota Langsa; SMAN 2, SMAN 3, dan SMAN 1 Langsa, 6) Aceh Tamiang; SMAN 1 Kejuruan Muda, SMAN 1 Tamian Hulu,  SMAN 2 Kejuruan Muda, 7) Aceh Tengah; SMA Negeri 8 Takengon, 8) Bener Meriah; SMA Unggul Binaan dan SMA N 2 Bukit, 9) Tapak Tuan; SMAN 1 dan  SMA Unggul Tapak Tuan, 10) Meulaboh; SMAN 4 Wira Bangsa, SMAN 2 Meulaboh, dan MTsS Harapan Bangsa, 11) Banda Aceh; SMA Modal Bangsa, SMAN 4, SMAN 2, SMAN 8 Banda Aceh, 12) Aceh Besar; SMAN Modal Bangsa, SMA Granada-PGRI, SMAN 1 Kota Jantho, 13) Aceh Singkil; SMAN 1 Singkil, 14) Sabang; SMAN 1, SMAN 2, dan SMKN 1 Sabang, 15) Aceh Tenggara; SMAN 1 Kutacane, SMAN 1 Darul Hasanah, SMAN 2 Lawe Sigalagala, 16) Sinabang; SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3 Sinabang, dan 17) Aceh Jaya, serta 18) Pulau Simeulu. Bahkan, mungkin masih ada lagi yang tidak tercerap dalam tulisan ini. https://sekolah, data.kmendikbud.go.id. Diakses 25 Desember 2021, pukul 10.00 WIB.

Dengan adanya sekolah-sekolah yang berlabel unggulan sebagaimana tertera di atas membuat wajah pendidikan Aceh merona berbinar-binar. Bahkan, tidak hanya wajahnya saja yang seperti itu, isinya pun mewangi bagaikan durian montong, sehingga membuat orang ngiler saat menatapnya. Kemegahan dan keharuman yang terukir pada tiap lembaga sekolah yang berpredikat "unggul" pada saat itu membuat masyarakat haru-biru. Hal tersebut ditandai dengan berbagai prestasi yang diraih, mulai tingkat daerah, tingkat wilayah, maupun tingkat pusat. Apakah itu bernuansa olimpiade sains nasional (OSN) dan lain sebagainya, baik bidang akademik maupun non-akademik. 

Ini sebagaimana dirasakan oleh SMA Negeri 1 Lhokseumawe pada tahun 2017, yang mendapat juara umum Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat SMA/MA Se-Kota Lhokseumawe. Kepala Sekolah, Nurasmah, S.Pd,.M.Pd. menjelaskan bahwa "OSN tingkat Kota Lhokseumawe digelar Dinas Pendidikan Aceh melalui Unit Pelaksanaan Teknisnya di Lhokseumawe pada 14 Maret 2017. Ada sembilan mata lomba, dan Alhamdulillah kami bisa menjadi juara umum". https://aceh.tribunnews.com/2017/03/25/sman-1-lhokseumawe-juara-umum-osn. Diakses 25 Desember 2021, pukul 10.00 WIB.

Menurut pantauan penulis, yang pada saat itu masih menjadi guru pada sekolah dimaksud, masih segudang prestasi lain yang diraih oleh anak-anak SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Itu semua adalah berkat kepiawaian pendidik dan tenaga kependidikan serta usaha pihak anak didik yang menjadikan sekolah tersebut tetap unggul. Demikian juga dengan sekolah-sekolah unggul lainnya di Aceh, seperti SMA Negeri Modal Bangsa Aceh, SMA Unggul Tapak Tuan, SMA-SMA unggul lainnya, yang setiap saat mengukir prestasi, yang tidak dapat penulis sampaikan satu persatu di dalam tulisan ini. 

Jalinan kasih pada sekolah unggulan dengan taraf pendidikan unggulan jua memang dapat terpatri sekian lama di bumi Aceh. Masyarakat merasa bangga dan gembira terhadap jalannya pendidikan beserta prestasi yang digapai dalam berbagai even. Demikian juga dengan pemerintah daerah, pihaknya dapat tersanjung atas hasil kinerja yang dicapai oleh lembaga-lembaga pendidikan unggul. Sementara itu, pihak sekolah juga mengantongi kebahagiaan beserta kepuasan atas hasil usaha dan kerja sama yang baik, seraya bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Swt. `

Namun, sejak tahun ajaran 2017/2018 hal tersebut secara perlahan terkikis sampai dengan tahun 2020/2021. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan terjadi perubahan kebijakan pemerintah, khususnya pada tatanan pendidikan di sekolah. Lantas..., kebijakan apa saja yang diterapkan pemerintah bagi duania pendidikan? Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Apa yang terjadi di dalam internal pendidikan  kita, teruma bagi sekolah unggulan, sehingga perlu adanya kebijakan baru? Bagaimanakah animo publik di dalam menyikapi kondisi tersebut? Mungkinkah kearifan yang diterapkan menjadi solusi terbaik bagi dunia pendidikan? Bahkan, masih segudang tanya yang terbersit di benak kita menyangkut strategi yang dibangun terhadap jalannya pendidikan.  

Sistem Zonasi

Saat hingar-bingarnya sekolah unggul, pemerintah memiliki suatu pandangan ke arah pemerataan pendidikan bagi anak-anak bangsa. Untuk kepentingan tersebut, pihak eksekutif mengambil ancang-ancang, khususnya dalam bidang penerimaan siswa baru. Hal ini sebagaimana dikutip pada situs "sistem zonasi" bahwa "Sistem zonasi mulai digunakan pada tahun 2017 dalam penataan sistem Peneraimaan Peserta Dididk Baru (PPDB) yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 14 tahun 2018, tentang Penerimaan Peserta Dididk Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan,atau bentuk lain yang sederajat. Pemberlakuan Sistem zonasi baru efektif di tahun 2018." https://www.rumah.com/panduan-properti/sistem-zonasi-38762.

Ancang-ancang sebagaimana dipublikasikan pada situs di atas bahwa pihak sekolah wajib menerapkan terobosan baru dalam dunia pendidikan yang dikelolanya, yaitu sism zonazi. Sistem ini dapat dimaknai suatu pembagian areal menjadi beberapa bagian sesuai dengan ketentuan. Penerapan zonasi ini bertujuan agar semua jenjang pendidikan dapat memberikan layanan terbaik, terutama pada pemerataan mutu pendidikan. 

Hasil wawancara penulis dengan Kepala SMA Negeri 1 Lhokseumawe, Nurasmah, S.Pd,.M.Pd. 4 Januari 2022 di ruang tugasnya, beliau menegaskan bahwa "Sistem zonasi ini merupakan upaya menyamaratakan pendidikan. Para peserta didik yang diterima di suatu sekolah adalah mereka yang berada di lingkungan sekolah tersebut. Dalam hal ini, pihak sekolah tidak boleh membeda-bedakan, siapa saja harus diterima asalkan domisilinya termasuk zona sekolah. Kalau di Kota Lhokseumawe, PPDB saat ini dibagi atas empat wilayah kecamatan. Bagi masyarakat yang berada dalam wilayah kecamatan Banda Sakti misalnya, maka putra-putrinya harus disekolahkan di kecamatan tersebut. Demikian juga dengan yang berdomisili di Kecamatan Blang Mangat, Muara Satu dan Muara Dua. Masalah kompetensi tidak boleh menjadi alasan. Kuotanya 60%".

Lebih lanjut top manajemen ini menandaskan juga, selain perkecamatan, sistem penerimaan ada tiga jalur, yaitu: 1) Jalur afirmasi, ini khusus bagi anak yang kurang mampu tapi berminat untuk bersekolah di tempat tujuannya, minimal 15%. 2) Jalur prestasi dari luar zonasi, minimal 20%. 3) Jalur perpindahan orang tua/wali, maksimal 5%. Ini merupakan kesepakan daerah dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan pemerintah.  

Penerapan zonasi bagi dunia pendidikan, terutama lembaga pendidikan umum "bak durian runtuh" bagi lingkungannya. Masyarakat begitu sumringah menyikapinya karena mimpinya yang indah telah menjadi kenyataan, yang telah lama hanya menjadi asupan buku hitam sebatas memori belaka. Di sisi lain, pihak sekolah yang sedang unggul dan diunngulkan oleh berbagai kalangan kala itu, sontak seketika. Kepala sekolah beserta jajarannya hanya terdiam tidak bisa berbuat banyak. Renungan panjang pun merona. Ingatan ke masa silam dengan cahaya yang benderang tiba-tiba redup bercampur aduk dengan pikiran ke masa depan sekolahnya yang kian suram.  Bahkan, sebagian masyarakat yang selalu mengelu-elukan lembaga sekolah kenamaan pun merasa terkejut keheran-heranan.

Di sisi lain, pihak sekolah yang sebelumnya begitu nyaman, aman, dan damai kini semakin gusar. Mengapa tidak? Kenyamanan yang selama ini dirasakan dikarenakan yang diterimanya adalah bibit unggul. Secara adat, jika yang ditanam bibit unggul maka panennya pun unggul, sekalupun perawatannya simpel. Kegusaran yang kian melilit dalam sanubarinya tidak lain disebabkan bibit yang diperoleh adalah bibit sembarangan, maka dikhawatirkan penennya tak kan menentu, bahkan mungkin lebih buruk daripadanya. Pestisida apa saja boleh disiram untuk mengusir hama, pupuk jenis apa pun boleh ditaburkan untuk mengekarkan akar dan menyuburkan batang serta daunnya. Harapannya adalah panennya akan melimpah. Namun, percaya atau tidak, "apa yang ditanam itu yang dituai".

Plus-Minus Zonasi 

Sekolah sebenarnya merupakan pilihan. Bila ingin mendapatkan sekolah yang baik (unggul) maka modalnya juga harus unggul. Artinya, setiap masyarakat (calon siswa) yang berkemauan untuk menimba ilmu, pengalaman, dan wawasan melalui jalur unggulan, maka mereka harus berlaku unggul sejak dini. Hal itu dapat ditandai dengan soft skill dan hard skill yang mereka bawa dari SD dan SMP sebagai bekal awal untuk semaksimal mungkin dapat beradaptasi dengan sekolah yang berlabel unggul. Jadi, bukan merombak sistem pendidikan yang telah berpredikat wow, bahkan sepatutnya perlu diperkokohkan kembali, misalnya dalam bidang sarana prasarana.  

Tanpa terasa, konkretisasi sistem zonasi dalam tubuh pendidikan Aceh pun telah berjalan tiga tahun lebih. Dengan adanya penerapan sistem zonasi ini wajah pendidikan unggulan Aceh secara umum kian muram diakibatkan oleh  semak belukar yang tumbuh secara manasuka. Onak dan duri serta kerikil-kerikil tajam semakin melapisi jalan mulusnya pendidikan, yang kian merasuk ke dalam jiwa-jiwa  peserta didik pilihan. Dengannya pula dapat berdampak pada jalannya pembelajaran di sekolah, baik kokurikuler dan  intrakuriku maupun ekstrakurikuler. Lantas..., apa yang sebenarnya terjadi dalam internal pendidikan unggul dengan kehadiran teknik zonasi ini? Guna mengklarifikasi pertanyaan ini, penulis menilik dari dua kutup atau aspek, yaitu plus dan minus zonasi itu sendiri. 

Di satu aspek, ada dua hal yang keuntungan. Pertama, kemunculan sistem zonasi dalam jiwa raga pendidikan merupakan anugerah. Bagi sebagian masyarakat yang selama ini mendongkol dikarenakan anaknya tidak diterima di sekolah unggulan karena beberapa pertimbangan, kini berubah kegirangan. Kedatangannya bagaikan sang ratu, bahkan sembari menyemat setangkai mawar indah. Perilaku ini mencuat karena "sistem pemerataan pendidikan" telah tiba. Menurutnya "inilah suatu keadilan" yang  terngiang di dadanya, yang sudah sekian lama dinanti-nantikan.

Anehnya ... belum beranak sudah ditimang. Pribahasa ini biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang berpikiran sempit. Mereka cuma berandai-andai anaknya akan menjadi anak unggulan. Bagaimanakah eksistensi putra-putrinya setelah berada di sekolah unggul, itu tidak menjadi kepikiran. Mampukah mereka beradaptasi dengan lingkungan sekolah tersebut? Dapatkah anak-anaknya mengikuti pembelajaran seperti anak-anak yang bermodal unggul lainnya? Sejauh manakah sang generasi ini bisa memaknai dan menaati aturan-aturan atau tata krama di lingkup sekolah dimaksud? Yang mereka inginkan adalah sang penerus cita-citanya dapat diterima di sekolah unggulan. Masalah mampu atau tidak, itu urusan belakangan. Inilah yang menjadi nilai tambah sistem zonasi bagi pendidikan karena semua sekolah sudah standar.

Kedua, bebas dari memo. Sudah menjadi trendi setiap awal tahun ajaran, segelintir masyarakat tak luput dengan politik semu yaitu mencari memo lewat tokoh yang mempunyai power untuk memasukkan anaknya ke sekolah unggul. Dengan adanya mediasi melalui "surat keramat" itu, Kepala Sekolah beserta stafnya kadangkala keluar keringat dingin dalam mensiasatinya. Prilaku ini juga mustahil tidak tersingkir anak-anak lain. Namun, dengan adanya zonasi, pihak sekolah sedikit lega karena bebas dari manuskrip tersebut.  

Sementara di aspek yang lain, bidikan penulis pada kemudaratan yang dilalui oleh peserta didik yang berlatar belakang kecerdasannya rendah. Bahkan, hal ini tidak tertutup kemungkinan dapat berdampak pada pihak sekolah. Hal-hal yang dapat terungkap dengan kebijakan ini antara lain sebagai berikut.

Pertama, bagi peserta didik atau siswa yang kurang mampu menyelesaikan berbagai persoalan pembelajaran yang dilaluinya, maka ia akan merasa minder dengan rekan-rekannya yang dapat menjalaninya dengan mulus. Kita pahami bahwa proses pembelajaran tidak mungkin terjadi secara "sim salabim abra kadabra" terus jadi. Banyak hal yang perlu dilakukan guna dapat membentuk pribadinya yang tangguh. Terlebih bukan hanya satu atau dua mata pelajaran yang dihadapinya melainkan sampai belasan. Konon, dalam pembelajaran unggul diharapakan bisa terwujud 70% dari pihak siswa, sedangkan dari pihak pendidik 30%. Artinya, kreativitas siswa lebih besar daripada modalitas yang dipasok oleh pendidik (guru). Rasanya ini suatu hal yang mustahil dapat direalisasikan bagi calon peserta didik yang berkompetensi  lemah. 

Kedua, oleh karena awalnya telah berbalut "perasaan minder" secara kurang disadarinya, lahirlah sikap apatis. Hal ini akan berakibat fatal bagi peserta didik itu sendiri. Dia akan kurang peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Dia datang ke sekolah hanya sebatas melunasi hutang janji dengan orang tuanya. Akhirnya, dengan perasaan jenuh dia tidak peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Ketiga, jika kedua faktor di atas telah membuli diri calon peserta didik, dia akan bertindak semaunya saja. Disiplin tidak dijaga, tugas guru kurang dihargainya, dan segala sesuatu yang perlu dilakukan demi kemajuannya, itu dianggap menjadi beban berat. Kalaupun terpaksa dilakukan, dia akan menyisihkan uang jajannya guna mengupahkan tugasnya itu kepada orang/pihak lain. Yang datang ke sekolah hanya raganya, sementara jiwa atau rohaninya  berada di alam maya. Ini merupakan mala petaka yang tidak boleh terjadi dalam pendidikan unggul. 

Keempat, banyak calon siswa yang berkompeten tidak mendapat kesempatan di sekolah unggul. Diakui atau tidak, standarisasi pendidikan juga berdampak negatif bagi calon peserta didik yang berada di luar garis zonasi. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua calon, tapi juga puluhan dan mungkin ratusan calon-calon milenial. Bahkan, yang lebih miris lagi bagi bibit-bibit unggul yang tempat tinggalnya berada di perbatasan zonasi. Hanya dua atau lima meter saja dia melangkah, sebenarnya sudah dapat memperoleh pridikat unggul. Namun, dikarenakan protokoler pendidikan memberi lampu merah kepadanya, niat sucinya itu terkubur. Pihak orang tuanya terpaksa mengurut dada, seraya hatinya bertanya kepada Yang Maha Kuasa, "Kapankah anak-anak kami ini bisa kembali ke bangku pendidikan unggul?"

Kelima, pihak sekolah agak sulit mendedikasikan segala keunggulan yang ada di sekolah baik skill mapun sarana prasarana lainnya. Hal ini dikarenakan daya tampung mereka yang melempem.  Ingatannya rapuh, sehingga apa pun yang diterimanya dari guru kian pudar. Bermacam pendekatan dan strategi diluncurkan, namun paradigma lama memblokir jalan masuknya paradigma yang baru. Akhirnya, sang siswa ini hanya selfie tanpa kreasi.  

Upaya Penetralisir 

Guna menjaga keseimbangan, sekurangnya ada tiga hal yang menjadi tonggak penetralisir unggulnya pendidikan. Pertama, keunggulan sang generasi pertama sekali dapat terwujud tidak terlepas daripada patron utama didikan rumah tangga yang diayomi oleh orang tua. Kedua, pihak sekolah harus bekerja super ekstra baik dalam meningkatkan hard skill maupun sof skill. Ketiga, sebagai pemegang power, pemerintah harus tetap menjaga keutuhan sekolah unggul melalui berbagai kebijakan yang menguntungkan. Dengan demikian, pendidikan Aceh tetap jaya dan berwibawa di mata dunia. 

Simpulan

Sekolah unggul kian menjadi simbol kenangan. Lantas ... gebrakan apa saja yang musti dikreasikan ke depan agar peserta didik sebagai input harus mempunyai kompetensi dasar yang konsisten untuk belajar dengan solid. Dengan demikian, meraka akan dapat menjadi out put yang handal bkan saja dalam berkata-kata tetapi juga di dalam berkarya. 

Penulis adalah Staf Pengajar pada Umuslim dan Pengamat Pendidikan Wilayah Bireuen 


Editor: Muklis Puna 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar