Menyonsong Substansi Kurikulum Baru 2022 sebagai Tawaran Penyuluh Pendidikan, Mungkinkah...?

 
Menyonsong Substansi Kurikulum Baru 2022 sebagai Tawaran Penyuluh Pendidikan, Mungkinkah...? 

Oleh : Marzuki Umar, M.Pd. 


sastrapuna.com - Kurikulum adalah basisnya pendidikan dan pembelajaran. Tanpa adanya kurikulum, roda pendidikandan pembelajaran akan mandeg, yang berdampak negatif bagi dunia pendikan itu sendiri. Pelaku pendidikan dan pembelajaran tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana dikarenakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya tidak ada. Jika hal ini kita ibaratkan sebagai sebuah film yang akan dimainkan, aktornya tidak dapat melakukan aktingnya sebagaimana yang dihajati oleh sutradaranya disebabkan sekenarionya tidak diragangkan dengan jelas. Apabila tokoh utama dan tokoh pembantu diinginkan dapat mendramatisasikan alur filmnya itu ke arah yang bernilai seni dan edukasi, maka skenario yang lugas adalah tempat pijakan mereka di bawah komando sutradaranya itu. Dengan begitu, film tersebut baru dapat dipublikasikan kepada masyarakat atau pemirsa. Demikian juga dengan roda pendidikan dan pembelajaran tidak akan bergulir dan berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya petunjuk yang jelas. Sehebat apa pun pelakonnya, jika tidak memiliki dan merujuk kepada suatu program yang terarah, maka pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran akan terjadi salah kaprah. Akhirnya, harapan demi harapan tinggallah sebatas harapan belaka, tujuan pendidikan dan pembelajaran tidak mencapai garis batas seperti yang didambakan oleh masyarakat. Begitulah urgennya kehadiran kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Nonor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai pendidikan tertentu", Muzamiroh (2013:19). Amanat Undang-Undang Sisdiknas ini mendeskripsikan bahwa kurikulum itu adalah sebagai acuan yang harus digugu dan diacu oleh pendidik dan tenaga kependidikan guna membawa pendidikan dan pembelajaran ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, siapa saja yang ingin melaksanakan pendidikan dan pembelajaran guna tercapainya tujuan yang lebih baik wajib berpedoman pada kurikulum yang berlaku. 

Untuk kepentingan dimaksud, sejarah telah membuktikan bahwa dalam upaya mewujudkan pendidikan dan pembelajaran ke taraf yang lebih bermutu, dalam kurun waktu lima, tujuh, atau sepuluh tahun sekali kurikulum wajib diremajakan dan itu telah dilaksanakan. Dengan demikian, sebanyak 13 kurikulum dengan bentuk dan karakter yang berbeda telah diberkalukan di Indonesia. Tiga di antaranya kurikulum sebelum merdeka dan 10 kurikulum pascakemerdekaan, dimana yang terakhir atau yang sedang berjalan saat ini adalah kurikulum 2013. Pergantian demi pergantian kurikulum ini berdalih kepada perkembangan zaman. Artinya, penyesuaian kurikulum harus selalu mengikuti arus peradaban yang berkembang sesuai dengan zamannya itu. 

Kreativitas pembaharuan strata kurikulum memang senantiasa dikukuhkan setelah dilakukan evaluasi terhadap berhasil tidaknya kurikulum sebelumnya. Tujuannya adalah agar kurikulum yang akan dijalankan itu akan memiliki hierarki yang lebih dekat dan lekat dengan kebermaknaan dan kebutuhan masyarakat. Dengannya diharapkan pendidikan dapat dijalankan seoptimal mungkin dan tujuan pembelajaran dapat dicapai semaksimal mungkin demi kepentingan anak-anak bangsa. Namun. ...bagaimana kenyataannya? Di balik paradigma penyesuaian kurikulum, pengentasan buruknya mutu pendidikan sampai saat ini masih memprihatinkan. Anehnya ..., yang menjadi sasaran negatif rendahnya mutu pendidikan di negara carut-marut ini selalu dipundakkan kepada guru selaku penggerak dan penggebrak kreativitas dalam pendidikan dan pembelajaran. Etiskah...? Apakah hanya profesi guru saja yang menjadi pelaku dan pewaris pendidikan di dunia ini sehingga sasaran keterpurukan mutu pendidikan terus saja dialihkan kepadanya?

Ingatlah, bahwa perkembangan dan pengembangannya tidak semulus yang diinginkan, termasuk kuikulum 2013 sebagai kurikulum mutakhir yang lebih menitikberatkan pada pendidikan karakter. Apalagi banyak kendala yang terungkap di lapangan. Lalu, bagaimanakah dengan kurikulum yang akan diujicobakan sebagai kurikulum baru 2022? Substansi apa sajakah yang dikembangkan dan diaplikasikannya pada sekolah ujicoba melalui kurikulum baru itu? Bagaimanakah kesiapan dan persiapan lembaga pendidikan yang akan ditawarkan penerapan kurikulum baru tersebut? Dapatkah kurikulum baru tahun 2022 benar-benar menjadi penyuluh yang tepat bagi dunia pendidikan? Bahkan, sehaluan dengan akan lahirnya kurikulum baru mungkin masih banyak pertanyaan lain yang terngiang di benak kita selaku pelaku pendidikan. 


Hijrahnya Kurikulum

Sebelum kita memasuki Lingkup Kurikulum Baru 2022, sejenak kita berkaca kembali pada kurikulum 2013. Kalaulah kita perhatikan dengan cermat, kurikulum itu memiliki fungsi yang unik, yang dapat diibartakan bagai sebuah auto atau kendaraan pada sebuah perusahaaan atau sebuah lembaga. Sebagai "kendaraan" tentu harus dijalankan untuk sarana transportasi guna mencapai tujuan.  Di sini guru bertindak sebagai sopir, siswa sebagai penumpang, dan tempat yang dituju sebagai tujuan daripada pendidikan. Sementara itu, indikator alat tempuh yang digunakan selama ini dalam kurikulum 2013 adalah kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD), baik KD pengetahuan maupun KD keterampilan. Dalam perjalanannya pasti menoreh kendala-kendala dan inilah yang dinamakan dengan proses pembelajaran, yang kemudian segala kendala tersebut diperbaiki dalam sebuah bengkel, yaitu pelatihan-pelatihan ke arah perbaikan implementasi kurikulum itu sendiri.

Sebagaimana kita maklumi bahwa Kurikulum 2013, atas persetujuan DPR saat itu, Mendikbud Muhammad Nuh dengan gerak cepat kurikulum ini mulai diimplementasikan 15 Juli 2013 pada sekolah sasaran sebanyak 6.325 sekolah yang ada di Indonesia, dengan menelan biaya miliyaran rupiah. Sekolah-sekolah dimaksud adalah sekolah eks RSBI dan sekolah berakrediasi A. ( Muzamiroh (2013:139).

Di awal-awal penerapan terdapat beberapa daerah yang mengundurkan diri untuk melanjutkan kurikulum 2013, kembali menjalankan kurikulum lama (KTSP) dengan berbagai pertimbangan. Hal itu merujuk kepada aturan main yang memperbolehkan lembaga pendidikan menggunakannya. Dua tahun kemudian, kurikulum 2013 diberlakukan secara serentak di seluruh pelosok Indonesia, sehingga daerah-daerah tersebut juga harus menyesuaikan diri dengan daerah yang telah melakukan sebelumnya. Namun, kendala demi kendala dalam penerapannya tak kunjung redam, baik itu tenaga pendidik yang tidak mendapat pelatihan, sarana-prasarana yang serba minim terutama daerah-daerah pelosok maupun sistemnya yang kurang bersahabat, dan masih banyak kendala lainnya.

Belakangan, kurikulum baru beberapa kali dimunculkan melalui media soasil. Berita-berita tersebut kiranya bukan sekadar hoaks karena sumbernya dari jajaran pemerintah. Apakah yang menjadi background manifestasi lahirnya spesies baru bagi kurikulum pendidikan? Mari sejenak mengikuti alur berikut. 


Kurikulum Baru 2022 sebagai Pemulihan

Belakangan ini melalui media sosial, penulis mencermati adanya semacam wacana untuk memberlakukan kurikulum baru 2022 sebagai pengganti kurikulum 2013, yang telah berjalan selama delapan tahun dengan bermacam problematika di dalamnya. Berita wacana pergantian kurikulum baru sebagai tawaran bukan datang dari sembarang sosok, tetapi justru hal itu dipublikasikan sendiri oleh orang nomor satu dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini, yaitu Mendikbudristek, Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, 1 Desember 2021. Selaku pelaku pendidikan dan pembelajaran, bahkan elemen-elemen lainnya termasuk masyarakat di dalamnya, tentu hal itu tidak meragukan lagi terhadap berita yang disampaikannya. Mungkin, yang ada di benak kita bagaimana substansi dan karakteristik daripada kurikum itulah yang menjadi tanda tanya. Apakah pendidik dan tenaga kependidikan juga akan mengalami tugas serta beban yang sama dengan kurikulum 2013? Hal-hal semacam ini akan membungkam di dalam jiwa kita sampai dengan lahirnya kurikulum baru 2022 yang kian di ambang pintu. 

Dalam upaya meremajakan kurikulum tersebut, Mendikbudristek, Nadiem Makarim menyatakan bahwa "Kurikulum baru yang akan ditawarkan pada 2022 merupakan bagian dari pemulihan pembelajaran akibat learning loss di masa pandemi covid-19. Hanya saja sekolah tidak dipaksa untuk menggunakan kurikulum itu. Setiap sekolah yang ingin mencoba kurikulum baru atau masih ingin memakai kurikulum sekarang ini, pilihan ada pada sekolah tersebut", https://www.detik com, 03 / 12 / 2021, diakses 5 Desember 2021 pukul 15.00 WIB. 

Inti dari pernyataan orang nomor satu ini mengenai kurikulum baru 2022 adalah sebagai kurikulum tawaran dalam kerangka memperbaiki pembelajaran yang tak karuan di masa pendemi. Itu pun bagi sekolah yang bersedia menjalankannya, dan bagi yang tidak, tetap menjalankan roda pedati yang lama di bawah payung 2013. 

Nah..., draf atau rancangan kurikulum baru yang akan ditawarkan pada tahun 2022 sampai saat ini belum kita ketahui performanya. Bahkan, tawaran ini menurut rencana hanya ribuan sekolah saja, sementara yang lainnya tidak. Nantinya, perlahan-lahan kurikulum baru ini akan diberlakukan secara bertahap, dan di dalam petualangannya itu akan tetap diteropong dan dievaluasi. Dengan begitu, nantinya semua sekolah akan menerima dan mengimplenentasikan kurikulum baru dimaksud tanpa tuntutan yang berarti. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mendikbudristek dalam situs yang sama lebih lanjut bahwa "Kita akan melakukan secara bertahap, secara tenang dengan kemerdekaan full sekolah dan tanpa paksaan. Dalam waktu dua tahun ini akan dilakukan monitoring dan observasi". 

Perlahan tapi pasti..., itu adalah program pak Menteri. Lantas.,..bagaimana di lapangan nantinya sebagai penyalur dan pengguna inspirasi ini? Mungkinkah bayangan kurikulum baru akan menjadi "obat jerih pelerai demam" bagi dunia pendidikan yang telah mengalami kemerosotan selama dua tahun lebih? Dapatkan hal itu sebagai statement penyuluh yang mampu memberi penerangan bagi pendidikan kita ke cuaca yang berbinar-binar? Jalan tol atau jalan berlubangkah yang akan dijalani figur pendidikan dengan adanya perubahan dan pembaharuan kurikulum nanti? 

Seirama dengan hal-hal di atas kita semua berharap dengan lahirnya kurikulum baru  tidak akan menjadi polemik baru pula bagi lembaga pendidikan. Mengapa demikian? Ekspreiens pengimplementasian kurikulum 2013 berbuntut tragis. Karakter anak bangsa yang lebih diutamakan dalam kurikulum dimaksud, ini pulalah yang membuat urat leher jadi tegang. Melalui aplikasi kurikulum 2013, bermacam upaya yang dilakukan guru untuk mengubah karakter mereka. Bahkan, kalau kita perhatikan  dengan cermat, melalui pelatihan singkat sang Cek Gu ini harus bekerja keras guna merampungkan program pembelajarannya.  Hal itu tidak hanya dilakukan di sekolah tetapi juga di rumah sampai larut malam, yang kadang kala, saat meracik suatu rencana, keluarga pun tidak sempat dipikirkan demi putra-putri harapan agama dan bangsa ini. Kemudian, program demi program disosialisasikan melalui unjuk kerja di lembaga pendidikan kebanggaannya. Guna mewujudkan harapan, bermacam strategi dan metode diterapkan, namun akhirnya "perasaan kecewa" yang dirasakan. Perubahan memang terjadi tetapi tidak optimal. 

Sebagai sampel minimal, di sini penulis hanya mengetengahkan dua perilaku buruk anak-anak bangsa yang kian meraja lela, yaitu kurang disiplin (terlambat) dan merokok di sekolah. Untuk mengantisipasi perilaku negatif ini, bermacam pendekatan dilakukan oleh pihak sekolah agar mereka menjadi jiwa yang runut, yang pada akhirnya akan menjadi harapan orang tuanya. Namun, pendekatan demi pendekatan hanya sebatas "menegakkan benang basah" rasanya. Yang merokok tetap merokok dengan berbagai siasat dan yang terlambat juga seperti itu. Kondisi ini, gurukah yang bersalah ...? Memang, ini  sudah menjadi standardisasi masyarakat dengan suatu semboyan fulgarnya "Anak yang berhasil dalam pendidikan itu siapa orang tuanya, dan anak yang gagal itu siapa gurunya". 

Pengalaman lawas sebagaimana dipaparkan dalam uraian di atas kiranya tidak akan terulang dengan adanya penerapan kurikulum baru tersebut. Untuk itu, sebelum kaidah auto pendidikan baru diluncurkan ke tengah publik, kiranya para tim pengembang kurikulum sudah demikian teguh memikirkan kebermaknaan dan kebermanfaatan program bagi pengguna dan penerima ahsilnya nanti. Termasuk di dalamnya, kemudaratan-kemudaratan yang mungkin terjadi, ini harus sudah matang di dalam jiwa pengembang kurkulum. Keraguan seperti ini begitu cepat terungkap jauh sebelum kurikulum itu dimanifestasikan. Ini sebagaimana diutarakan anggota Komisi X DPR RI, Adreas Hugo Pareira, bahwa "mengkhawatirkan ruang keleluasaan untuk memilih menggunakan kurikulum baru atau tidak, bisa menyebabkan ada sekolah yang tertinggal. Sementara solusi yang diberikannya adalah "Harus ada endorse bagi yang belum siap, kalau tidak akan terjadi gap yang makin besar antara sekolah mampu dan tidak mampu. Harus ada treatment juga agar sekolah-sekolah ini sam", https://www.detik com, 03 / 12 / 202/. Diakses 7 Desember 2021, pukul 21.00 WIB.  

Sebagai sebuah trik dalam rangka menyembuhkan penyakit dalam tubuh pendidikan dan pembelajaran, pemerintah yang dalam hal ini melalui Kemendikbudristek, kurikulum yang akan disuguhkan nantinya adalah bertsifat minim materi. Sehingga, dengan begitu diharapkan pengamalannya akan lebih terarah. Rahasia ragangan kurikulum ini dinyatakan oleh Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo bahwa "Kurikulum 2022 tersebut akan berfokus pada materi yang esensial dan tidak terlalu padat materinya".

Sebagai ujung tombak dalam pendidikan, pihak sekolah dan jajarannya tentu tidak henti-hentinya bermunajad agar dengan lahirnya aturan baru ini akan dapat menjadi "herbal, prisai, dan tonggak" yang ampuh bagi dirinya di dalam menjalankan, memenej, dan mengayomi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Solusi Kuno Sarat Makna

Guna membawa pendidikan dan pembelajaran ke arah yang lebih bermartabat, yang dapat mengubah serta memperbaiki karakter anak-anak bangsa dalam ranah kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, serta kecerdasan intelektualnya, maka perlu direnovasi kembali solusi kuno yang sarat makna. Mengapa dikatakan kuno? Menurut retensi penulis, jalan mulus yang telah terukir secara membuming di era-era 1980-an dan 1990-an ini, kini telah menjadi hutan belantara dan hanya satu jalur yang berfungsi secara superlatif, sehingga segalanya berharap "Three in one" pada jalur tersebut. Padahal, kalau kita cermati semua 'tokoh utama' ini  telah mampu memimpin pendidikan dengan baik. Apakah sebenarnya solusi kuno tersebut? Itu tidak lain adalah memberdayakan TRI PUSAT PENDIDIKAN sebagamana sedia kala dengan aktivis utamanya memiliki power yang luar biasa. 

Pertama, rumah tangga. Rumah tangga adalah pusat pertama dan utama setiap insan meneguk pendidikan. Dalam hal ini, orang tua merupakan aktor yang memiliki super power di dalam lingkungannya. Orang tualah yang membuat fondasi pendidikan kepada putra-putrinya guna menjadi generasi yang tangguh di dalam menghadapi berbagai arus kehidupan. Jika fondasi lemah, maka komponen-komponen yang lainnya akan sulit disandarkan kepada mereka. Mereka tidak akan mampu memilih dan memilah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Jangankan untuk diberikan kepada orang lain, untuk diri sendiri pun carut-marut. 

Kahadiran orang tua sebagai motivator eksternal utama dalam dunia pendidikan adalah suatu kewajiban yang tidak boleh dikesampingkan. Akan tetapi, dewasa ini banyak pemilik generasi ini mengabaikan tugasnya. Seolah-olah setelah anaknya diserahkan ke bangku pendidikan, kewajiban mendidik pada dirinya pupus sudah, segalanya diserahkan kepada pihak sekolah untuk menanganinya. Jika mendapat panggilan orang tua untuk mengklarifikasi suatu masalah yang dialami anaknya, tidak jarang kita temui yang datang ke sekolah, maaf kalau bukan pembantu mungkin tetangganya, yang mungkin kurang paham terhadap aturan dan tatakrama pendidikan sekolah. Dalam hal ini hanya sedikit sekali yang orang tuanya langsung menanganinya. Alhasil, kadang-kadang tidak tertutup kemungkinan terjadi gap antara pihak sekolah dengan orang tua si anak.  Apabila sudah buntu, maka mediasi Komite sekolah ikut terlibat di dalamnya. 

Untuk menyonsong kurikulum baru 2022, kerjasama orang tua dengan pihak sekolah secara sinergi adalah hal yang mutlak. Sikap acuh tak acuk apalagi mengabaikan sudah bisa ditanggalkan. Kalaulah sosok orang tua yang insaf dan sayang kepada buah hatinya, tentu dalam kondisi bagaimana pun tetap peduli terhadap keberlangsungan pendidikan putra-putrinya, kapan dan di mana saja dia berada. Oleh karena itu, perlu adanya semacam pembaharuan perilaku dan persepsi di pihak orang tua agar selalu seayun-selangkah dengan dua pusat pendidikan berikutnya.

Kedua, sekolah yang dimotori oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai orang tua kedua bagi sang generasi, sudah selayaknya guru berkiprah di lingkup lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta. Dengan berpayung hukum pada kurikulum yang berjalan, sang pendidik, pengajar, dan pengayom ini senantiasa merealisasikan tenaga, pikiran, dan perasaannya ke arah pencapaian tujuan yang diharapkan. Namun, dalam meningkatkan kinerjanya, diakui atau tidak, sebagai makhluk baharu kelemahan pasti terjadi. Dalam hal ini, guru bukan ensilkopedi berjalan, yang tahu segala-galanya. Mungkin di satu sisi lemah, tapi di sisi yang lain muncul dengan sigap. Oleh sebab demikian, dalam upaya menyikapi munculnya kurikulum baru 2022, pendidik dan tenaga kependidikan harus bersikap positif dengan kesiapan dan persiapan yang tangguh agar pemulihan pembelajaran dapat tercipta dengan baik. Dalama hal ini sudah barang tentu tidak terlepas dari perhatian dan bantuan serta support dari orang tua si anak beserta masyarakat.

Ketiga, masyarakat. Sesungguhnya, peran masyarakat untuk memajukan pendidikan juga sangat menentukan. Tanpa adanya masyarakat, lembaga pendidikan akan sepi dari perhatian. Pantauan, kritikan konstruktif, dan pandangan-pandangan yang linear terhadap sepak terjang pendidikan biasanya juga lahir dari diri masyarakat. Bahkan, sesewaktu bantuan yang bersifat finansial pun merupakan hibbah dari pihak masyarakat. Namun, selama ini pusat pendidikan yang ketiga ini, yang aktornya masyarakat, lebih untung mengambil posisi "diam di tempat". Secara kondisional, mereka bukannya tidak peduli terhadap ulah-tingkah para peserta didik yang kadang kala bukan pada tempatnya, tapi hal itu semua dikarenakan aturan global yang membenturnya. Jika pun dipaksakan,  dikhawatirkan buntutnya harus berhadapan dengan aturan hukum. Jadi, segala panorama negatif, doa adalah salah satu kiat atau ikhtiar dalam diri masyarakat yang memperhatikannya. 

Memasuki era baru dalam kurikulm yang akan ditawarkan tahun 2022, semangat juang masyarakat terhadap hiruk-pikuk pendidikan perlu dibangkitkan kembali. Untuk kepentingan ini, kiranya adanya semacam payung hukum yang dapat dijadikan prisai oleh masyarakat, sehingga keterlibatannya secara berkolaborasi dengan dua pusat pendidikan  dimaksud akan menjadi ibrah  yang selalu ditunggu kehadirannya. 

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Bahwa kurikulum baru 2022 akan diujicobakan sebagai tawaran pada sekolah yang ingin ingin menjalankannya.

2) Bagi sekolah yang belum siap menerima kurikulum baru 2022 masih tetap menjalankan kurikulm 2013. 

3) Treatment pemberlakuan kurikulum baru 2022 diharapkan dapat menjadi salah satu resep dan penyuluh bagi keterpurukan pendidikan dan pembelajaran selama ini.

4)  Guna memberdayakan kurikulum baru 2022, kiranya tri pusat pendidikan (orang tua, tenaga pendidik dan kependidikan, dan masyarakat) harus berjalan secara harmonis, karena  itu semua menunjukkan mata rantai pendidikan yang tidak boleh diputuskan, baik sengaja atau tidak.

Mungkinkah semua itu akan terwujud...? Wallahu a'lam bishawab...!


Bibliografi

Muzammiroh, Mida Latifatul. 2013. Kupas Tuntas Kurikulum 2013. ...: Kata Pena

https://www.detik com, 03 / 12 / 2021, diakses 5 Desember 2021 pukul 15.00 WIB.

https://www.detik com, 03 / 12 / 202/. Diakses 7 Desember 2021, pukul 21.00 WIB.  



Penulis adalah Staf Pengajar  pada FKIP  Umuslim Bireuen












Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar