Mengikis Kebiasaan Buruknya Menulis, Siswa dan Mahasiswa



Mengikis Kebiasaan Buruknya Menulis,  Siswa dan Mahasiswa

Oleh : Marzuki Umar, M.Pd.

sastrapuna.com - Menulis adalah bagian rutinitas siswa dan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di berbagai jenjang dan perguruan tinggi. Aktivitas menulis yang dilakukan itu  berkaitan erat dengan materi pembelajaran yang diterima dari guru dan dosen pengampu mata kuliah sesuai dengan jurusannya masing-masing. Walaupun kadangkala sesewaktu dapat menyita waktu, namun pekerjaan menulis tidak boleh ditinggalkan sama sekali oleh peserta didik ini sungguhpun dalam perasaan mendongkol. Mereka harus menata dan meniti segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya selaras dengan beban ajar yang diikutinya. Bahkan, pekerjaan menoreh hitam di atas putih ini pun tidak hanya dilakukan saat berada di lembaga pendidikan kebanggaannya tetapi juga harus dikembangkan dan diselesaikan kembali di rumah atau tempat kos sampai larut malam. 

Sejatinya, perbuatan menulis tidak boleh dikesampingkan sama sekali oleh para siswa dan mahasiswa karena hal itu merupakan bagian dari literasi. Lantas, apa sajakah yang menjadi objek tulis sehingga aktivitas menulis tidak boleh dinafikan? Untuk mejawab pertanyaan sepele ini, penulis sejenak mereview kembali masa lampau di kala menjadi siswa dan mahasiswa. Adapun objek tulis yang harus dituntaskan saat itu antara lain adalah catatan materi dan  tugas,  baik tugas  individu maupun kelompok. Jumlahnya tak terhitung, sesuai dengan materi ajar yang disuguhkan. Penataannya mulai dengan kalimat-kalimat pendek sampai dengan kalimat-kalimat yang panjang, dan tidak tertutup kemungkinan sampai berbentuk karangan mini dan karangan lengkap. Semuanya itu harus penulis  selesaikan dengan tulisan tangan. Nah ..., pengalaman ini tentu masih dialami oleh para siswa dan mahasiswa masa kini. 

Zaman berganti zaman, sampailah pada era komputerisasi. Namun, secara umum penyelesaian catatan dan tugas sebagaimana telah dipaparkan di atas, masih tetap dilakukan peserta didik dengan menggunakan tulisan tangan sampai detik ini. Pulpen selalu menjadi sahabat sejati, yang senantiasa mendampinginya saat pencinta ilmu ini berada di meja tulis. Bila hitungan pekerjaan yang wajib ditulis saat itu lumanyan banyak, maka alat tulis ini pun harus disediakan sampai dua atau tiga unit. Dengan demikian, penyelesaian tugasnya dapat berjalan dengan lancar.

Hari berganti hari, rutinitas menulis pun tak kan berhenti, sampai-sampai para siswa dan mahasiswa mendapat sertifikasi. Mereka terus menulis dan menulis sejalan dengan kebutuhan dan arahan yang didapatkannya. Berbekal bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi tulis, pembuka jendela dunia ini terus saja membahasakan sesuatu dalam bentuk karya-karya nyata melalui tulisannya itu. Namun, apa yang terjadi? Disadari atau tidak, kebiasaan buruk menulis tergambar dengan nyata di sisi dan celah-celah karya tulis dimaksud. Hal tersebut terindikasi dengan penerapan beberapa komponen, yang seharusnya tidak boleh muncrat sekaligus tidak boleh terlibat di dalamnya. Hal-hal yang menjadi kebiasaan buruk dimaksud antara lain: 1) penggunaan stipo, 2) penetapan simbol y aksen pengganti kata "yang", 3) penataan tanda-tanda baca secara mana suka, 4) penulisan jarak antarkata semrawut, dan 5) penggunaan simbul /xx/ penanda perulangan. Bahkan, mungkin masih banyak hal lain yang tidak diungkapkan dalam tulisan ini. Dikhawatirkan, aktivitas keliru ini akan terus dijadikan solusi serta payung hukum di dalam menulis, mulai dari catatan kecil/ringan sampai-sampai mengikuti pelombaan yang berwujud tulis.

Untuk menjaga keajegan dan kelestarian tulisan sekecil atau seringkas apa pun sebagaimana tertera di atas, siswa dan mahasiswa perlu memikirkan terlebih dahulu dengan khidmat. Perlakuan secara sembrono akan berakibat fatal. Di samping itu, guru dan dosen (maaf bukan maksud menggurui) alangkah bahagianya jika tidak membiarkan mereka tersesat dalam tulisannya sendiri, baik disengaja atau pun tidak. 

Ranah Kekeliruan Sepele Menulis dan Solusinya

Sebagaimana telah tersampaikan pada bagian sebelumnya bahwa sampai hari gini masih juga terjadi kekeliruan dalam menulis. Hal ini mungkin tidak hanya terjadi dalam satu atau dua kali tetapi menjadi keseringan, yang seolah-olah kehadiran rujukan atau petunjuk menulis hanya sebatas basa-basi. Lalu, apa yang terjadi dalam diri mereka? Mari memasuki ranah kekeliruan menulis siswa dan mahasiswa berikut ini. 

Pertama, siswa dan mahasiswa lazim menggunakan stipo. Penggunaan stipo menjadi suatu trendi tersendiri bagi para generasi yang masih duduk di bangku pendidikan. Terlebih keunikan model stipo yang cukup beragam dan mempesona dengan harganya terjangkau, konon tempat penjulannya pun mudah digapakan, persahabatan dengan si putih ini pun tak terelakkan. Dengan demikian, stipo ini senantiasa dijadikan tameng dalam menyelasikan tugas menulis guna menghilangkan atau menutupi kata-kata ataupun kalimat yang dianggap keliru. Bahkan, alat pelebur kesalahan tanpa petunjuk ini kian dijadikan patner bersamaan dengan alat tulis lainnya dalam aktivitas menulis. Dengan begitu, pemilik tulisan merasa bahagia karena kesalahannya telah terhilangkan. Padahal, kalau diperhatikan dengan baik, olesan stipo ini adalah sikap keliru di atas keliru di dalam tataran tulis. 

Mengapa demikian? Kemunculan alat timpa (stipo) dalam suatu tulisan bagaikan memancing di air keruh. Penulis (siswa/mahasiswa) ingin maraih nilai atau penghargaan di atas kekeliruan yang dimanfaatkannya. Padahal, penjelmaan si putih di atas putih dengan dalih lari dari kenyataan, adalah perbuatan yang keliru. Calon literat ini akan mengundang kecerobohan kerja bagi dirinya sendiri, tidak hanya saat itu tapi justru akan bersahabat dengannya terus-menerus secara bersahaja. Mereka akan kecanduan bagaikan masyarakat candu akan Kopi Gayo, seolah tanpa meminumnya minimal sehari sekali, badannya jadi lemah-lesu. Demikian juga siswa dan mahasiswa yang kecanduan melahirkan tulisan dengan hiasan tetesan stipo, tanpa stipo goresan penanya jadi tak terhias layaknya. Ini menunjukkan salah satu upaya "pembunuhan karakter" pribadi mereka sendiri.

Memang, dalam menulis mungkin kesalahan penulisan adalah hal wajar. Apalagi jika Anda terhitung penulis pemula. Entah dari tanda baca, typo, atau kesalahan kata sambung. Namun, jika kesalahan kecil yang dilakukan berulang-ulang bisa jadi bumerang bagi si penulis. Nama baik yang sudah dibangun dengan susah, jika ada salah satu kata saja yang typo bisa menimbulkan kontroversi. https://penerbitdeepublish.com. Diakses, 27 November 2021, pukul 23 wib. 

Kutipan tersebut memberi bayangan negatif, utama sekali kepada penulis, bahwa membuntang tulisan dengan bantuan stipo merupakan malapetaka yang tak terhindarkan. Selain menjadikan dirinya ceroboh, namanya bisa tereliminasi bila berkompetisi, serta tulisannya pun tak kan kunjung rapi.   

Menyikapi hal dimaksud, lalu langkah konkret apa sajakah yang perlu digerakkan guna mengikis kekeliruan yang dianggap sepele itu? Lewat rubrik ini penulis menawarkan beberapa pendekatan yang sangat mudah dilakukan tanpa mengeluarkan dana serta energi yang banyak. Adapun pendekatan-pendekatan dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Pikirkan terlebih dahulu dengan jernih segala sesuatu sebelum dituangkan ke dalam tulisan.

2) Tulislah sebelumnya di kertas bantu atau kertas coret-moret.

3) Apabila sudah terlanjur dan ternyata salah, coretlah sekali saja secara horizontal di atas kata yang dianggap keliru, misalnya: Semalam dia membeli obat di apotik.

4) Hindari coretan itu dengan garis dua atau tanda silang /X/. Semalam dia membeli obat di apotik.    

5) Upayakan semaksimal mungkin agar stipo tidak menemani Anda di dalam menulis, kapan dan di mana saja.

6) Guru dan dosen dapat memberi sentuhan rohaniah agar para siswa dan mahasiswa tidak mengikutsertakan stipo saat beranjak ke lembaga pendidikan yang digelutinya.

7) Jika ketidaksengajaan membawanya, larangan penggunaannya tetap diberlakukan.

Konsep legal penanda kesalahan dengan satu garis horizontal dalam tisp di atas hanya berlaku seketika saja, bukan untuk berulang-ulang apalagi selamanya. Apabila dalam tulisan sebelumnya mungkin terdapat banyak coretan, maka secara perlahan perlu diminimalisir secara berangsur-angsur, sehingga lama-kelamaan kebiasaan buruknya menulis ini akan terkikis habis, tulisannya menjadi bersih dan rapi.  

Kedua, penetapan simbol / y aksen/ pengganti kata "yang". Ini termasuk suatu kekeliruan dalam menulis. Kebiasaan yang tidak diinginkan ini tidak hanya terjadi saat siswa/mahasiswa membuat catatan saja. Akan tetapi, buruknya menulis dengan menggunakan silmbol /y aksen/ menjamur pada hasil latihan dan tulisan yang lain, termasuk karangan-karangan yang bernas. Bahkan, momen ini kerap menjadi ajang kreasi yang dapat merusak tataran berbahasa tulis. 

Bila ada sesuatu yang diberikan guru atau dosen untuk diselesaikan ala tulis, secara manual tugas-tugas tersebut tetap dituntaskan dengan tulisan tangan. Supaya tugasnya itu terselesaikan dengan cepat, dengan menggunakan pikiran alam bawah sadar, bagian kata yang berwujud /yang/ senantiasa diganti dengan piranti /y aksen/. Penandaan tersebut tidak menjadi perhitungan negatif bagi dirinya dan seakan-akan suatu hal yang lumrah dilakukannya. Padahal, proses berbahasa seperti itu tidak dijumpai dalam literatur petunjuk berbahasa tulis. Kalaupun hal itu dianggap suatu langkah "cepat" dan "tepat", itu hanya bisa berlaku bagi diri si penulis. Misalnya pada saat mencatat materi yang didektekan supaya tidak tertinggal. Namun, pada waktu menyelesaikan tugas yang lain, pola tulis ortodok itu harus dikesampingkan. 

Perilaku tersebut dapat dinamakan dengan kesalahan berbahasa (error). "Error adalah kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang lain, sehingga itu berdampak pada kekuarangsempurnaan atau ketidakmampuan penutur. Hal tersebut berimplikasi terhadap penggunaan bahasa, terjadi kesalahan berbahasa akibat penutur menggunakan kaidah yang salah. http://file.upi.edu. Diakses 28 November 2021, pukul 21.00 wib. 

Jelaslah bahwa kesalahan berbahasa dapat berakibat fatal. Walaupun pernyataan tersebut merujuk kepada bahasa lisan, namun apa yang penulis utarakan di atas menunjukkan hal yang sama, yaitu error dalam berbahasa tulis. Alhasil sama sekali tidak menguntungkan bagi siswa ataupun mahasiswa, baik sebagai penutur maupun sebagai penulis. 

Apabila ditelusuri lebih lanjut, penggunaan /y aksen/ sebagai ganti penanda /yang/ hampir mirip/serumpun dengan jargon.  Bedanya adalah "jargon" menggunakan suku kata bukan huruf. Kedua sandi ini sebenarnya tidak boleh terjadi secara umum, apalagi dalam tulisan yang bersifat formal. Hal ini sejalan dengan pendapat Sabarti Akhadiah, dkk. (1988:89) dalam bukunya yang berjudul "Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia" yang menyatakan bahwa "Dalam tulisan yang formal untuk khlayak yang lebih luas lebih baik dihindari kata-kata yang termasuk "jargon". Istilah "jargon" mempunyai beberapa pengertian, di antaranya kata-kata teknis yang dipergunakan secara terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atau kelompok tertentu. Kata-kata ini kerap kali merupakan kata sandi/kode rahasia untuk kalangan tertentu (dokter, militer, perkumpulan rahasia)".                

  Untuk menjaga keasrian tulisan sebagaiamana diharapkan dalam tuntunan, apalagi bahasa yang bersifat formal, maka siswa dan mahasiswa harus selalu mawas diri dalam menulis, dengan menerapkan tiga langkah positif yang dapat digunakan secara gampang. Langkah pengikis kekeliruan tersebut adalah sebagai berikut.

1) budayakan menulis kata secara lengkap dan benar; 

2) hindari semaksimal mungkin penggunaan jargon yang tidak memiliki sumber yang jelas, khususnya penanda /y aksen/ sebagai pengganti kata /yang/; dan

3) buang jauh-jauh filosofi "yang penting gue tau"!


Ketiga, penataan tanda-tanda baca secara mana suka. Seperti diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal lima belas tanda baca. Tanda-tanda baca dimaksud adalah :1) Tanda Titik (.), 2) Tanda Koma (,),3) Tanda Titik Koma (;),4) Tanda Titik Dua (:), 5) Tanda Hubung (-), 6) Tanda Pisah (—), 7) Tanda Elipsis (...), 8) Tada Tanya (?), 9) Tanda Seru (!), 10) Tanda Kurung ((,,,)), 11)Tanda Kurung Siku ([...]). 12, Tanda Petik ("..."), 13) Tanda Petik Tunggal ('...'), dan 14) Tanda Garis Miring (/), serta 15) Tanda Penyingkat atau Apostof, Ade Hikmat dan Nani Solihati (2013:213-226). 

Dari lima belas tanda baca tersebut hanya beberapa tanda baca saja yang dominan digunakan dalam catatan atau latihan siswa dan mahasiswa, seperti: titik, koma, tanda seru, dan tanda tanya. Selebihnya jarang dan ada yang tidak pernah digunakan sama sekali. Hal itu tentu saja sesuai dengan kebutuhan dan maksud bahan tulis. Lalu ... apa yang terjadi? Tanpa merasa bersalah. penataan tanda-tanda baca ini diberlakukan secara mana suka. Artinya, penempatannya tidak sebagaimana yang diharapkan dalam aturan berbahasa tulis. Perhatikan contoh beriku ini!

Saat ini kami sedang di tugaskan mengarang  ,  dengan memperhatikan apa yang ada disekeliling kami  .  Masing-masing kami memilih salah satu benda  ,  yang tentunya benda itu adalah benda yang menyertai kami saat belajar  ,  baik yang kami bawa dari rumah maupun yang sudah ada di kelas .  Apa saja benda-benda itu  ?  Diantaranya tas , buku  ,  pensil  ,  pena  ,  stipo ,  papan tulis  , dan lain-lain  .  Setelah mentukan benda mana yang dipilih  ,  kami pun terus mengarang mengenai benda tersebut  .  Menjelang 30 menit kemudian  ,  karangan kami sudah siap  .  Kami segera mengumpulkannya  . 

Sekilas, contoh singkat di atas tidak ada yang janggal dan tidak perlu dipersoalkan. Akan tetapi, bila ditilik pada penataannya, terlebih ditijau dari sudut pandang ilmu menulis, sungguh itu termasuk ragam tulis yang keliru, khususnya pada penempatan tanda-tanda baca. Semua tanda baca yang tertuang dalam tulisan tersebut tidak diberikan pada posisinya. Tanda titik, koma, dan tanda tanya berada "di antara" kata dengan kata yang lain dalam gerbang yang jauh, bukan menjadi halte bagi frasa atau bukan menjadi terminal bagi sebuah kalimat. Walaupun tulisannya diwujudkan dengan tulisan tangan (tidak menggunakan IT), mustahil tanda-tanda baca itu tidak bisa digunakan dengan benar, dimana posisi yang sebenarnya masing-masing tanda tersebut seharusnya berada setelah huruf akhir kata yang mengikutinya. Nah, kalau strategi menulis semacam itu dipertahankan akan menjadi bumerang bagi si penulis (siswa/mahasiswa). Ingatlah bahwa rusak karsa karena kurang rasa! 

Guna menjadikan tulisan dimaksud menjadi benar tataran tanda bacanya, maka si penulis dapat mereproduksikannya seperti berikut ini. 

Saat ini kami sedang ditugaskan mengarang, dengan memperhatikan apa yang ada di sekeliling kami. Masing-masing kami memilih salah satu benda, yang tentunya benda itu adalah benda yang menyertai kami saat belajar, baik yang kami bawa dari rumah maupun yang sudah ada di kelas. Apa saja benda-benda itu? Di antaranya tas, buku, pensil,  pena, stipo, papan tulis, dan lain-lain.  Setelah mentukan benda mana yang dipilih, kami pun terus mengarang mengenai benda tersebut. Menjelang 30 menit kemudian, karangan kami sudah siap. Kami segera mengumpulkannya. 

Berkaitan dengan kesalahan pemerian tanda-tanda baca sepertri terungkap di atas, resep simpel yang dapat dimanfaatkan agar tulisannya terbebas dari kekeliruan antara lain sebagai berikut.

1) Si penulis harus meyakini benar bahwa penggunaan tanda-tanda baca yang bukan pada posnya akan membingungkan para pembaca di dalam memahaminya.

2) Berusahalah sedapat mungkin penanda batas itu nongol pada lokasi yang tepat!

3) Singkirkanlah peradaban menulis "yang penting siap, soal salah-benar nanti"! 

4) Istiqamahlah pada kebenaran tata tulis!

Dengan merealisasikan resep simpel ini, Insya Allah buruknya menulis secara perlahan akan terkikis, yang pada akhirnya keniscayaan menulis terpupuk dengan baik. 

Keempat, penulisan jarak antarkata semrawut. Tulisan adalah hiasan kata. Maknanya, tanpa adanya kata, tulisan tak kan lahir kapan dan di mana saja. Hal ini sering terjadi di saat menulis. Kekosongan kata-kata menjadikan komunikasi tulis terputus. Sang penulis bingung, tidak tahu dengan kata-kata apa ia harus menuangkan gagasannya. Akhirnya, ia terpaku dan terduduk dalam kekosongan jiwa. Sebaliknya, bila kiriman kata-kata mengalir secara teratur seirama dengan bongkahan ide, si penulis pun merasa bahagia karena ia dapat memproduksi karyanya itu sesuai dengan hasrat yang didambakannya. 

Tidak salah ibu mengandung bila tuntunan dijadikan sebagai payung. Namun, kadang kala harapan hanya tinggalah harapan. Karya-karya anak bangsa ini terjadi kesemrawutan yang tidak dapat dipungkiri. Spasi antarkata terukir secara tidak proporsional, yang membuat hasilnya itu jauh dari kebenaran. Semak belukar membingkai kata-kata yang tertera secara tidak karuan. Spasi kata ada yang dekat, ada yang jauh, bahkan ada yang lebih jauh lagi, sehingga kekosongan tempat (kertas) boleh jadi bisa digunakan kembali untuk menulis satu item di dalamnya. Problematika komunikasi tulisan tangan ini akan menjadi gap tersendiri yang musti dimusnahkan. 

Profesional analis tulisan tangan, Mita Rosette Taufik mengatakan "analisis tulisan tangan menjadi cara sederhana, praktis, dan cepat untuk mengetahui karakter dan potensi diri. Dengan begitu, seseorang terbantu untuk mengenali pola komuniaksi yang tepat. Pada akhirnya, seseorang bisa menganal orang lain lebih baik melalui cara yang disebut grafologi ini." https://news.kompas.com.read. Diakses 28 November 2021, pukul 22.00 wib. 

Kutipan di atas memberi isyarat bahwa bagaimana tingkah polah seseorang beserta kecakapan dan kemampuannya, itu dapat diperhatikan melalui tulisan tangannya. Bila tulisan tangannya tertata dengan rapi maka kepadanya dapat dijuluki sosok yang potensial. Namun, bila sebaliknya, maka kecakapan dan kemampuannya diragukan. 

Guna mengantisipasi ketidaktepatan penulisan antarkata melalui tulisan tangan, ada baiknya memperhatikan kiat-kiat berikut ini.

1) Milikilah ilmu grafologi dengan baik sehingga tulisan tangan termaktub indah bersahaja.

2) Gunakanlah kecerdasan emosional dengan tepat termasuk dalam menata spasi antarkata melalui tulisan tangan dengan baik.

3)  Benamkanlah "serampangan" dalam menulis agar tulisan tangan tidak merusak citra sang penulisnya.

Kelima, penggunaan simbul /xx/ penanda perulangan. Kekeliruan terakhir yang penulis eksplanasikan ini tidak kalah menarik daripada empat kekeliruan tulisan tangan sebelumnya, yaitu masalah penanda perulangan kata. Simbol /xx/ kian dijadikan sebagai atribut pertanda perulangan sebuah kata dalam menulis. Seakan-akan atribut ini merupakan salah satu kaidah yang bisa diimplimentasikan di dalam tulisan tangan, sehingga pembaca akan mengulang dua kali kata-kata yang diberikan label tersebut. Anehnya, simbol ini tidak hanya terjadi satu-dua kali, bahkan berkali-kali. Hal ini umumnya terjadi pada perulangan  murni atau seutuhnya. Pernyataan ini lebih kepada pengalaman penulis sebagai pengampu mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi.

Sungguhpun yang melegalkan simbol perulangan tersebut hanya sebagian kecil saja, namun kondisi ini akan berkibat fatal bagi pembaca, terutama yang kurang memahami aturan berbahasa. Dengan demikian, mungkin pembaca akan meniru kiat yang digunakan dalam tulisan tangan yang dibacanya, terutama masalah penanda perulangan kata dengan simbol /xx/. Untuk lebih tegas, mari memperhatikan contoh kalimat berikut ini dengan saksama.

a) Oleh karena sepeda motornya tidak terkunci, anakxx datang mengganggunya. 

b) Membaca adalah kiat memperoleh ilmuxx baru bagi pengembangan dirinya.

c) Mahasiswa sedang mencari bukuxx yang berkenaan dengan anotomi. 

d) Alatxx yang ada di laboratorium itu hanya sebagian kecil yang dapat difungsikan.

e) Kita harus mengikuti caraxx yang baik dalam menyusun kalimatxx agar tetap benar. 

Teknik pengulangan yang diperlihatkan dalam contoh kalimat di atas tentu akan dapat menimbulkan kontroversi makna. Apakah diucapkan atau diulang dua kali atau dua puluh kali. Indikasi ini dikarenakan tanda yang dikhususkan untuk mengulang kata adalah simbol /xx/, yang di dalam penulisan angka menurut tata bahasa dapat dikategorikan ke dalam rumawi kecil. Padahal, perulangan kata itu memiliki aturan tersendiri, yang dalam tata bahasa dinamakan dengan reduplikasi. 

Untuk mengikis kejanggalan perulangan kata dalam tulisan tangan sebagaimana diinformasikan di atas, siasat yang bisa dibangun antara lain sebagai berikut. 

1) Tulislah kata yang akan diulang sebanyak dua kali.

2) Bubuhlah tanda hubung (-) di antara dua kata tersebut sebagai penanda perulangan. 

3) Budayakanlah perulangan kata dalam tulisan tangan dengan cara-cara yang benar. 

Simplan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buruknya menulis siswa dan mahasiswa dalam menghasilkan tulisan tangan masih saja kerap terjadi. Kreasi semacam itu bukan hanya membawa petaka bagi diri si penulis tapi juga akan berdampak buruk bagi masyarakat pembaca. Kecerobohan, kecurangan, dan keculasan akan selalu mendampingi si penulis saat memanifestasikan tulisan tangan, sehingga dikhawatirkan ciptaannya itu akan digugu oleh genarasi berikutnya. Waspadalah ...!

Bibliografi

Akhadiah, Sabarti dkk. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Hikmat, Ade dan Nani Solihati. 2013. Bahasa Indonesia (Untuk Mahasiswa S1 & Pasca-sarjana, Guru, Dosen, Praktisi, dan Umum). Jakarta: PT. Grasindo.

https://penerbitdeepublish.com. Diakses, 27 November 2021, pukul 23 wib.

http://file.upi.edu. Diakses 28 November 2021, pukul 21.00 wib.

https://news.kompas.com.read. Diakses 28 November 2021, pukul 22.00 wib.


Penulis adalah Staf Pengajar pada FKIP Umuslim Bireuen

 


 


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar