Rutinitas senja itu sederhana namun mengikat: setelah berjibaku dengan kemudi di tengah lalu lintas kota yang kian menggila,
Warung Kopi "Senja di Kepala" menjadi pelabuhan sementara. Bukan semata mencari ketenangan, sebab hiruk pikuk di dalamnya tak jarang lebih ramai dari jalanan.
Lebih tepatnya, ini adalah jeda paksa, sebuah ritual yang entah bagaimana terasa perlu, seperti seorang perokok yang mencari nikotin setelah seharian menahan diri.
Espresso, pahit dan pekat, adalah teman setia dalam ritual ini, menemaniku menunggu sang surya menyelesaikan dramanya di ufuk barat, bergerak perlahan tiga puluh derajat seolah enggan meninggalkan panggungnya.
Sambil menunggu, kesunyian di kepala ini kuisi dengan tarian jari di atas layar ponsel. Kata-kata dirangkai menjadi puisi yang mungkin hanya singgah sekejap di linimasa, esai yang barangkali hanya dibaca oleh bot-bot media sosial.
Atau sesekali, sebuah cerpen seperti benang kusut yang coba diurai. Notifikasi dari berbagai platform digital Facebook, Instagram, WhatsApp berlomba-lomba menarik perhatian, layaknya anak-anak kecil yang berebut permen.
Pintu warung berderit menyuarakan kedatanganku, disambut oleh gelombang udara panas yang membawa aroma kopi bercampur asap rokok yang samar.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Kipas angin di dinding berputar lesu, menyerah dalam pertempuran melawan sisa-sisa sengatan matahari yang masih terasa memanggang.
Desain warung yang kuno, dengan meja kayu yang permukaannya lengket oleh sejarah tumpahan kopi dan bangku-bangku yang seolah mengeluh setiap kali diduduki, justru menambah kesan ramai dan sumpek.
Para pegawai kantoran, baru saja lolos dari labirin birokrasi, memadati setiap sudut. Mereka larut dalam obrolan, saling bertukar cerita tentang hari yang baru saja berlalu.
Sebuah kebiasaan yang banyak dijumpai di negeri ini. Topik pembicaraan pun beragam, mulai dari keluhan tentang cicilan rumah yang mencekik hingga analisis politik yang seringkali lebih spekulatif daripada faktual.
Sore itu, entah ilham dari mana, warung ini terasa lebih penuh dari biasanya. Jangankan mencari ruang untuk merenung, untuk sekadar menarik napas pun terasa seperti harus mengantri.
Pelayan datang dengan segelas espresso di tangannya, hitam legam dan mengepulkan aroma yang sedikit menenangkan.
Sendok kecil berdenting lembut saat kuaduk gula. Laptop di kursi sebelah menanti dengan sabar untuk dibuka. Seruputan pertama espresso bagai kejutan kecil, pahit namun membangkitkan indra yang mulai layu.
Urat-urat di leher terasa sedikit menegang, menandakan otak mulai aktif, bersiap menampung ide-ide yang mungkin saja sia-sia.
Terdakwa Jalanan
Tiba-tiba, sosok renta itu muncul di hadapanku. Bukan sekadar tua, tapi sangat tua, seperti buku sejarah yang halamannya sudah menguning.
Kemeja garis-garisnya tampak rapi, sebuah kontras menarik dengan keriput di wajah dan tangan yang terlihat rapuh.
Peci hitamnya dikenakan sedikit miring, menambah kesan unik pada penampilannya. Matanya yang sayu tiba-tiba menatap rokok filter di antara jariku.
"Boleh minta sebatang, Nak?" suaranya serak namun jelas.
Dalam benakku terlintas, "Kakek ini seperti datang tanpa permisi, langsung ke pokok persoalan. Mirip draf cerpen yang langsung menyajikan konflik tanpa membangun latar."
"Maaf, Kek, tinggal ini saja," jawabku, sedikit menyesal karena nada bicaraku mungkin terdengar kurang sopan.
Tanpa banyak bicara, kakek itu beranjak menuju etalase kecil tempat menjual rokok di dekat kasir. Aku menghela napas. Ada sedikit rasa bersalah menyelinap di hatiku.
Tak lama kemudian, ia kembali dan duduk tepat di hadapanku, sebatang rokok kretek tanpa filter kini terselip di jemarinya yang penuh urat.
Sisa espresso di cangkirku seolah memanggilnya. Aku mengamatinya dengan saksama. Pipinya yang kempot bergerak-gerak saat mengisap rokok, menciptakan bayangan aneh di wajahnya.
Waktu terus merayap, senja semakin pekat. Kakek itu tiba-tiba berdiri dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku memanggil pelayan untuk membayar pesananku. Angka yang tertera di nota sedikit berbeda dari biasanya.
"Ada tambahan, Pak. Itu kopi kakek tadi," kata pelayan sambil tersenyum tipis.
"Kakek yang mana?" tanyaku, sedikit terkejut.
"Ya, kakek yang duduk di meja bapak tadi. Sudah biasa dia begitu," jawab pelayan dengan nada maklum.
Aku keluar dari warung dengan perasaan campur aduk. Di teras, aku kembali melihat kakek itu. Ia menatapku tanpa ekspresi.
Rasa penasaran semakin menggebu. Mataku mengikutinya. Di depan warung, dua pria berpakaian mahal tampak berdiri di samping mobil mewah.
Mereka terlihat seperti pengusaha sukses. Kakek itu menghampiri mereka, membungkuk sedikit, dan mengulurkan tangan meminta sesuatu. Salah satu pria mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan memberikannya kepada kakek itu.
Kakek itu menerima uang itu dengan wajah datar, lalu mengucapkan sesuatu yang tidak jelas. Kemudian, dengan langkah yang tiba-tiba tegap, ia berjalan menuju sebuah motor matic keluaran terbaru yang terparkir tak jauh dari sana.
Ia menaikinya dengan lincah, menghidupkan mesin, dan melaju pergi, meninggalkan aku berdiri di sana dengan sejuta pertanyaan yang berputar-putar di kepala.
Siapa sebenarnya kakek itu? Mengapa Ia meminta rokok dan kopi, namun memiliki motor mewah? Dan mengapa para pengusaha itu memberinya uang dengan begitu mudah? Misteri senja ini terasa lebih pekat dari kopi espresso yang baru saja kuteguk.
Bersambung...
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar