Aku, Sekolahku dan Pemadam Kelaparan

Oleh : Sisca Vitaya, S.Pd.

Akan ku ceritakan padamu teman, salah satu pengalaman berhargaku di suatu sekolah dahulu.

Tak kuhitung tepatnya berapa banyak sekolah yang telah kulihat dan kudatangi di kota tempatku meraih ijazah bersampul hijau itu. Dari hanya sekedar membagikan brosur, mengawas Try Out, bahkan sampai sekolah yang tiap hari aku kunjungi untuk “show” di sana. Hingga suatu ketika, aku berkesempatan menjadi bagian dari keluarga besar sekolah itu. Akan kuceritakan padamu teman, bagaimana sekolahku saat itu. 

Sekolahku semula berpagar, namun sehari berselang, tidak lagi. Usut perkara ternyata angin adalah pelakunya.  Sekolahku juga memiliki kolam. Tapi tak seperti kolam indah yg mungkin pernah kau temui di salah satu sekolah favorit di kotamu. Kolam di sekolahku berada sekitar 8 meter di samping kantor dewan guru. 

Ah, lebih elok bila kusebut empang ketimbang kolam. Kuperkirakan ukurannya menyamai rumah 1 pintu dengan 4 kamar tidur, lengkap dengan garasi dan kamar mandi di masing-masing ruang kamarnya. Cukup luas bukan? Kolam itu dipenuhi oleh ekosistem empang pada umumnya. Tak pelak kau akan dapati bermacam-macam ikan di sana, belum lagi tumbuhan air yang aku tak tau namanya setinggi 1 sampai 2 meter yg nyaris menutupi pemandangan. 

Ah, baru kali ini kujumpai sekolah yg memiliki kolam ikan alami, benar-benar alami. Tak jarang warga sekitar datang dan memancing di sana. Yahh..dipekarangan sekolahku. Aku sungguh terkesima. Ternyata itu pemandangan yg biasa bagi mereka, namun sungguh tak biasa untukku. Bukan.. janganlah kau berpikir bahwa aku menganggapnya rendah kawan, aku hanya terkesima karena tak biasa.  


Lain waktu baru ku tau bahwa tiap kali hujan deras turun dimalam hari, esoknya para siswa akan ke sekolah dengan sendal. Yap..tanpa sepatu. Bukan hanya karena rumah mereka yang mungkin kebanjiran, namun keadaan sekolahku juga membuat sol sepatu tiap orang tenggelam hingga beberapa centimeter oleh lumpur, dan sepatuku tak perlulah kau tanyakan lagi, pastinya sudah beberapa kali ia mandi lumpur di sana. 

Ada pemandangan menarik saat itu, senin pagi saat upacara bendera. Saat semua orang khusyuk melihat merah putih dikibarkan bersenandung lagu Indonesia Raya, tiba-tiba saja 3 ekor kambing memasuki lapangan upacara, berpose tak jelas tanpa izin. Pastinya bisa kau tebak selanjutnya kawan, semua peserta upacara mengalihkan pandangannya ke pendatang baru yang sama sekali tak pernah mengecap pelajaran kewarganegaraan itu. 

Ahh..seketika aku ingin mengeluarkan telepon selulerku dan mengabadikan moment itu. Tapi, tak elok lah kupikir. Setidaknya aku pernah mengenyam pelajaran kewarganegaraan dulu untuk menghormati sang merah putih saat dikibarkan. Jadi, niat melakukan pendokumentasian ditengah upacara itupun ku batalkan. 

Sungguh tata letak yang sempurna untuk sebuah kantor dewan guru. Bagaimana tidak, di samping kantor bertengger kolam “empang” dan dibelakang kantor matamu akan melihat hijaunya hamparan sawah. Ya..sawah tepat dibelakang kantor, bahkan tanpa pembatas antara kantor dan area persawahan itu. 

Kata guru-guru di sana, itu sawah kita. Aku terkesima lagi. “Pemadam Kelaparan” alias kantin sekolah ada di belakang. Masih sebaris dengan area persawahan tadi. Jadi setiap “penghabisan uang jajan”, para siswa akan khusyuk menyantap makanan sembari melihat pemandangan sawah. 

Di kantin sekolahku, tak kan kau temui jajanan mahal ala jajan sekolah elit. Harganya pun sangat terjangkau. Tak usahlah kau takut lapar saat orang tuamu hanya mampu memberi jajan 3000 rupiah. Karena di sekolahku, dengan uang segitu kau sudah mendapatkan semangkuk penuh mie, lontong, atau nasi beserta air mineralnya. Waw..aku terkesima lagi.  

Waktu itu, Bapak Kepala Sekolah pernah berkata,”disini jangan heran, kalau nanti sewaktu masa panen banyak siswa yang tidak hadir lantaran turun ke sawah” dan aku yang mendengarnya hanya mampu tersenyum sembari berkata kembali dalam hati, “sungguh aku terkesima”.

Aihh…benar-benar sesuatu yang baru kujumpai saat itu. Lalu bagaimana dengan siswanya ? akan kuurai untukmu teman, dilain waktu. 


Editor: Muklis Puna 


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar