Pembacaan Puisi dalam Telaah Teori Sastra
Pertanyaan itu kini bersarang di otak penulis mengendus semua sudut dan menyatu dalam darah membelah rongga dada. Hampir dua hari setelah pertanyaan itu muncul penulis merasa kelimpungan mencari jawaban dari berbagai literasi yang ada.
Nah …! Berdasarkan ilustrasi di atas, penulis coba melepaskan penatnya jiwa ini pada dua bagian tulisan ini. Kedua bagian tersebut adalah bagaimana membaca puisi dan bagaimana menilai sebuah puisi ketika diperlombakan?
1.Pembaca Puisi
Pembaca puisi adalah individu atau kelompok yang menaruh minat besar terhadap susunan bait yang ditata dengan apik dalam bentuk padat hingga menyemburkan makna konotasi. Memvisualisasikan puisi dalam bentuk bahasa yang mudah dipahami oleh audien, seorang pemuisi dituntut mampu menginterpretasikan isi secara keseluruhan dalam bentuk bacaan yang dibawakan. Interpretasi merupakan roh dalam sebuah puisi. Jika interpretasi mampu diwujudkan oleh pemuisi, berarti pembaca puisi sudah masuk dalam bait -bait padat dan pekat yang mengantarkan segala citraan yang ada. Selain interpretasi, pembaca puisi harus memperhatikan vokal, artikulasi, pemahaman secara totalitas terhadap puisi yang dibaca.
Pembaca puisi yang punya jam terbang tinggi, biasanya lebih peka dalam memilih dan memilah bentuk dan jenis puisi yang dibacakan. Pemilihan tersebut disesuaikan dengan karakter suara yang dimiliki. Lalu muncul pertanyaan apakah orang yang menulis puisi yang indah sudah mampu membaca puisi secara benar? Jawabnya adalah belum tentu bisa membaca puisi, sebaliknya orang yang mampu membaca puisi dengan benar belum tentu mampu menulis puisi yang indah. Memang pada penerapannya puisi bukan hanya ditulis dan dibaca dalam hati, tetapi puisi juga dapat diekspresikan dengan bacaan dan diiringi musik.
Menurut Hasmudin W.S (2007:72 ) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pembaca puisi seperti berikut:
1) 1) Ekspresi atau mimik yang sesuai dengan topik puisi yang dibaca perlu menjadi pertimbangan bagi seorang pembaca. Jika puisi berkaitan tentang kebahagiaan, seorang pembaca puisi haruslah tersenyum,ekspresi yang penuh rasa bahagia. Sedangkan saat membaca puisi yang sedih, misalnya seorang pembaca puisi haruslah dengan mimik wajah sedih dan lebih baik jika diiringi dengan tangisan.
2 2) Kinestetik atau gerakan anggota tubuh harus disesuaikan dengan isi puisi yang dibaca. Diperlukan pemaknaan serta latihan yang kontinu untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan, dan,
3). Seorang pembaca puisi haruslah memiliki artikulasi yang baik. Kemampuan pembaca puisi dalam melafalkan sebuah kata, kejelasan vokal jelas menjadi poin penting dalam membaca puisi.
Baca Juga : Puisi Gelap dalam Pandangan Pembaca
4) Pembaca puisi yang baik mampu membaca puisi dengan intonasi yang sesuai, sehingga para pendengar puisi tersebut seakan hanyut dan terbawa emosi dalam puisi dan
3) Percaya diri tentu ini menjadi poin yang tidak kalah penting dengan keempat poin di atas. Membaca puisi diperlukan rasa percaya diri tingkat tinggi. Karena saat membaca puisi berekspresi secara mendramatisir. Sebagian orang tak mampu membaca puisi karena tidak memiliki rasa percaya diri saat akan membaca.
4 4) Konsep dan tata cara membaca puisi di atas harus diperhatikan oleh seorang pembaca puisi. Namun yang terpenting dari membaca puisi adalah pembaca puisi harus mampu menyampaikan rasa, suasana, nada dan amanat yang ada dalam puisi yang dibacakan kepada audien. Agar hal tersebut dapat disalurkan dengan baik, penulis berpikir membutuhkan tiga hal yaitu
1) Bagaimana seorang pembaca puisi mampu menyelami kedalaman sebuah puisi. Jika hal ini terwujud berarti proses membaca puisi dan hal yang dituntut oleh puisi akan terealisasi dengan baik melalui pembacaan yang tepat.
2) Pembacaan puisi adalah sebuah transformasi gejolak penyair yang dilakonkan oleh pembaca hingga sampai pada audien. Untuk mewujudkan hal ini dituntut adanya suatu proses senyawa antara tiga unsur yaitu unsur pembaca, puisi yang dibaca, dan audien. Seandainya ketiga hal tersebut membumi dalam suatu keadaan yang tepat, tidak dapat dibayangkan bagaimana apresiasi yang lahir dari audien dan dewan hakim yang menilai puisi.
S Selama penulis menjadi dewan hakim dalam berbagai even untuk tingkat kabupaten /kota. Hampir semua pembaca puisi latah. Artinya, mereka meniru gaya orang lain sebagaimana yang ada di youtube atau media sosial lainnya. Peniruan ini tanpa memperhatikan karakter puisi, tema, dan jenis suara yang dimiliki oleh pembaca puisi sehingga terkesan seperti pemaksaan. Padahal alangkah baiknya, jika pembaca puisi menjadikan dirinya pribadi-pribadi yang berkarakter dalam membaca puisi.
2. Penilai Puisi
Pertanyaan mendasar untuk membahas subjudul di atas adalah” Apakah pembacaan puisi dapat dinilai dan dikuantitaskan dalam bentuk skor dan angka? Pertanyaan kedua adalah bukankah puisi itu adalah produk karya sastra yang mempunyai nilai estetika? Nah apa sajakah indikator estetika sebuah karya sastra? Sementara sudah familiar dengan dunia seni bahwa estetika itu sesuatu yang relatif. Menarik…!
Jika bersandar pada pertanyaan -pertanyaan di atas mungkin penulis meramalkan sudah pasti tidak ada even-even tentang pembacaan puisi. Nah…! kembali ke subtansi masalah yaitu siapa sih yang berhak menguliti pembaca puisi dan memberikan skor -skor dalam rentang yang telah ditentukan oleh juknis dalam even? Dimotori oleh berbagai kasus dalam setiap penjurian masalah ini menarik untuk dikupas, siapa sih sebenarnya yang berhak menjadi dewan hakim dalam pembacaan puisi?
Setiap pengumuman hasil seleksi pembacaan puisi masih ada saja pihak pihak yang tidak puas dengan hasil yang diputuskan. Ujung- ujungnya dewan hakim selalu dijadikan sebagai kambing hitam dengan label yang beragam (tidak professional, tidak punya kompetensi, pengecut, dan terlalu subjektif)
Dewan hakim puisi adalah individu yang punya kompetensi, lihai dalam menulis puisi, cakap dalam membaca sesuai dengan kaidah membaca puisi. Status sosial yang diemban beraneka macam mulai dari orang biasa, akademik yang punya latar belakang sastra atau siapa saja yang memahami tentang puisi, walaupun belajar secara otodidak. Intinya mereka adalah pekerja sastra yang punya karya dan diketahui oleh publik, cakap membaca puisi ataupun sudah pernah menjuarai setiap lomba membaca puisi.
Ikuti Chanel Youtube :Negeri dalam Dupa dan Rupa
Seandainya ada di antara dewan hakim tidak cakap membaca puisi tapi mereka punya karya dalam bentuk kumpulan puisi itu juga merupakan unsur utama dalam menghakimi pembacaan puisi. Dengan demikian dapat ditarik benang merahnya adalah dewan hakim harus memenuhi syarat –syarat yang sudah disebutkan di atas yang meliputi kualifikasi pendidikan sastra, pernah menjuarai lomba baca puisi dan dapat juga dari pemerhati sastra.
Tanpa trik record yang telah dipaparkan di atas, sudah tentu akan menuai kontroversi pada saat keputusan dibacakan. Lalu apa sih yang perlu diperhatikan oleh dewan hakim puisi dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai juri meliputi hal -hal berikut. 1) Kedepankan profesional bukan emosional dalam menilai sebuah pembacaan puisi. Dalam hal ini menjauhi sifat subjektivitas cukup sulit dilakukan oleh dewan hakim, karena menilai sebuah wujud karya sastra yang punya nilai estetika tidak terdapat sebuah patokan yang baku. Jika pun muncul hal-hal di luar dugaan itu adalah manusiawi.
Gunakan segala pengetahuan kepuisian sampai ke mata batin sekalipun. Mendalami puisi yang dibaca membutuhkan konsentrasi yang ekstra. Mungkin menurut penulis lebih mudah menilai puisi yang ditulis dari pada pembacaan puisi. Mengingat ketika puisi yang dibaca semua audien menilai dan menebak siapa sebenarnya yang lebih bagus, walaupun pengetahuan kepuisian yang dimiliki oleh audien berbeda.
Tidak sedikit audien berceloteh di tengah suasana penjurian bahwa puisi yang dibacakan peserta cukup bagus dan tepat apalagi peserta sampai menangis darah… he..he (kadang puisi yang dibacakan tidak ada sedikit pun dituntut pembaca harus menangis…. Lucu!)
Selain itu, posisi dewan hakim juga mempengaruhi hasil akhir dari proses membaca puisi. Dalam even-even nasional biasanya posisi para dewan hakim dipisahkan antara satu dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias-bias pengaruh antara satu dewan hakim dengan dewan hakim lainya.
Baca Juga: Kepada Serdadu Lusuh
Penulis berpikir hampir semua dewan hakim yang ditunjuk punya iktikad baik yaitu untuk mencari bibit-bibit yang berkualitas demi masa depan sastra tanah air. Jika dewan hakim melakukan kesalahan, maklum mereka juga manusia. Sebaiknya jangan menghakimi hakim. Mari berbenah demi kemajuan perpuisian Indonesia.
0 Komentar