Menyambut Antologi Puisi " Hitam Putih Kehidupan di Bulan Kartini"

 


Sugiono MP

 Menyambut Antologi Puisi " Hitam Putih Kehidupan di Bulan Kartini" Sejarah sastra Indonesia didominasi penulis cowok. Ampe kini. Di era Balai Pustaka belum nongol sastrawati. Di zaman Pujangga Baru muncul Selasih (Kalau Tak Untung/1933, Pengaruh Keadaan/1937), Hamidah (Kehilangan Mestika/1935), Adlin Affandi (drama) dan penyair Maria Amin. Angkatan '45 sekitar tahun 50-an: Ida Nasution, Walujati, St. Nuraini, S Rukiah, NH Dini. Di Angkatan '66 ada Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Erni Suswati Hutoni, Titie Said, Enny Sumargo, Rayani Sriwidodo, Mira W, Marga T, La Rose, Poppy Hutagalung, Marianne Katoppo. Pada pra dan masuk era gawai ada Leila S Chudori, Dorathea Rosa Heeliany, Nenden Lilis Aisyah, Ayu Utami, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia, Fira Basuki, Ana Maryam, Ratih Kumala, Dewi Sartka, Ani Sekarningsih, dll.


Artinya, jumlah penulis perempuan belum seimbang dibanding pria. Padahal populasinya sama. Bahkan sensus 2020 merujuk 134,2  juta pria dan 137,2 juta perempuan (BPS). Ketimpangan juga terjadi di ranah olah raga, olah pikr (ilmuwan), olah politik/kenegaraan. 

Ini mengindikasi masih lekatnya budaya patriarki. Bahwa ketimpangan persamaan peran itu juga datang dari pola pikir dan pola sikap (tradisi) kaum perempuan sendiri, sungguhpun sudah zaman supermodern di tahapan masyarakat supercerdas berbasis IT, Society5.0 (sejak 2020). Sebagai contoh, puisi-puisi yang bertaburan menyambut Hari Kartini 2022 juga lebih banyak ditulis pria ketimbang wanita, seperti yang dinyatakan Mas Erry Amanda.

Maka, setiap lahir buku puisi dari rahim wanita harus kita sambut antusias sebagai bagian dari daya dukung dan dorongan ke arah pemajuan bangsa dan perwujudan budaya baru yang menzaman. Tulisan ini dalam konteks yang demikian. Lalu, dengan matra apa kita harus menakar kelahiran buku puisi? Yang jelas tidak ada perbedaan gender -- jadi tanpa apologia hanya karena karya wanita. Juga tidak ada ukuran pemula (baru mulai di dunia sastra), atau pun terminologi usia. Sastra tidak mengenal pendatang baru dan yang sudah bangkotan (junior-senior) atau klasifikasi usia (remaja, muda, dewasa, manula). Sastra ya "pure' sastra, tanpa membeda-bedakan. 

Ukuran yang diterapkan adalah kualitas karya. Tidak ada istilah baru mulai. Kartini, Anne Frank menulis umur 16 tahun, tapi sekali itu karya mereka langsung mendunia. Chairil Anwar memulai umur 20, mati 27. Karya-karya Rendra, Ajip Rosidi, sudah "moncer" waktu usia masih belasan tahun.Jadi, alat ukurnya ya sastra itu sendiri. Estetika. Rasa keindahan (indrawi, jiwani, rohani).

Memang, tren rasa estetika itu setiap zaman tidak sama. Stilistika sastra klasik tidak pas diterapkan pada era modern dan postmo, apalagi pada era informatika (global) kini, dan juga pada era masyarakat digital (robot humanoid). 

Betapa kita menulis sehebat apa pun dengan gaya dan pola Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah, HAMKA, tak akan mendapat apresiasi publik seperti mereka.Jadi, mari kita temukan gaya orisinalitas kita sendiri seirama zamannya. Maka seorang penulis perlu tahu tren budaya dunia agar karyanya tidak jadul.


Kondisi dunia dari 1990-an hingga kini ditandai oleh globalisasi, kekhawatiran tentang pemanasan global penyebab perubahan iklim, perang melawan tetorisme, pandemi, bencana alam, pertumbuhan populasi, dan yang teraktual Perang Ukraina yang dikhawatirkan akan bisa memicu perang dunia. Krisis ekonomi terbesar juga terjadi sejak depresi berat, resesi 2008, dan banyak orang kehilangan pekerjaan. Jadi, sastra kontemporer menerima semua pengaruh tersebut dan dipupuk oleh semua konteks baru itu. 

Menanggapi kebutuhan komunikasi publik, genre baru mulai bermunculan. Cyberpunk, postcyberpunk, novel fantasi baru dan kembalinya ke metrik serta penjungkirbalikan diksi puisi mengindikasi zaman baru ini. Memang situasi tersebut belum sepenuhnya termanifestasi pada sastra gawai di Indinesia, namun itulah pemetaan sastra mutakhir (kontemporer) dunia.

Dalam konteks era sastra mutakhir dunia yang demikian itulah, pada bulan Kartini ini, kita sambut antologi puisi tunggal "Hitam Putih Kehidupan" karya Tuti Susilawati, 44 th, yang sudah berpuisi sejak remaja. Beliau pendidik, guru, yang sendirinya mengemban tugas mengantarkan peserta didiknya untuk pergi melakukan hijrah dari budaya kegelapan ke titik cahaya pengetahuan lahiriah (sains) maupun batiniah (rohani). 

Puisi adalah jalan rasa estetika baik secara wadak (rasa keindahan indrawi) maupun secara jiwani (rasa keindahan emosi) serta rohani (rasa keindahan spiritual). Ia tak hanya bergelimang cahaya estetika semata, melainkan juga cerminan kadar intelegensia dan spiritualita penulisnya.

Sebab, jika dipilah -- walau sejatinya adalah kesatuan integtal, tak terpisahkan -- diksi (pilihan kata) dalam puisi bisa dibedakan antara wadah dan isi. Ibarat kemasan suatu zat, wadah harus disesuaikan dengan benda yang diwadahinya. Cairan tak mungkin diwadahi dalam kertas berpori. Gas pun demikian. Bahkan oksigen harus dikemas dalam tabung gas besi. Artinya, wadah sebagai alat bantu tempatan harus disesuaikan dengan jenis isinya. 

Dalam hal puisi, bentuk nonprosa sastra (tepatnya susastra, yakni sastra plus, sastra indah, seni ekapresi keberaksaraan -- sebab arti harafiah sastra adalah tulisan, atau huruf, aksara), wadah itulah yang disebut puisi. Ia berupa melodi, komposisi dari bunyi suku-suku kata dan nonkata yang dihasilkan oleh diksi. Sedangkan isi puisi yang terdiri dari paparan tematik dan pesan yang termakna dari diktif baik secara denotatif maupun konotatif. Teori ini belum lazim dan belum diajarkan di sekolahan, tapi demikianlah sejatinya.

Puisi dalam "Hitam Putih Kehidupan" ada  76 judul, 60 (79 %) berbentuk akrostik. Yakni puisi yang disusun secara vertikal dari rangkaian huruf awal atau akhir pada tiap lariknya, sesuai judul. Jenis ini sudah cukup tua. Akrostik berasal dari bahasa Yunani (akrostichis) dan Prancis (acrostiche). 

Berbeda dengan puisi modern yang membebaskan diri dari ikatan pola apa pun, akan menjadi.kikuk dan datar jika masih berpola akrostik. Namun kebebasan berekspresi nensahkan adanya. Tampaknya ibu guru kita ini merasa nyaman berakrostik. 

Artinya lebih suka mencari ekspresi bentuk ikatan ketimbang dalam bentuk kemerdekaan, keterbukaan. Padahal zaman now adalah era keterbukaan. Kebebasan. Bahkan tren dunia kesenian mutakhir adalah penjungkirbalikan kaidah-kaidah lama yang baku dan dianggap usang tidak menzaman.  Tetapi puisi tetaplah puisi. Sastra ya sastra. Yang utama berkadar estetika.

Namun demikian, sederhananya saja, terjemahkan puisi-puisi akrostik, tentu akan sama sekali bergeser dan sangat berpeluang keluar dari makna aslinya karena susunan huruf-huruf awal atau akhir akan berubah total.  Padahal dewasa ini di bumi sastra Indonesia mulai merebak dan bermekaran bibit-bibit penulis baru yang mendegupkan semangat memajukan sastra Indonesia ke pelataran dunia. Artinya, membuka jendela dan melongokkan aspirasi yang mengglobal sehingga mampu berkomunikasi dengan dunia secara universal. Nah demikianlah. Semoga sambutan ini mengetuk nurani publik sastra kita dalam memilih medium untuk mengekspresikan aspirasinya. -- yang merupakan bagian dari aspirasi manusia di bumi Tuhan -- secara kreatif. Salam sastra.


Penulis adalah Esais Nasional berdomisili di Bogor



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar