Keunikan Typografi dalam Puisi "Bibir dalam Jas Hujan" Karya Nanang Ribut Supriyantin

 











Oleh:

Muklis Puna


"Jangan kulitnya, tapi lihatlah isinya"

Sebuah ungkapan yang sering lalu-lalang dalam setiap pembicaraan. Ungkapan ini biasanya merupakan jurus terakhir bagi sebuah evaluasi secara komprehensif. Kulit sering kali menipu pandangan setiap individu. 

Misalnya, pembaca selalu beranggapan bahwa ketika menumpangi kendaraan dalam menempuh perjalanan berliku. Bahwa pohon- pohonan yang berada di samping jendela bus seolah sedang melakukan lomba maraton dengan bus yang  ditumpangi. Akan tetapi kasat mata ternyata hanya bus yang berlarian memburu tujuan kedatangan.

Pada waktu berlainan, coba masukkan sebatang pensil dalam wadah transparan berisi air. Fakta tatapan berbicara bahwa yang bengkok adalah pensil, bukan air sebagai penanggung akibat dari hal tersebut. 

Ternyata dari dua kasus di atas, mata dan pikiran yang menjadi penyebab utama yang menimbulkan kecurigaan terhadap permasalahan yang ada. 

Kasus- kasus di atas sangat cocok dilakapkan pada kumpulan puisi " Bibir dalam Jas Hujan" Karya Nanang Ribut Supriyantin. Ketika kumpulan tersebut diantar pos Indonesia ke kediaman  sore itu, penulis baru saja pulang dari bergelut dengan materi bentuk- bentuk puisi di tempat tugas. Perlahan penulis buka sampul kuning balutan kumpulan puisi yang maha hebat dengan saksama. 

Lembar demi lembar penulis baca secara liar, tanpa mempedulikan isi ,diksi, gaya kepenulisannya.  Penulis berpikir tak ada istimewanya puisi tersebut.  Ternyata setelah penulis mengulik kembali' pada malam hari saat penat sudah melayang dari jiwa.

Penulis mendapatkan hampir semua typografi dari puisi tersebut mempunyai keunikan yang khas sesuai dengan karakter berpikir penyair yang ditabulasikan di halaman sampul belakang buku. 

Bagi pembaca puisi yang masih menganut pola penuangan ide model dahulu kala, bentuk seperti ini merupakan sesuatu yang asing. Larik dan baris sudah dihempaskan penyair ke alam bebas. 

Susunan rima dan ritma juga disenyawakan dalam puisi yang berbentuk prosa. Hebatnya walaupun sudah ditulis layaknya sebuah cerpen yang mini kata, akan tetapi nuansa puitis sangat kental hampir di setiap puisi yang disajikan. 

Hampir tidak ada aturan bait yang digunakan sebagaimana layaknya puisi pada umumnya. Penuangan ide seperti dibalut dalam sebuah cerita tanpa batas, sehingga alur yang digunakan terasa tak tampak. Padahal dalam puisi naratif, walaupun typografi masih menganut pola lama  alur cerita nya begitu terasa. 

Walaupun berbentuk naratif, tampak sekali penyair tidak dibebani oleh apapun dalam menuangkan idenya. Diksi - diksi dipilih sangat sederhana. Setiap sajian puisinya hampir tidak menyisakan pertanyaan besar" Apa maksudnya ini? Penyair begitu transparan dalam bertutur tanpa mengerutkan jidat para pembaca. 

Penulis menduga, mungkin penyair mencoba keluar dari sebuah pasungan yang mengekang kehidupan dan kemerdekaan dalam menulis puisi. Mungkin juga ini dipengaruhi oleh jam terbang penyair yang begitu padat, sehingga pengalaman sebagai penyair nasional yang melanglang buana dalam sastra Indonesia. 

Hemat penulis, di Indonesia penyair seperti ini merupakan orang  hebat dan berani  mentransformasikan kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk puisi biasa menjadi luar biasa. 

Jika penyair -penyair lain berani mengubah bentuk, cara, dan teknik menulis seperti yang dilakukan Nanang Ribut Supriyantin perubahan dunia sastra Indonesia pasti mengalami pergeseran nilai -nilai menulis menuju peradaban baru. 

Melalui kumpulan puisi "Bibir dalam Jas Hujan" penulis menyadari betul bahwa masih banyak cara yang lebih kreatif dalam menciptakan peradaban baru dalam dunia sastra Indonesia.

 Semoga kumpulan puisi Bibir dalam Jas Hujan Karya Nanang Ribut Supriyantin menjadi tonggak awal perubahan dunia pelrpusian ke arah yang lebih maju. 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar