Pendidik Tata Bahasa Aceh Kian Pupus

 

Pendidik Tata Bahasa Aceh  Kian Pupus

Oleh : Marzuki Umar, M.Pd.

sastrapuna.com - Berbicara masalah bahasa identik dengan berbicara tentang jiwa dan raga. Sekilas, pernyataan ini kedengarannya aneh, terutama bagi orang-orang yang kurang memikirkan dan jarang menerawang kebermaknaan bahasa bagi dirinya. Sementara bagi sosok pemikir serta penerawang, adagium singkat itu bak mutiara yang sangat berharga bagi kehidupan dan penghidupannya. Dia tetap menjaga sekaligus menata bahasa persis menjaga dan merias jiwa dan raganya di dalam meniti dan mengemasi perjalanan hidupnya. Ini disebabkan dengan adanya media primer ini, setiap jiwa akan dapat eksis di mana saja dan dalam kondisi  bagaimana pun jua.

Lebih komplet, bahasa merupakan zat perekat yang tak bisa lekang dalam diri masyarakat, baik individu maupun kelompok. Dengan adanya bahasa, masyarakat akan dapat dengan lebih mudah menyampaikan  berbagai hal yang dilihat, didengar, dan dirasa, kapan dan dimana saja berada kepada pihak lain. Sebaliknya, sungguhpun itu eksistensi dari dorongan jiwa yang amat penting, namun tanpa adanya bahasa segala yang dipikirkan itu tak kan bisa terungkap ke permukaan. Begitulah esensialnya "bahasa" di dalam hidup ini. 

Masyarakat Aceh tentu menggunakan bahasa Aceh sebagai alat komunikasi untuk berbagai kepentingannya. Hal tersebut tidak hanya sebatas kebutuhan dirinya di dalam keluarga tetapi juga pada saat bergabung dengan masyarakat luas, bahasa Aceh tetap menjadi bahasa utama. Bila ada sesuatu hal/perkara yang musti diselesaikan dalam suatu masyarakat desa misalnya, bahasa Acehlah yang menjadi regulasi peleraian masalah yang terungkap dalam perkara tersebut. Bahkan, jika terdapat sekelompok etnis Aceh di daerah perantauan, aksesoris Aceh ini pun menjadi sarana komunikasinya. Sehingga dengannya, warga Aceh ini lebih leluasa dalam menyampaikan hasratnya masing-masing. Walaupun kadang kala harus mengalih kode dikarenakan campauran etnis lainnya saat bersosialisasi, bahasa Aceh tetap menjadi tumpuannya.

Bahasa Aceh adalah bahasa yang bermartabat. Seperti halnya bahasa Indonesia yang memiliki aturan di dalam pemakaiannya, bahasa Aceh pun tidak terlepas dengan sejumlah aturan yang perlu diacu oleh masyarakat ketika menggunakannya, baik lisan maupun tulisan. Kebenaran dan kesantunan merupakan dua instrumen berbahasa Aceh yang wajib dijunjung tinggi. Hal ini layaknya seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Siapa pun yang memanfaatkan bahasa Aceh di dalam menjalankan roda kehidupannya, kebenaran dan kesantunan berbahasa mutlak harus tetap dijaga, sehingga falsafah "bahasa menunjukkan bangsa" menjadi barometer pergaulannya.

Zaman berganti zaman merupakan wujud alam yang terus saja bergulir. Tak ada satu.pakar pun yang mampu menahan arus gelombang perkembangan zaman itu. Malahan sebaliknya, para pakar dan seluruh elemen masyarakat harus mengikuti dan mensiasati jalannya roda zaman yang demikian tajam. Sebegitu cepat pertukaran zaman, adat dan budaya Aceh pun ikut diwarnai oleh arus derasnya gelombang tersebut, utama sekali di bidang bahasa. Mengapa bahasa yang jadi sasarannya...? Hal itu dikarenakan bahasa adalah satu-satunya alat yang memiliki power terhadap perkembangan dan perubahan tersebut. 

Jika kita perhatikan dengan cermat di bidang budaya, ada dua hal pokok yang kian lenyap di bumi persada Aceh, yaitu bahasa Aceh dan pendidik tata bahasa Aceh. Masalah bahasa Aceh yang kian punah ditelan peradaban zaman telah penulis ungkapkan dalam artikel sebelumnya, bahwa "Misalnya, ketika seorang ibu mengatakan kepada anaknya, "Nyak, tulông lakèe seuneuop ngon ceuracak siat bak Miwa!" Sang anak terpaku sejenak dan bahkan dia balik bertanya kepada ibunya, "Apa itu Mak, seuneuop dan ceuracak?" Demikian juga saat seorang ayah/bapak ingin membuat pagar atau bangunan, beliau mengatakan kepada putranya, "Nyak, jeuneurop nyan payah pinah béek töe ngon taméeh rum'öh!" Sang putranya bingung, tidak mengerti harus berbuat apa dan bagaimana dikarenakan ia tabu terhadap dua istilah (jeuneurop dan taméeh) dimaksud. Namun, setelah sang ayahnya menggantikan dengan kata 'tiang' terhadap dua media tersebut, sikapnya terus berubah dan langsung mengerjakan perintah orang tuanya itu" https://www.sastrapuna.com/2021/12/kehadiran-rancangan-qanun-bahasa-aceh.html?m=1. Diakses, 30 Desember 2021 pukul 12,00 WIB.

Kutipan di atas memperlihatkan adanya kesenjangan pemahaman yang luar biasa dalam diri para kaula muda terhadap wujud bahasa Aceh. Mereka begitu tabu terhadap kata-kata atau istilah tersebut walaupun hal-hal itu lazim diungkapkan oleh para orang tua di dalam hubungan sosial keluarga maupun masyarakat. Hal ini dapat mendeskripsikan betapa pesimisnya mereka terhadap bahasa nenek moyangnya. 

Menurut hemat penulis yang telah dipaparkan dalam pembahasan Qanun Bahasa Aceh, bahwa "salah satu pos penjagaan keutuhan dan kelestarian bahasa Aceh sampai detik ini adalah Universitas Almuslim Bireuen. Almuslim merupakan sebuah Universitas yang sangat dikenal tidak hanya di Aceh, tetapi juga bagi berbagai wilayah di Indonesia bahkan luar negeri sekalipun. Sejak tahun 2007 sampai sekarang ini Almuslim tetap istiqamah memperlakukan pembelajaran bahasa Aceh melalui FKIP-Program Studi Bahasa Indonesia dan Daerah. Adapun mata kuliah yang bernuansa Aceh pada program studi ini adalah :1) Bahasa Aceh dengan kodenya MKK 2314, 2) Sastra Aceh dengan kodenya MKK 2321, serta 3) Adat dan Budaya Aceh dengan kodenya MKB 4609." Sumber: Pihak Almuslim Bireuen. 

Disadari atau tidak, waktu demi waktu khazanah kosa kata bahasa Aceh akan menghilang secara perlahan di bumi kebanggaaan rakyat Aceh. Guna mengantisipasinya, pihak pemerintah di bawah titah Komisi VI DPR Aceh, saat ini telah mampu merancang draf qanun bahasa Aceh. Bahkan, di tahun 2021 yang baru saja mengucapkan "selamat tinggal" kepada kita, pihak legislatif berkolaborasi dengan pihak akademisi FKIP-USK Aceh, rancangan qanun telah dipublikasikan melalui forum pembahasan guna meraup dan mengokohkan persamaan persepsi. 

Di satu pihak perbendaharaan kata-kata bahasa Aceh kian menciut dan di pihak lain upaya membentengi kekurangannya pun terus dilakukan. Akan tetapi, bagaimanakah dengan tenaga pendidik bahasa Aceh? Cukupkah perkembangan bahasa Aceh berjalan secara otodidak? Masih adakah tenaga pendidik tata bahasa Aceh di dalam lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta? Mampukah personal yang ada saat ini mengayomi 5,33 juta jiwa lebih masyarakat Aceh dalam hal membudidayakan bahasa Aceh secara membuming? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus saja berkecamuk di dalam jiwa kita apabila terus-menerus meneropong pendidikan bahasa Aceh. 

Keberadaan Tenaga Pendidik Bahasa Aceh  

Salah satu resolusi menjaga ketahanan dan kemajuan serta kelestarian bahasa Aceh secara baik dan benar, sesuai dengan peninggalan para leluhurnya, adanya tenaga pendidik. Pendidik yang dimaksud adalah tenaga pendidik yang memiliki kapabilitas dan kapasitas mengenai seluk-beluk dan moralitas serta tata tulis bahasa Aceh. Bila lingkup semacam ini yang harus dikuasai pendidik untuk memberdayakan bahasa Aceh ke dalam semua ranah kehidupan, terutama bagi generasi penerus rakyat Aceh, hal ini mengacu pada profesionalitas personal yang dijadikan sebagai pendidiknya. 

Berbicara masalah profesional adalah berbicara masalah kompetensi. Artinya, seseorang telah dianggap memiliki profesionalitas apabila di dalam dirinya terukir lima kompetensi yang sangat dikuasainya. Adapun kelima kompetensi dimaksud adalah: 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi profesional, 3) kompetensi kepribadian, 4) kompetensi sosial, dan 5) kompetensia manajerial. Hal ini sebagaimana dijelaskan Marzuki Umar, M.Pd dalam artikelnya, bahwa "Guru dalam kapasitas sebagai pengajar dan pendidik yang menerapkan berbagai ilmu dan pengalaman serta norma-norma kehidupan, diharapkan minimal memiliki empat kompetensi utama, yakni: 1) penguasaan terhadap materi bidang studi yang diajarkannya (knowledge of content), 2) kemampuan untuk menyusun dan menampilkan materi sehingga mudah dipahami siswa (pedagogical content knowledge), 3) kemampuan mengelola pembelajaran, baik strategi instruksional maupun manajemen kelas (pedagogical knowledge), dan 4) pengetahuan dan pengalaman tentang hakikat belajar dari peserta didik (knowledge of leaner and learning)." Marzuki Umar, "Performa Guru yang Diidamkan Siswa." Tabloit Narit Edisi XVII Juni 2010, diakses 30 Desember 2021 hlm.15.

Investigasi sebagaimana diinginkan di atas mengisyarakan adanya tenaga pendidik yang tangguh serta bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Aceh. Melalui berbagai kompetensi yang tersimpan di dalam dirinya akan memudahkannya di saat mengajar dan mendidik ke arah pencapaian tujuan sebagaimana mestinya. Dengan kokohnya kesiapan dan persiapan, pembelajaran yang bermuara terhadap pencapaian tujuan akan dapat digapai dengan semaksimal mungkin. Namun sebaliknya, jika sang pendidik tidak memenuhi syarat sebagaimana yang diharapkan, akan susah baginya untuk menembus hajatnya itu. Jadi, jelaslah bahwa tenaga pendidik yang diidamkan di dalam membelajarkan bahasa Aceh adalah tenaga-tenaga yang berkompeten. 

Menurut amatan penulis, tenaga pendidik bahasa Aceh, yang mempunyai latar belakang pendidikannya juga program studi bahasa Aceh, ini sangat langka di peredaran bahkan boleh digarisbawahi tidak ada. Walaupun di lembaga-lembaga pendidikan yang sejauh ini masih membelajarkan kearifan lokal dalam bentuk muatan lokal (bahasa Aceh) seperti di Sekolah Dasar, tenaga pendidik yang mengasuh mata pelajaran tersebut umumnya tidak memiliki sertifikasi bahasa Aceh. Adapun tindakan yang dilaksanakan itu berdalih pada latar belakang suku yang digandrunginya, beserta sekelumit pemahaman/pengetahuan yang didapatkan selama perkuliahan yang diikutinya. Perpaduan kemauan dan keberaniannya yang membaja, sehingga tenaga fasilitator ini dapat berkiprah sesuai dengan kearifannya.  Tentu, dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan sang pendidik harus belajar secara otodidak terlebih dahulu dengan referensi seadanya sebelum pembelajaran dilangsungkan.   

Demikian halnya dengan Universitas Almuslim seperti yang penulis gambarkan di atas. Sungguhpun sampai saat ini masih tetap eksis menerapkan bahasa Aceh di tengah derapnya langkah perkuliahan program studi bahasa Indonesia dan daerah, tenaga pengajar mata kuliah bahasa Aceh bukanlah yang berlatar belakang ijazah bahasa Aceh. Pengampu mata kuliah ini adalah para dosen yang berijazah umum pendidikan bahasa Indonesia. Diharapkan, dengan bermodalkan pemahaman dan pengetahuan dalam bidang bahasa dan sastra Aceh ketika menempuh kuliah S1 dan S2, sedikit banyaknya mentor yang ditunjuk akan mampu menuangkan elemen-elemen konkret bahasa Aceh kepada mahasiswanya. 

Langkah sehat yang dijalankan Civitas Akademika Almuslim tersebut adalah salah satu wujud solusi. Ini senada dengan hasil wawancara jarak jauh penulis dengan Ibu Nurmina, M.Pd., selaku Dosen sekaligus Ketua Prodi Bahasa Indonesia dan Daerah, FKIP Almuslim sejak 2013 s.d pertengahan 2021. Dalam narasinya menyatakan, "Bahwa dosen yang kita tetapkan untuk mengajar bahasa dan sastra Aceh selama ini pertama sekali adalah dosen-dosen yang memang bersuku Aceh murni serta menguasai bahasa ibunya (bahasa Aceh) dengan fasih. Kemudian yang kedua adalah para dosen yang berlatar belakang ijazah Pendidikan Umum Bahasa Indonesia, dari S1 sd. S2 secara linear, karena di dalam perkuliahannya terdapat mata kuliah bahasa Aceh. Jadi, bukanlah dan bahkan tidak ada yang khusus memiliki ijazah atau sertifikat dalam bidang bahasa Aceh. Namun, sejauh ini kita tetap bermohon agar di dalam perkuliahan konsisten menjaga marwah berbahasa yang baik dan benar, di samping kesantunan berbahasa Aceh yang patut dihormati."

Pengakuan pihak akademik berkompeten Asmuslim ini perlu kita apresiasi dengan baik. Ketulusan ungkapannya akan menjadi bahan renungan terhadap kehadiran dan keberadaan tenaga ahli wahana komunikasi masyarakat Aceh. Mengapa demikian...? Aceh yang memiliki berbagai kejayaan dan kekayaan serta skill yang melimpah, sampai saat ini belum kita dapatkan adanya suatu perguruan tinggi, yang secara khusus mendidik pakar-pakar bahasa Aceh. Padahal, dengan adanya wahana pembekalan cendekiawan di bidangnya, mereka akan dapat memagari bahasa Aceh yang kian dilumuri oleh budaya-budaya luar, yang sangat jauh dengan peradaban bahasa nektu (para lelulur) kita dahulu.  

Langkah Bijak 

Menggeledah akan kehilangan narator ilmiah dalam bidang bahasa Aceh, baik di lembaga pendidikan negeri dan swasta maupun di lembaga-lembaga Adat Aceh, perlu adanya langkah-langkah bijak. Langkah-langkah dimaksud adanya kesepahaman bersama antara masyarakat/rakyat Aceh dengan pemerintah wilayah Aceh. Ini merupakan fondamen utama untuk dapat menggerakkan berbagai program, terutama dalam kerangka membingkai "bahasa Aceh" dengan tenaga pendidik yang memiliki kredibel yang handal. 

Kiranya ada beberapa langkah bijak yang dapat ditempuh untuk memelihara sirnanya tenaga pendidik yang akan memayungi bahasa Aceh. Pertama, masyarakat Aceh harus senantiasa sigap secara serempak menjaga keutuhan bahasa Aceh di dalam berbagai pranata kehidupannya. Kedua, pemerintah Aceh hendaknya segera mensahkan "Rancangan Qanun Aceh tentang Bahasa Aceh", yang kini sedang dipublikasi dan disosialisasikan oleh tim perancang di bawah pengawasan Komisi VI DPR Aceh. Dengan adanya payung hukum yang berbentuk qanun ini, tenaga pendidik akan mempunyai pegangan yang kuat di dalam berkontribusi produktif guna melestarikan bahasa Aceh. 

Ketiga, dalam upaya mengukuhkan bahasa Aceh pada tiap lembaga harus dibekali dengan tenaga pendidik yang telah memperoleh sertifikasi tentang bahasa Aceh. Hal ini sehubungan dengan rekomendasi Kasie Manajemen GTK dan Mutu Kesiswaaan Cabdin Pendidikan Wilayah Bireuen, Iswandi, M.Pd., dalam pembahasan Rancangan Qanun Bahasa Aceh, 23 Desember 2021, "Bahwa dalam rangka memberlakukan qanun bahasa Aceh harus ada tenaga pendidik. Tenaga-tenaga ini perlu dibentuk dan direkrut sebagai tenaga profesional guna ditempatkan pada lembaga-lembaga pendidikan. Selain itu, mereka juga harus diperlakukan secara profesionalitas. Artinya, tenaga pendidik bahasa Aceh ini harus dimasukkan dan dilegalkan ke dalam dapodik. Dengan demikian, akan memudahkan bagi pendidik bahasa Aceh ini di dalam segala urusan administrasi, termasuk masalah gaji yang akan diterimanya". 

Keempat, adanya semacam penyegaran ilmu bernuansa pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi tenaga pendidik yang selama ini mengasuh bahasa Aceh di lembaga-lembaga  pendidikan. Dengan jalan ini profesionalitas mereka akan lebih terjamin sehingga lebih berkomitmen menjaga stabilitas ketahanan bahasa Aceh di masa mendatang.  

Simpulan

Dengan menoleh pada beberapa komitmen tersebut, di sini dapat dipastikan bahwa tenaga pendidik khusus, yang backgoundp bahasa Aceh saat ini memang tidak ada. Tentu, apabila kita tengarai lebih jauh "tenaga pendidik tata bahasa Aceh" kian pupus selaras dengan maraknya tenggelam kosa kata bahasa Aceh di dalam pangkuan masyarakat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kita cintai ini.

       Nyo gadôh tapiké keu putroe candén
Aneuk lam rahim han meuteumèe jaga
Nyo gadôh tahiro bahasa laén
Bahasa lam batén meukireuh u luwa

 Penulis adalah Staf Pengajar pada FKIP Umuslim/Pengamat Pendidikan Wilayah Bireuen

Editor; Muklis Puna

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar