Kehadiran Rancangan Qanun Bahasa Aceh Wajib Diapresiasi dan Diimplimentasikan Secara Kaffah

 


Kehadiran Rancangan Qanun Bahasa Aceh  Wajib Diapresiasi dan Diimplimentasikan  Secara Kaffah 

Oleh : Marzuki Umar, M.Pd. 

sastrapuna.com - Aceh merupakan salah satu wilayah dalam negara republik Indonesia, yang dengan hasil pemekarannya sampai saat ini telah terdapat 23 kabupaten/kota. Adapun ke-23 daerah tersebut adalah: 1) Kabupaten Bireuen dengan Ibu Kotanya juga Bireuen, 2) Kabupaten Aceh Utara dengan Ibu Kotanya Lhoksukon, 3) Kabupaten Aceh Timur dengan Ibu Kotanya Idi Rayeuk, 4) Kabupaten Pidie dengan Ibu Kotanya Sigli 5) Kabupaten Pidie Jaya dengan Ibu Kotanya Meureudu 6) Kabupaten Aceh Barat dengan Ibu Kotanya Meulaboh, 7) Kabupaten Aceh Barat Daya dengan Ibu Kotanya Blang Pidie, 8) Kabupaten Aceh Besar dengan Ibu Kotanya Kota Jantho, 9) Kabupaten Aceh Jaya dengan Ibu Kotanya Calang, 10) Kabupaten Aceh Selatan dengan Ibu Kotanya Tapak Tuan, 11) Kabupaten Aceh Singkil dengan Ibu Kotanya juga Singkil, 12) Kabupaten Aceh Tamiang dengan Ibu Kotanya Karang Baru, 13) Kabupaten Aceh Tengah dengan Ibu Kotanya Takengon, 14) Kabupaten Aceh Tenggara dengan Ibu Kotanya Kuta Cane, 15) Kabupaten Bener Meriah dengan Ibu Kotanya Simpang Tiga Redelong, 16) Kabupaten Gayo Lues dengan Ibu Kotanya Blang Kejeren, 17) Kabupaten Nagan Raya dengan Ibu Kotanya Suka Makmue, 18) Kabupaten Simeulue dengan Ibu Kotanya Sinabang, 19) Kota Banda Aceh dengan Ibu Kotanya Banda Aceh , 20) Kota Lhokseumawe dengan Ibu Kotanya Lhokseumawe21) Kota Langsa dengan Ibu Kotanya Langsa, 22) Kota Sabang dengan Ibu Kotanya  Sabang dan 23) Kota Subulussalam dengan Ibu Kotanya juga Subulussalam, (https://aceh.bps.go.id).

Aceh yang wilayahnya terletak di ujung Barat Pulau Sumatera ini dengan luasnya 57.956 km2 dan beribukotakan Banda Aceh serta memiliki 23 kabupaten/kota, sudah barang tentu menganut beragam suku dan bahasa daerahnya. Dengan begitu, setidaknya dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam ini terdapat 13 suku dan beberapa bahasa daerah. Adapun bahasa-bahasa tersebut adalah: 1) bahasa Aceh, 2) bahasa Tamiang, 3) bahasa Gayo, 4) bahasa Alas, 5) bahasa Sigulai, 6) bahasa Defayan, 7) bahasa Haloban, 8) bahasa Aneuk Jamee, dan 9) bahasa Kluet, serta 10) bahasa Singkil. 

Secara umum, masyarakat Aceh menggunakan bahasa Aceh sebagai alat komunikasinya. Namun, beberapa daerah di dalam pemerintahan Aceh ini juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai kearifan lokal. Bahasa Tamiang digunakan oleh masyarakat Tamiang, bahasa Gayo digunakan oleh masyarakat Aceh Tengah, bahasa Alas digunakan oleh masyarakat Aceh Tenggara, bahasa Sigulai dan Defayan digunakan oleh masyarakat Simeulue, dan bahasa Haloban digunakan oleh masyarakat Pulau Banyak (Tapak Tuan). Demikian juga dengan bahasa Aneuk Jamee digunakan oleh masyarakat Aceh Barat dan Aceh Selatan, bahasa Kluet digunakan oleh masyarakat Tapak Tuan serta bahasa Singkil digunakan oleh masyarakat Singkil, (Umar: 2011:2) 

Sebagai alat vital komunikasi, hanya bahasa Aceh yang digunakan secara umum oleh masyarakat Aceh di dalam berbagai aktivitasnya, tak terkecuali dalam badan pemerintahan Aceh, walaupun yang lazim terjadi berwujud oral. Hal tersebut terus berlanjut sepanjang zaman  sampai era digintalisasi dan globalisasi ini. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian melejit, khazanah kosa kata bahasa Aceh rasanya kian punah ditelan kegelapan masa dan dipadankan dengan bahasa Indonesia, bahkan dengan bahasa Asing sekalipun. Sebagai contoh, kita ambil kata 'seuneuop' yang berarti 'dandang', kata ceuracak' yang berarti 'rantangan', kata 'jeuneurop' yang berarti 'tiang pagar', kata 'taméeh' yang berarti 'tiang rumah/bangunan', dan kata 'béeng' yang berarti kedai/warung. Kata-kata ini kian tidak terdengar lagi, dan apabila hal tersebut seketika dipaparkan dalam tindak komunikasi saat ini, para kaula muda akan ternganga, mereka tidak tahu sama sekali. Misalnya, ketika seorang ibu mengatakan kepada anaknya, "Nyak, tulông lakèe seuneuop ngon ceuracak siat bak Miwa!" Sang anak terpaku sejenak dan bahkan dia balik bertanya kepada ibunya, "Apa itu Mak, seuneuop dan ceuracak?" 

Demikian juga saat seorang ayah/bapak ingin membuat pagar atau bangunan, beliau mengatakan kepada putranya, "Nyak, jeuneurop nyan payah pinah béek töe ngon taméeh rum'öh!" Sang putranya bingung, tidak mengerti harus berbuat apa dan bagaimana dikarenakan ia tabu terhadap dua istilah (jeuneurop dan taméeh) dimaksud. Namun, setelah sang ayahnya menggantikan dengan kata 'tiang' terhadap dua media tersebut, sikapnya terus berubah dan langsung mengerjakan perintah sang orang tuanya itu. Begitu pula saat seorang kakek mengatakan kepada cucunya, "Neuk, tulông intat néek jinö siat ue béeng simpang nyan!" Apa yang terjadi ...? Sang cucunya pun tidak segera bergerak untuk mengantarkan neneknya ke tempat yang diinginkan itu dikarenakan benturan mendadak dalam jiwanya dengan kata béeng. Konon, di dalam pikirannya pun di simpang yang dihajati sang kakeknya itu tidak ada bank, yang merupakan tempat transaksi uang. Akan tetapi, setelah kakeknya menyebutkan kedai/warung, bergegaslah ia menurutinya.

Nah ..., itu baru sekelumit kata yang tidak bersahabat bagi sang generasi Aceh, dan kalau kita tinjau mungkin terdapat ratusan ayat yang sudah sirna. Lalu ..., apa yang akan terjadi ke depan jika kondisi semacam ini kita biarkan terus-menerus di era kacau-balau? Siapa yang akan bertanggung jawab bila terminologi bahasa Aceh semakin punah dan tidak digunakan lagi secara baik dan benar dalam masyarakat Aceh di masa mendatang? Bagaimanakah perilaku kita sebagai pewaris bahasa leluhur saat ini di dalam menyikapi krusial lenyapnya bahasa Aceh? Mengapa kita tertunduk diam serta terlena menerima rasukan campur-baurnya istilah lain dalam komunikasi bahasa Aceh, yang membuat nuansa fondamen bahasa kita terkontaminasi secara amburadul? 

Guna mengantisipasi hal-hal tersebut, perlu adanya semacam gebrakan yang serius ke arah perubahan dan perbaikan peta pikiran (mindset) masyarakat Aceh untuk senantiasa menjaga keutuhan bahasa Aceh yang kian ambruk diterpa amukan badai masa. Menyikapi hal dimaksud, adanya pendekatan persuasif yang telah pernah direalisasikan melalui lembaga pendidikan dan bahkan ada pula yang sangat esensial dan urgen untuk segera dijelmakan ke dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat Aceh di saat ini. Untuk mengetahui hal apa yang telah dilakukan dan apa-apa saja yang harus segera dilaksanakan, berikut penulis paparkan selayang pandang mengenai hal tersebut. 

Bahasa Daerah Aceh sebagai Muatan Lokal  

Sebagaimana telah diutarakan pada bagian sebelumnya bahwa Aceh sangat kaya dengan budayanya, dan salah satu di antaranya adalah bahasa. Bahkan, bahasa pun mencapai sampai 10 ragam di Aceh. Guna menjaga kedekatan terhadap bahasa-bahasa Daerah sebagai bahasa ibu, terutama bagi sang generasi, pemerintah Aceh telah pernah mendorong bahasa Aceh untuk dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Namun, dalam hal ini pihak pemerintah tidak mengkhususkan pada bahasa Aceh tetapi perlakuan tersebut diharapkan pada semua bahasa Daerah Aceh. Melalui kebijakan ini diharapkan semua kabupaten/kota dalam provinsi Aceh dapat menerapkan bahasa daerahnya masing-masing. 

Sebagai pengukuhannya, "Pra-Kongres Peradaban Aceh merekomendasikan agar bahasa-bahasa lokal di Aceh masuk dalam kurikulum di sekolah. Sehingga, anak-anak sekolah bisa mempelajari bahasa ibunya dengan lebih tersistem dan sesuai dengan kaedah yang benar. 'Ini penting  agar mereka akrab dengan bahasa lokal masing-masing', Mustafa Ismail, Sekretaris Panitia Kongres Peradaban Aceh, 28 September 2015. Lebih lanjut, mereka juga tidak diwajibkan mempelajari atau bisa menuturkan semua bahasa lokal yang ada di Aceh.  Semoga siswa mahir dalam bahasa ibunya serta tidak malu-malu menggunakan bahasa lokal itu dalam pergaulan di lingkungannya". https://mirror.acehprov.go.id.

Ungkapan tersebut mengindikasikan suatu lampu hijau bagi pendidik dan tenaga kependidikan dalam pemerintahan Aceh untuk mengasosiasi dan mengaktualisasikan bahasa Daerah Aceh di lembaga pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan ikhtiar dimaksud diharapkan para generasi muda Aceh akan lebih memahami akan keberadaan serta kebermaknaan bahasa ibunya yang harus tetap digugu sampai akhir hayatnya. 

Seiring dengan berjalannya waktu, rintisan legalisasi pembelajaran muatan lokal bahasa Aceh terus saja dijalankan, terlebih saat marak-maraknya proses "literasi" di mana-mana. Rintisan ini dilaksanakan oleh para pakar yang memiliki kredibilitas dan kapasitas mengenai bahasa Aceh. Tim spesialisi ini senantiasa menuangkan pikiran terhadap keberlangsungan pembelajaran bahasa Aceh, terutama bagi jalur pendidikan. Narator ini terus saja berkelana ke berbagai daerah guna mewujudkan impiannya itu. 

Salah satunya adalah kabupaten Bireuen. Siapa sebenarnya timses penjaga budaya Aceh, khususnya dalam bidang bahasa ini? Itu tidak lain adalah para cendekiawan dari FKIP Unsyiah (USK sekarang), yaitu Dr. Abdul Gani Asyik, M.A., Azwardi, S.Pd., M. Hum., Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H., M. Hum, dan Muhammad Idham, S.Pd., M. Ed. Hal ini sebagaimana tertuang dalam laporan Disdikpora Bireuen bahwa "Dalam rangka menggeliatkan literasi Aceh, Disdikpora Kabupaten Bireuen menggelar workshop pembelajaran muatan lokal bahasa Aceh. Kegiatan yang bertajuk 'Pelatihan Tim Pengembang Kurikulum Muatan Lokal SD' ini digelar pada 5 - 7 November 2019 di Aula Disdikpora Kabupaten Bireuen, dengan fasilitator sebagaimana yang disebutkan di atas. Peserta kegiatan ini adalah guru SD se-Kabupaten Bireuen yang berjumlah 140 orang. Ini merupakan wadah penguatan materi pembelajaran Bahasa Aceh, penyusunan perangkat pembelajarannya sebagai cikal bakal terkait dengan penerbitan SK penetapan Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Aceh yang kini sedang dipersiapkan oleh Kepala Daerah Kabupaten Bireuen". https://harianrakyataceh.com.

Dampak dari konsekuensi sebagaimana termaktub di atas sungguh menakjubkan. Hal itu dapat dideskripsikan dengan terlaksananya pembelajaran muatan lokal bahasa Aceh di tingkat SD sampai dengan sekarang. Tentu, itu semua tidak terlepas denganal Hal HHHhhTentuTtTTt kesiapan dan kesigapan pendidik dan tenaga kependidikan di dalam menindaklanjuti serta mengayomi hasil pembekalan yang dijalankan oleh tim seagaimana yang diinginkan.  

Di satu sisi kita patut bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, dimana dengan ilham beserta dengan sifat rahman dan rahim-Nya, pembelajaran bahasa Aceh masih dapat dipertahankan di lembaga pendidikan walau hanya di SD. Seraya kita juga mengucapkan terima kasih kepada tim pengembang yang telah mencurahkan perasaan, tenaga, dan pikiran ke arah itu.

Namun, di sisi lain kita juga patut prihatin terhadap keberadaan bahasa Aceh akhir-akhir ini. Sekalipun secara fundamental telah dibangun di SD, sementara di tingkat sekolah menengah mungkin tidak diteruskan lagi, sehingga kedudukan bahasa Aceh kian tersampingkan oleh berbagai panorama dan gradasi bahasa-bahasa global yang demikian membahana, yang selalu bersahabat dengan para generasi kita. Mereka dengan mudah mengadopsi, mengonsumsi, dan sekaligus mempraktikkan di dalam kehidupannya, baik di sekolah, di rumah,  maupun dalam pergaulan sehari-hari tempat-tempat lainnya. Merupakan suatu kebanggan tersendiri apabila mereka mampu mengucapkan yes, ok, ok boss, jadul, sip, sayur, mancing, toilet, dan berderet kata-kata lainnya. Padahal, istilah tersebut masih dimiliki oleh khazanah kosa kata bahasa Aceh. Sebalikya, sebagian mereka akan merasa tersisih apabila tidak atau kurang mampu berkomunikasi dengan bahasa campur kode, sungguhpun saat itu hanya berkomunikasi sesama anak Aceh. 

Di samping itu, apabila kita meminta membacakan sebuah hikayat, misalnya hikayat Perang Sabi, atau menulis sebait pantun dalam bahasa Aceh, ini menjadi mala petaka bagi mereka. Hal itu dikarenakan tulisan bahasa Aceh selain banyak memiliki vokal rangkap juga dalam penataaanya ada kalanya harus menggunakan aksen pada huruf-huruf tertentu untuk membedakan bunyi serta makna kata-katanya. Mereka tidak mampu menyelesaikan dengan baik. Kalaulah hal ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya penanganan yang serius, kita khawatirkan bahasa Aceh akan terkubur dalam-dalam 10 atau 20 tahun tahun yang akan datang. 

Qanun Bahasa Aceh sebagai Pengikat

Bahasa Aceh adalah bahasa indatu (nenek moyang) rakyat Aceh. Menurut catatan sejarah bahwa bahasa Aceh-Arab, telah memiliki kejayaan di masa Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1500 masehi, sebagai bahasa resmi konstitusi Kesultanan. Selanjutnya, tulisan Aceh-Arab ini kembali digunakan oleh Sultan Iskandar Muda tahun 1630 masehi ketika menyempurnakan konstitusi Kesultanan Aceh Darussalam yang disebut dengan "Qanun Meukuta Alam Al-'Asyi. Ini merupakan suatu bukti konkret bahwa bangsa Aceh mempunyai bahasa yang masyhur, yang wajib dipelihara dengan baik. 

Menyikapi kerancuan yang terjadi selama ini sebagaimana diutarakan pada bagian sebelumnya, perlu adanya semacam payung hukum sebagai pengikat dan perekat terhadap keselamatan bahasa Aceh masa kini dan masa mendatang. Adapun payung hukum yang dimaksud adalah Qanun. Qanun adalah perundang-undangan atau peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan masyarakat Aceh. Dengan adanya tatanan yang berbentuk qanun, maka kehidupan dan penghidupan masyarakat Aceh diharapkan akan lebih bermartabat sebagaimana sediakala. 

Memang, jika kita perhatikan bahwa selama ini telah tertata beberapa qanun yang diperuntukkan kepada masyarakat Aceh, sepert: 1) Qanun nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, 2) Qanun nomo 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, 3 ) Qanun nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh nomor 3 tahun 2014 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, dan 4) Qanun nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan Majelis Permusyawaran Ulama. Bahkan, masih ada qanun-qanun lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam rubrik ini. Namum, sejauh ini belum kita dapatkan qanun yang khusus tentang bahasa Aceh. Padahal, qanun bahasa Aceh merupakan hal yang sangat urgen dan segera dimunculkan, mengingat perubahan negatif yang demikian drastis terhadap pemakaiannya, terutama sekali di kalangan para kaula muda dewasa ini. 

Menindaklanjuti kehampaan aturan terhadap keberlanjutan bahasa Aceh, rasanya kita kembali patut bersyukur kepada Allah Swt. dan sembari kita juga berterima kasih kepada teamwork yang sampai saat ini terus bermunajat sekaligus bermuamalat demi keselamatan nomenklatur Aceh, khususnya bahasa Aceh. Mengapa demikian ...? Di tahun 2021 ini,  teamwork yang dimotori oleh Komisi VI DPR Aceh, yang diketuai oleh Tgk. Irawan Abdullah, S.Ag. dan bekerja sama dengan pihak pakar FKIP USK di bawah komando Prof. Dr. Mohd. Harun, M.Pd., beserta sesepuh kondang di bidang bahasa, ayahanda Dr. Abdul Gani Asyik, M.A., dkk. terus saja menggasak aturan bahasa Aceh  sekaligus mensosiaslisikannya ke berbagai daerah kabupaten/kota. Belum lama ini, tepatnya Kamis 23 Desember 2021,  kebijakan tersebut juga dilaksanakan di Aula UNIKI Bireuen, yang diikuti mantan DPRK Bireuen, Ketua Yayasan UNIKI, pihak Cabdin Pendidikan Wilayah Bireuen, Ketua MAA Bireuen, pihak akademisi Umuslim, dan elemen masyarakat lainnya. Dalam pertemuan singkat yang betajuk "Pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Bahasa Aceh" itu, nota kesepahaman yang berlabel "Rancangan Qanun Aceh Nomor ....Tahun 2021 tentang Bahasa Aceh pun turut dipersembahkan kepada peserta untuk mendapat masukan yang bersifat konstruktif. 

Dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pasal 215 dan pasal 221 UU nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta 22 latar ingatan dan di antaranya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Ace Tahun 2012-2032,  para ilmuan telah dapat mengukir "Rancangan Qanun Aceh tentang Bahasa Aceh" yang terdiri atas 17 Bab dan 31 pasal. Bab I pasal 1 dan 2 membicarakan ketentuan umum mengenai bahasa Aceh, aksara Aceh, dan sastra Aceh di dalam kehidupan sehari serta upaya memelihara dan mempertahakannya. Dalam bab ini juga dicetuskan mengenai asas penggunaan, pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa Aceh yang meliputi asas persatuan, kedaulatan, pelestarian, kemanfaatan, dan lain-lain. Bab II menyatakan maksud dan tujuan dari pengadaan dan pelaksanaan Qanun bahasa Aceh. Bab III membahas tentang kedudukan dan fungsi bahasa, aksara, dan sastra Aceh. Bab IV mengulas tentang penyelenggaraan pembinaan, pengembangan dan perlindungan bahasa, aksara, dan sastra  Aceh. Bab V menelaah tentang kebijakan dan strategi pengembangan qanun bahasa Aceh. Bab VI mengupas mengenai pembinaan bahasa, aksara, dan sastra Aceh melalui berbagai jalur kehidupan. Bab VII mengkaji tentang penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Aceh. Bab VIII menyelisik masalah pemeliharaan bahasa Aceh. Bab IX menyiasati masalah pengembangan bahasa Aceh. Bab X menguraikan masalah pelestarian bahasa Aceh. Bab XI menawar penghargaan bagi yang berjasa dan berprestasi dalam mejaga bahasa Aceh. Bab XII menegosiasikan peran serta masyarakat dan pelaku bahasa, aksaran dan sastra Aceh. 

Bab XIII menentukan kerja sama dalam membina, memelihara, dan mengembangkan bahasa, aksara, dan sastra Aceh. Bab XIV mengukuhkan pendanaan bagi pembinaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa, aksara, dan sastra Aceh. Pasal XV menetapkan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun bahasa Aceh. Bab XVI menobatkan ketentuan peralihan kepada Pemerintah kabupaten/kota untuk menyelaraskan qanun bahasa Aceh sesuai dengan kewenangannya. Bab XVII merupakan bab terakhir dalam ragangan qanun ini yang mengusung ketentuan penutup dalam hal berlakunya qanun bahasa Aceh. Sementara bunyi setiap pasal dalam rancangan qanun ini tidak memungkinkan penulis uraikan secara rinci di dalam tulisan ini mengingat terbatasnya kolom rubrik. Sebagai bayangan bahwa pasal demi pasal tersebut membicarakan tentang penjagaan, penyelamatan, pelestarian, serta penggunaan bahasa Aceh, baik secara lisan maupun secara tulis.  Hal itu akan dipaparkan tersendiri oleh tim terkait yang kini sedang bergegas menyamakan persepsi seraya meminta dukungan masyarakat Aceh melalui sosialisasinya.   

Setelah memperhatikan serta menelah butir demi butir dalam pasal ragangan qanun bahasa Aceh, para peserta yang ikut dalam pembahasan qanun tersebut semuanya merasa bahagia. Tak terkecuali penulis. Mengapa demikian...? Hal itu tidak lain dikarenakan masalah bahasa Aceh sebenarnya adalah urusan rumah tangga masyarakat Aceh yang tidak boleh diabaikan akan kerusakan dan kepunahannya. Kitalah yang lebih mengerti serta lumrah untuk menjaganya. Nyo kon ie mandum leuhop, nyo kon droe mandum gob, sentilan salah satu peserta, M. Jamil, S.Pd.  salah seorang Kepala Sekolah di Kabupaten Bireuen. Untuk itu, para pemerhati yang bergabung di dalam pembahasan qanun tersebut memiliki prinsip yang sama, yaitu menyambut baik serta mendukung sepenuhnya "rancangan qanun yang luar biasa dan dicetuskan oleh pakar yang luar biasa pula".

Prof. Dr. Mohd. Harun, M.Pd. di dalam resumenya menandaskan bahwa qanun ini bertujuan agar adanya satu bahasa khusus sebagai bahasa perekat dalam masyarakat Aceh, sehingga bahasa Aceh tetap digunakan dalam berbagai aktivitas, tak kecuali di kantor-kantor pemerintahan. Hal ini tidak hanya bahasa tutur tetapi juga bahasa tulis dengan merujuk pada tata tulis bahasa Aceh yang resmi. Dengan cara begitu masyarakat akan tetap waspada terhadap kelanjutan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu yang telah diwariskan secara turun- temurun. 

Demikian juga  dengan Pak Usman, mantan anggota DPRK Bireuen. Beliau merekomendasikan agar sekolah-sekolah yang melaksanakan muatan lokal dapat menentukan kriteria ketuntasan minimal (KKM), baik saat melaksanakan test maupun kepentingan lainnya. Langkah ini salah satu upaya agar masyarakat tetap menghargai bahasa Aceh dalam berbagai tindakannya. Di samping itu, Pak Iswandi, S.Pd,. M.Pd., Kasie Manajemen GTK dan Mutu Kesiswaan Cabdin Pendidikan Wilayah Bireuen menyatakan bahwa qanun ini harus ditetapkan dengan baik. Sebagai langkah awal beliau meminta agar sebelum rancangan qanun tersebut disahkan, hendaknya ada semacam lomba debat bahasa Aceh yang sebaiknya segera diwujudkan, minimal di Cabdin Wilayah Bireuen. Dengan demikian, peluang ke arah pemberlakukan qanun akan jalan akan dan terbuka lebar. Begitu pula dengan Pak Ridwan Muhammad, mantan Ketua DPRK Bireuen menfatwakan agar qanun tersebut sesegera mungkin dapat diaktualisasikan pada semua ranah dan jenjang pendidikan, termasuk pesantren wajib menggunakan muatan lokal bahasa Aceh bagi santrinya. 

Jelaslah bahwa hasil pembahasan semua rancangan qanun yang telah dituangakn dalam 17 bab serta 31 pasal itu mendapat respon positif dari berbagai elemen yang ikut di dalam forum kupasan kala itu. Kehadiran para tokoh ini dapat memberi motivasi yang harmonis kepada teamwork agar senantiasa terus berusaha dan berusaha ke arah tercapainya tujuan. Bila memungkinkan dalam hal ini kita meminjam frasa dalam pembukaan UUD 1945, yaitu ... "dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" Rancangan Qanun bahasa Aceh segera disahkan dan diimplimentasikan secarah kaffah di bumi tanah rencong ini. 


Simpulan  

Menelusuri berbagai sikap yang dipaparkan dalam forum pembahasan qanun, baik dari peserta maupun pihak tim pengembangnya, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut.

1)  Bahasa Aceh sebagai peninggalan para leluhur kian punah dengan gradasi dunia.

2)  Bahasa Aceh wajib dijaga, dipelihara, dan digunakannya dengan baik dan benar.

3)  Guna dapat merawat bahasa Aceh dengan baik harus dipayungi dengan qanun yang melekat.

4)  Rancangan Qanun bahasa Aceh segera dilegalisasikan dan diimplimentasikan kepada masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. 

5)  Pelestarian bahasa Aceh tidak hanya diharapkan dan diterapkan pada jalur pandidikan SD akan tetapi pada semua jenis dan jenjang pendidikan, negeri atau swasta termasuh dayah atau pesantren.

6)  Bahasa Aceh juga wajib dijaga dan dilestarikan oleh pihak kantor atau badan pemerintahan termasuk lembaga desa  yang ada di dalam wilayah provinsi Aceh. 

7)  Bahasa yang diqanunkan adalah bahasa Aceh bukan bahasa-bahasa Daerah Aceh.

8)  Perlu adanya pedoman resmi mengenai tata-tulis bahasa Aceh yang baik dan benar.  

Pada kesempatan ini penulis berharap kepada semua pihak, mari kita sahuti dan kita siasati qanun bahasa Aceh yang cukup bergengsi ini demi keselamatan bahasa Aceh. 

eungkot bak mata kawé beujeut ta peuglah

ie rap peuneulah beujeut ta peu-ilé

bèek keu bahasa gob tatem meu ilah-ilah

meunyoe keu bahasa droe teuh tatem meucré-br


Penulis adalah Staf Pengajar pada FKIP Umuslim Bireuen 

Editor: Muklis Puna

 

 
















































Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar